8.08.2024

Asumsi

Pagi ini, Chia main pasir. Agak tumben sebenarnya, karena biasanya main yang lain. Apalagi biasanya udah mandi dan makan pagi-pagi. 

Berhubung bangun tidur langsung main pasir, jadi Chia memang belum mandi. Soalnya kalau mandi dulu nanti lengket lagi. Ya sudah. 

Tapi namanya Chia, suka main pasir dan suka main mainan lain juga. Jadi sambil main pasir, biasanya suka sambil lari-lari keliling rumah. Capek euy bersihinnya hiks. Makanya mainan pasir ini agak disembunyikan supaya tidak terlalu sering dimainkan (capek bersihin heuheu). Dulu kecil, Chia suka naik ke tempat tidur uan dan aki dengan tangan dan kaki masih belepotan pasir mainan. Hari ini, Chia lari-larinya ke ruang tamu, memantau teman main udah keluar rumah atau belum 😅

Belakangan ini Chia memang suka main ke rumah tetangga. Anaknya lebih kecil darinya. Umurnya sekitar setahun lebih, baru bisa jalan tertatih-tatih. Setali tiga uang. Si dedek anak tetangga kami itu juga suka tuh manggil-manggil Chia pas keluar untuk sarapan sambil duduk di teras bersama pengasuhnya. "Tatakk... tataakk..", begitu kira-kira caranya memanggil Chia. Tapi biasanya itu sekitar jam 8 pagi. Biasanya si dedek ini belum keluar rumah sebelum itu karena mungkin lagi siap-siap. Soalnya kalau keluar, dedeknya udah cakep, tinggal makan aja.

Nah, hari ini ada drama. Berhubung Chia suka tidak fokus main, jadi sama Yandanya diingatin supaya tidak lari-lari. Toh belum jam 8. Fokus aja sama main pasirnya. Namanya balita, masih sesukanya. Bolak-baliklah dia. Ditegur lagi sama Yanda, malah mukul, lumayan keras. Karena dilarang mukul, alhasil mainan pasirnya pun disita sementara. Tantrumlah dia.. Nangis lumayan lama dan keras. 

Tangisan ini, mungkin terdengar seperti diapain gitu, anaknya. Padahal ya dia nangis biasa. Alhamdulillah kami tidak pernah main tangan. Sambil minta dipeluk, Chia nangis sampai reda, ingat lagi nangis lagi. Gitu aja terus sampai udah lega benaran pas minta maaf sama Yandanya. Normal. Alhamdulillah juga tadi saya bisa tetap tenang nemeninnya.

Tapi entahlah apa yang ada di pikiran orang ya. Anak nangis mungkin dikira disiksa...

Jadi ceritanya, ada tetangga lain yang baru pulang dari mana gitu (keluar mobil, menyapa tetangga yang lain), jadi kemungkinan tidak tau dengan drama tangisan Chia tadi. Tetangga kami yang baru pulang ini memang ramah, jadi emang biasanya negur. Nah, waktu beliau liat si dedek anak tetangga main sendiri. Nanya lah beliau, "dedek, kakak mana dek" (note: "kakak" merujuk kepada Chia yang dipanggil tatak sm si dedek, dan memang teman mainnya hampir tiap pagi). 

Yang bikin geli adalah jawaban dari orang dewasa yang menanggapi pertanyaan tetangga ramah kami tadi..
"dilarang main keluar", katanya. 

Laaah, kapan kami ngelarang anak kami main keluar, sosialisasi sama anak sebayanya? Ndak ada. Memang benar, ada pembatasan supaya tidak main terlalu lama, tidak sembarangan masuk rumah orang (harus izin dulu), atau tidak main di waktu-waktu istirahat. Tapi rasanya itu wajar, karena kami tidak mau anak kami mengganggu ketenangan orang lain, selayaknya kami juga tidak mau batasan-batasan kami dilanggar sama orang. Menurut saya normal dan sah-sah saja. 

Tapi begitulah. Orang kadang tidak tau duduk persoalan dengan jelas, baru punya asumsi, tapi berani-beraninya "menebarkan" isu, mengarahkan opini. Paling parahnya, membuat orang lain ikut-ikutan berasumsi buruk terhadap orang lain. Padahal asumsinya salah besar.

Kejadian kayak gini bukan kali pertama dalam hidup. Sering, malah. 

Sekarang, bisa dibilang, karena mungkin sudah cukup banyak makan asam lambung --eh-- asam garam kehidupan maksudnya, wkwk, kejadian seperti ini cukup bisa saya abaikan. Dalam artian, ya udahlah, terserah kata orang. Yang penting saya tau saya tidak begitu. Udah. 

Tapi jujur, kalau ditanya, sakit hati tidak diperlakukan buruk akibat prasangka dan asumsi sepihak orang (dan parahnya biasanya nih ngajak-ngajak orang lain pula). Jelas jawabannya, sakit hati bangetttt. Iya, sakit hati banget. Rasanya tidak rela, tapi apa daya. 

Ujung-ujungnya, karena tidak mampu membalas orang dengan tangan sendiri, saya angkat tangan, minta sama Allah aja. Minta apa, terserah saya dong. 

Intinya, saya cuma mau bilang, jaga lisan kita. Jangan mengandalkan asumsi dan prasangka melulu. Kalau punya masalah sama orang, ketemu 4 mata. Selesaikan baik-baik. Jangan malah cerita yang aneh-aneh ke orang, bahkan sambil nangis-nangis melontarkan tuduhan untuk dapat dukungan. Nangis boleh aja, tapi untuk menenangkan diri. Bukan buat nyari sekutu saat berseteru, alias menghazzzut (itu menurut saya sih). 

Jadi gitu deh. 

Haha, ini ceritanya karena terpicu. Tapi semoga ada manfaatnya ya. Babai!