Sebagai dosen, tentu saya mau yang terbaik untuk mahasiswa-mahasiswa saya, terutama bimbingan akademik, bimbingan skripsi, dan yang kelasnya saya ampu. Klise, karena dengan segala keterbatasan waktu, ilmu, dan tenaga yang saya miliki; ditambah lumayan capek mengasuh bayi dan balita yang masih perlu perhatian; ujungnya ya semampunya.
Tapi saya sangat berusaha.
Sayangnya tahun ini saya merasakan patah hati yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Entahlah ini pengaruh dari masalah serupa yang menumpuk dan berulang yang bikin capek, atau pengaruh hormon, atau pengaruh ada kejadian ekstra, atau mungkin juga ketiga-tiganya. Saya kurang yakin.
Yang jelas terasa lebih melelahkan.
Gimana tidak..
Ada mahasiswa bimbingan magang yang sampai tulisan ini diketik, tidak baca chat saya, padahal susah payah dikasih masukan untuk perbaikan tulisannya. Anehnya, nama saya diajukannya sebagai pembimbing skripsi. Untung tidak disetujui forum. Aduhai tidak terbayang, karena beban besar membimbing model yang bisa menghilang seperti ini. Sudah banyak bimbingan yang kayak hantu --bisa menghilang dan muncul tiba-tiba di akhir periode, bikin sport jantung--, nggak kuat harus nambah lagi.
Dicuekin teman sebaya aja udah sakit, ini pula dicuekin mahasiswa. Mau marah, saya mikir duluan, kenapa dicuekin ya. Rasanya wajar kalau saya banyak ngasih masukan, mengingat anaknya ngajuin judul sampai seminar saja tanpa konsul sama sekali ke saya. Harusnya saya yang tersinggung..
Baca tulisan dan ngasih masukan itu pakai usaha, waktu, dan tenaga juga. Eh malah dicuekin. Patah benar hati saya. Sedih sekali.
Ada juga bimbingan yang nikah tanpa kabar, pas diselamatin responnya dingin banget.
Harap tidak salah sangka ya. Bukannya saya minta diundang. Saya juga pernah ngalamin kok, keterbatasan biaya untuk bisa mengundang semuaaa orang yang dikenal ke hari bahagia saya. Jadi sedikit banyak paham lah, tidak diundang tidak apa. Saya tetap kirim doa restu.
Meski begitu, kan bisa, minimal pas diselamatin, jangan lah responnya yang dingin-dingin amat. Kan sedih akutu.
Tapi karena ini jadinya sadar sih, saya yang kegeeran, ngerasa mahasiswa/alumni mau berbagi bahagia di momen bahagia mereka. Ternyata kami tidak sedekat itu.
Ada juga bimbingan yang menghindar pas ketemu. Ini udah biasa sih. Tiap tahun ada saja. Tapi meski biasa, tetap aja bikin tak selesa.
Yang paling bikin patah hati tahun ini, ada bimbingan yang tahun lalu cuti --artinya sempat intens bimbingan dengan saya, dan saya hargai itu-- tapi kemudian ganti pembimbing di detik-detik terakhir. Saya diminta mundur. Padahal saya tidak kepikiran memintanya ganti pembimbing karena tidak keberatan tetap membimbingnya meskipun dia pernah bikin rumor tak sedap tentang saya tahun sebelumnya.
Salah saya sih, kurang ngikutin insting, karena iba.
Jadi di tahun sebelumnya, mahasiswa tsb saya ketahui ngomongin saya, bilang ke temannya kalau saya memaksanya mengajukan cuti di saat dia kesulitan finansial, padahal bukan itu yang saya sampaikan. ((Berhubung detilnya terlalu panjang, capek nulisnya, dan tak perlu juga sih saya ceritakan di sini)). Tapi atas tuduhan tersebut, saya berusaha abaikan. "Dahlah, namanya mahasiswa, masih muda, masih suka salah kira", begitu saya coba menghibur hati.
Tahun ini ia bimbingan lagi, kembali lamban mengikuti timeline, tapi saya berusaha paham dan tetap semangatin. Apalagi ia baru-baru ini menjalani operasi besar karena kecelakaan. Saya ngerti. Saking berusaha ngertinya, sampai-sampai saya yang tidak pernah setuju mahasiswa untuk menyederhanakan penelitiannya dari strategi jadi upaya (saya kurang suka judul "upaya") pun berusaha lebih fleksibel. Karena kondisi-kondisi tadi, saya usulkan ia untuk menyederhanakan penelitiannya, supaya bisa lebih cepat.
Bukan bikin baru lo ya, tapi disederhanakan.
Ganti judul tentu perlu penyesuaian. Kalau tidak ganti judul yang lebih sederhana, ya tetap pakai judul awal, tapi dengan konsekuensi harus menaklukkan kesulitan yang ada. Tapi kemudian ia keberatan lalu mau ganti judul baru dengan masalah yang beda lagi, sementara waktu makin mepet. Ya saya larang lah. Ah, taunya anaknya malah bilang saya mempersulit.
Allah yang Maha Tahu, tak sedikitpun saya mau mempersulit.
Yang ironis, saya yang tidak berencana minta dia ganti pembimbing, dia ganti. Sementara dosen lain yang lantang di forum minta supaya dia ganti pembimbing karena tidak nyambung, meskipun sudah di penghujung tenggat, dia pertahankan. Agak syok juga sih pas dikasih tau bahwa justru sayalah yang didepak. Tapi tak apa. Ada bagusnya sih, tidak nambah repot, hehe. Tapi ada yang ganjal aja. Kalau dipikirkan, bikin tak selesa.
Dituduh macam-macam tapi tidak bisa marah, bikin perasaan tidak nyaman. Sesering apapun saya pernah menghadapi tuduhan-tuduhan kayak gini tanpa bisa membela diri, tetap rasanya mengganggu, mengganjal. Sulit untuk terbiasa.
Tapi kalau kita sudah dicap negatif sama orang lain gara-gara cerita orang atau karena prasangka semata, mau kita cerita jungkir balik juga percuma. Seperti kata Ali bin Abi Thalib ra., "... yang menyukaimu tak butuh (penjelasan) itu yang membencimu takkan percaya (penjelasan) itu".
Jadi tidak apa jika teman-teman pembaca tulisan ini tidak percaya. Saya hanya mau cerita. Capek juga mendam sendiri. Eh tapi memangnya ada yang baca blog ini? Wkwk.. tukan, geer lagi iih. XD
Sebagai penyeimbang rasa ini, saya ingin bersyukur kepada Allah, dan berterima kasih kepada mahasiswa-mahasiswi bimbingan skripsi saya tahun ini, yang telah berjuang keras dan mayoritas rajin dari awal sampai akhir. Makasih yaa. InsyaAllah masa depan mereka yang berusaha keras akan gilang-gemilang, sukses dunia akhirat, berkah ilmunya, aamiin.
Dahlah. Sekian dan terima gajih.. fufufu
~ Kota Khatulistiwa, di Selasa yang mendung namun gerah ini, 05/07/2025