4.15.2024

Tentang Jomblo

Dari dulu, saya termasuk orang yang ngerasa risih dengar joke tentang jomblo (istilah dari kondisi single atau belum memiliki pasangan)

Maksud saya, apa sih lucunya? Malah jatoh-jatohnya merundung atau bully.

Ngebully orang jomblo, alasannya, supaya mereka terdorong untuk cepat nikah? Yakin niatnya gitu? Atau ini malah tentang ketakaburan diri, yang mentang-mentang udah punya pasangan jadi ngerasa punya hak untuk ngerendahin orang lain yang belum punya pasangan?

Karena sejauh pengalaman, yang terlihat adalah para pembully ini _ngerasa_ kondisinya "lebih" daripada yg dibully. Lebih apanya? Ya lebih dari segi udah nikah atau udah punya pasangan. Kalau masalah lain mah belum tentu lebih. ((Tapi justru karena tidak punya kelebihan lain lah makanya pembully sukak banget kayaknya membanggakan kondisi lebihnya itu. Dalam kata lain, karena tidak punya kelebihan lain, makanya fokusnya cuma itu aja. Serius. Rasanya tidak pernah liat jomblo ngebully tentang kejombloan org lain. Adapun jomblo ngebully jomblo itu biasanya tentang hal lain selain kejombloannya. Wong kondisi sama, nggak tau diri namanya kalau ngebully juga. Kecuali orang itu ......))

Lagipula, kalau memang mau para jomblo cepat menikah, kan cara etisnya lebih banyak. Kenalin sama orang baik, didoain diam-diam, diajak (atau dibayarin sekalian!!) kegiatan positif seperti seminar persiapan pernikahan, kelas masak, pelatihan keuangan keluarga, kelas parenting, dll. Kayaknya itu lebih ngefek deh, daripada ngeledek atau bikin kondisi mereka sebagai bahan ketawaan orang. 

Ledekan, menurut saya justru bahaya. Sangat mungkin dan banyak kejadian, karena ingin menghindari ledekan nggak mutu itu, para jomblo akhirnya menurunkan standarnya. Dalam artian, yang awalnya maunya nikah dengan yang punya visi misi hidup yang sama atau searah, akhirnya jadi mau nikah asal ada yang mau aja, tidak peduli visi misi hidup bertolak belakang atau bahkan oke saja sama yang tidak punya visi misi sama sekali. Demi tidak dibully, terutama di hari besar, di acara kumpul-kumpul yang katanya untuk mempererat silaturahim. Pret.

Ih kok sewot amat sih. Emang pernah ngalamin ya?

FYI. Saya nikah di usia pada umumnya, jadi ndak sampai ngalamin bully brutal tentang jomblo, alhamdulillah. Paling pas single aja dulu, pernah dikatain "nggak laku". Sempat khawatir juga dulu, bertanya dalam hati, "saya bakalan nikah ndak ya". Alhamdulillah ujian saya bukan di situ. Ujian saya di yang lain. 

Ujian saya, yang sejauh ini punya dampak besar dalam hidup adalah tentang anak. Kami lama dikaruniai anak. Nikah 1,5 tahun ditanyain terus udah isi belum. Dah hamil, dikomen. Pas anak pertama meninggal, dikomen juga, ada yang bahkan mensyukuri. Tujuh tahun setelah itu baru dapat anak kedua, alhamdulillah. Tapi ujian dari mulut orang tentu tak berhenti, dan selama durasi penantian ulang 7 tahun itu luar biasa menguras air mata. Untungnya sejak anak pertama meninggal, saya belajar dengan keras untuk tidak terlalu peduli sama omongan orang. Sangat berat, terutama karena hampir sepanjang hidup saya diajari untuk "dengerin dan peduli kata orang", jadi omongan orang pasti ada efeknya. Tapi sekarang tambah umur udah tambah bisa memisahkan mana yang perlu didengar mana yang dikamehameha aja. Toh kebanyakan --kalau diperhatikan-- yang banyak negatif itu cuma orang-orang yang hidupnya lebih merana dan memprihatinkan. Cuma mungkin mereka ingin menghibur hati, ngerasa mumpung punya hal lebih yang bisa dibanggakan, akhirnya ngejatohin orang lain yang kesulitan. Sebagaimana energi positif, energi negatif juga menyebar. Semacam itulah.

Iya, saya sengaja bubuhkan kata "mumpung", karena memang ndak ada yang abadi kan, di dunia ini.. termasuk apapun itu, yang dibangga-banggakan dan menjadi modal para pembully untuk membully orang lain 

Pengalaman hidup itu yang mungkin bikin saya lebih peka --walaupun dari dulu memang tidak suka-- dengan joke jomblo.

Katanya sih, "cuma becanda supaya santai". Iya yang nanya yang santai. Yang ditanyain, santai tidak? Pernah nanya? 

"Yaela, baper amat". Eh biarin! Supaya kita tuh tahu batasan, mana yang bisa dijadikan lelucon mana yang tidak. Itu etika, kompas moral.

"Pengen mancing aja, siapa tau sebenarnya dia udah punya calon". Ooh kepo gitu ya? Kepo pengen tahu urusan pribadi orang, jadi dibully aja gitu supaya tidak ketahuan keponya? Duh, daripada dibully, tanya aja langsung dengan sopan, "ada kabar bahagia kah dalam waktu dekat ini?". Kalau orangnya jawab, mau nikah, ikutlah berbahagia. Kalau jawabannya ke hal selain pernikahan, ya mungkin emang kebahagian dia di hal-hal itu. Kasih ucapan doa dengan tulus. Anggaplah kalaupun dia nutup-nutupin kabar, ya hargai aja, itukan privasi dia. Siapa kita? Kalau khawatir tidak "sedekat itu", jangan nanya sekalian. Toh kalaupun dikasih tahu, belum tentu juga mau ngasih kado spesial kan, cuma kepo aja. Udahlah..

Intinya, hargai orang lain. Ada orang mau nikah, alhamdulillah, didoakan yang baik-baik. Kalaupun ada yang belum juga kunjung menikah, doakan juga yang baik-baik. Sebenarnya bikin jokes tentang jomblo tuh jauh lebih susah daripada mendoakan orang lain supaya segera dapat jodoh, tapi herannya, kok...

Ah sudahlah.

Untuk sodara-sodariku yang lagi di fase jomblo, tetap semangat. Isi masa ini dengan hal-hal positif membangun, ikut seminar-seminar, baca buku, atau berdiskusi. InsyaAllah tidak rugi. Justru itu mungkin jadi bekal berharga kalau sudah tidak lagi di fase tsb. Yang rugi itu kalau dengarin semua kata orang di luar sana, yang peduli pun tidak ketika kita kesulitan. 

Semua fase ada ujiannya. Semoga kita semua --apapun fase yang sedang ditakdirkan Allah untuk kita jalani saat-- bisa mengantarkan keberkahan dari Allah SWT. Semoga kita lulus ujian dengan paripurna, aamiin yaa rabbal alamin..