7.20.2023

Ngajak Senang

Ada orang, yang tidak mau mengabari kabar bahagianya kepada saya karena takut saya iri. Konon karena dianggapnya saya tak berpunya atau kalaupun punya, ya cuma sedikit dibanding punyanya, jadi nanti saya bakalan iri banget kalau saya tahu dia dikaruniai Allah suatu nikmat. 

Sementara itu, dia ngabarin ke orang lain yang dianggapnya "lebih" darinya. 

Oke. Di sini saya cuma mau menyuarakan pendapat pribadi yang kalau diutarakan secara lisan, seringnya terabaikan dan tidak dianggap karena volume suara saya yang kecil. Mumpung punya blog kan, haha

"Maaf, insyaAllah saya tidak iri dengan hal-hal semacam itu, kecuali kalau dengan karunia itu, kamu dipastikan masuk surga Allah. Serius."

Giliran susah, ia minta orang lain ikut nanggung. Giliran senang, boro-boro ngajakin, cuman ngabarin jak pun ogah die. Naudzubillah. Semoga saya dan teman-teman pembaca yang budiman, terlindung dari sikap sedemikian. Aamiin

Btw, plis dipahami ya. Jangan salah ambil kesimpulan. Bukan berarti saya keberatan bantuin orang yang sedang kesusahan. Kita semua pasti akan mengalami momen sulit dan memerlukan bantuan. Dunia berputar. Kesulitan berganti, kebahagiaan tidak abadi. Namun, alangkah baiknya jika orang-orang yang "diajak susah" juga "diajak senang". Jangan ngajakin susah mulu, gitu loh. Apalagi dianggap bakalan iri, duhai.. 

Ituloh maksudnya.

Read more…

5.27.2023

"Baik Pak"


Di suatu tempat virtual di awal semester, seorang dosen bertanya kepada mahasiswa-mahasiswinya tentang proyek individu. Jawabannya seperti biasa, "baik pak", tapi seperti biasa juga, tidak tuntas karena tidak semua yang menjawab "baik pak" menjawab pertanyaan bapak dosen tersebut. Tentu ada yang jawabannya genah, jelas, tapi bisa dihitung dengan jari.

Hari berganti, bulan berlalu. Pak dosen tidak mendapat kabar lanjutan dari proyek individu tersebut. Karena khawatir tidak beres, bertanya lagi lah dosen tersebut. Berhubung waktunya sudah mepet, bapak dosen pun memodifikasi pertanyaannya, "mau tentukan sendiri atau saya yang menentukan?". Sebuah pertanyaan yang harusnya jawabannya ada di salah satu opsi yang ditawarkan. Namun apa yang dijawab oleh mayoritas mahasiswa-mahasiswi tersebut? Yep, bisa ditebak dari judul tulisan ini. Mereka dengan cekatan menjawab "baik pak". Laaaahhhhhhhhhh. Pegimane ceritenye shayyy. Yang ditanya a atau b kok malah jawab baik. Kan ndak nyambung.

Sekali lagi, tentu tidak semuanya menjawab default absent-minded seperti itu, tapi asli, yang merespon "nyambung" dan wajar itu bisa dihitung dengan jari sebelah tangan saja. Sungguh... -_-

Saya, yang melihat ini, rada esmosi. Prihatin juga. Gimanaa nanti kerja model begitu, ndak nyambung instruksi sama respon. Gimanaa nanti jadi orang tua, yang nasib pendidikan generasi berikutnya berada di tangan dan pundak mereka..

Awalnya jari saya gatal pengen menegur kelakuan tersebut, tapi urung, karena sebelumnya saya sudah pernah menegur. Saya sih sebenarnya tidak masalah, mau dicap dosen cerewet, judes, atau apapun. Toh kita tidak bisa memaksakan pendapat orang tentang kita. Yang membuat saya urung adalah, kemungkinan besar mereka akan menjawab default absent-minded lagi. Sebelumnya gitu, soalnya xD *sudah berpengalaman wkwk

Jadi, ya sudahlah. Daripada beta tambah esmosyon, yekan, jadi mendingan nulis blog ajelah. Tulisan ini bisa dibilang part 2 dari tulisan saya sebelumnya, yang berjudul "Baik Bu, terima kasih". Pikiran ini harus dialirkan. Bisa berbahaya buat kesehatan mental dan fisik gegara nahan hati dengan kelakuan yang --entah niradab entah nirakal-- entahlah. 

Note: mohon diperhatikan bahwa saya tidak menyebut nama sama sekali, ya, baik di tulisan ini maupun tulisan sebelumnya. Jadi ini lebih ke tulisan keprihatinan dan penyaluran pikiran yang berkelindan di kepala.

Mohon doa-doa baiknya, ya, good people.. terima kasih..


Kota Terigas, 27/05/23

Read more…

3.04.2023

Pengalaman Mengikuti IELTS Prediction Test

Akhir bulan Februari 2023 lalu, saya dan suami ikutan IELTS Prediction Test yang diselenggarakan online oleh Best Partner Education, salah satu lembaga pendidikan bahasa yang (rupanya) didirikan oleh orang Sungai Jawi, Pontianak. 

Sesuai namanya, ini masih prediction test alias tes prediksi, bukan yang benarannya, jadi hasilnya juga masih perkiraan. Tapi lumayan, karena kami jadi tahu bentuk ujian IELTS itu seperti apa, dan jadi terbayang juga sih, kira-kira harus perkuat di mana dengan hasil prediksi yang sekarang.

Terus terang, pas ngikutin tes ini, saya tidak ada persiapan sama sekali. Kayak bukan diri sendiri sih, karena kalau saya ikut tes tuh biasanya agak ribet persiapan ini itu --saking tegangnya. Yes, saking tegangnya, takut ndak lulus, heuheu. Tapi kali ini malah kelewat tenang, ndak ada tegang-tegangnya (kecuali pas speaking test sih, yang beda hari karena servernya eror. Itu tegang beb, hehe). Mungkin karena itu tadi, baru tes prediksi, online pula, dan waktunya bisa menyesuaikan, jadi saya agak (kelewat) nyantai. 

Eh, ndak nyantai-nyantai amat sih, karena asli, pas tesnya mikir keras. Susah bok! Heuheu, kelamaan ndak latihan bahasa Inggris. Dan karena tesnya online, susah sekali nyeting otak (saya orangnya agak konvensional --lebih nyaman baca buku yang dicetak daripada ebook, lebih nyaman liat jam analog daripada digital, dsb), jadi scrolling² begitu, menurut saya, jauh lebih sulit daripada membalik halaman kertas. Susah bikin patokan. Ditambah waktu itu saya baru sempat tes malam hari, karena seharian anak ndak mau lepas plus kan giliran sama suami. Saya baru mulai tesnya pukul 9 malam, sambil ngelawan ngantuk, dan sambil ditarik-tarik sama anak yang masih pengen main, hihi. Jadi secara umum, saya ngerasa kurang optimal sih. Tapi melihat sikon, begitulah. Better done then perfect, because nothing is perfect (menghibur diri heuheu). Terima kasih untuk suami yang banyak membantu menjaga buah hati kami waktu saya tes. 

Untuk biaya pendaftaran, tes prediksi ini 90 ribu rupiah per orang. Itu sudah termasuk keempat jenis tes (Listening, Reading, Writing, Speaking) plus e-sertifikat. Terhitung murah, karena --sekali lagi-- ini cuma prediction test, bukan tes aslinya. Pas listening test-nya, rekaman native speaker; tapi pas speaking test, yang wawancara non-native (tapi bahasa Inggrisnya fluent syekali). Kalau IELTS asli, baik listening test maupun speaking test, speaker-nya native. IELTS asli biayanya sekitar 3 jutaan, minimal. Jadi begitulah ya. Beda. Tapi worth it, menurut saya. Apalagi Mr Ryan, speaker di speaking test kami, baik sekali. Pasca sesi speaking test, beliau dengan senang hati ngasih feedback atas kelemahan/kesalahan kami dan tips menghadapi tes IELTS yang asli nanti. Nanti, belum tau kapan.

Terkait hasilnya, saya dan suami sama-sama di band 6,0 alias competent user. Kalau dirunut sesuai tes L-R-W-S, nilai saya 6,5-6,5-6,0-5,5 sementara suami saya 6,0-6,0-6,0-6,0. Alhamdulillah. Mayan. Tapi tetap harus ditingkatkan, terutama kalau mau lanjut kuliah di luar negeri. Tapi kalau ndak lanjut di luar juga ndak masalah lah kalau mau ditingkatkan. Belajar ndak ada ruginya. Apalagi semenjak jadi dosen, saya harus banyak baca literatur bahasa Inggris. Capek juga kalau lama paham. Pengennya, sekali baca langsung ngerti dan bisa menjelaskan, gitu. Istilahnya-- meminjam kata-kata dari teman saya-- kalau bisa mimpi pun pakai bahasa Inggris, sambil fasihnya. Hihi. Bisa aja ya. 

Kalau kata Mr Ryan, di speaking test itu saya kurang konsisten dalam menggunakan istilah ilmiah dan tidak ada sama sekali menggunakan idiom. Terus, saya banyak ngomong tapi kualitasnya kurang, vocab kurang kaya (banyak ngulang kata-kata yang sama) dan grammar-nya kurang oke. Memang grammar nih PR saya dari jaman sekolah dulu hehe. Harus banyak latihan bikin kalimat pasif dan komparasi. Keep it simple, pesannya ke saya. Kabar baiknya, pronounciation saya dipuji, hehe. Alhamdulillah. Ada lah ya kelebihannya dikit. Untuk meningkatkan, beliau menyarankan untuk banyakin nonton film atau sekadar mendengarkan percakapan. Menurutnya, ini metode mudah dan menyenangkan dalam meningkatkan kemampuan berbahasa. TED talk bagus, namun tidak terlalu relevan buat meningkatkan IELTS karena lebih ke speech. 

Begitulah. 

Berhubung hp saya lowbat dan listrik lagi padam, saya sudahi dulu ya. Sampai nanti. Bye!

Read more…

2.03.2023

Riak-Riak Kehidupan

Kulihat lagi foto-foto kala itu
"Bagaimana jika ... ", kataku dalam kalbu
Ah, tapi cepat-cepat kuhentikan
Teringat ucapan "seandainya kalau" adalah pintu jebakan setan

Tapi serius
Tiap kali kumenyesali sesuatu, hampir selalu kukatakan
"Bagaimana jika"
Ya, bagaimana jika momen buruk itu tak kutemui?
Bagaimana jika hal di luar rencana itu tak kujalani?
Apakah semua akan sama?
Hm, selas tidak!
Tapi apa? Karena pasti ada

Aku hanya dapat menunggu
Menunggu pemahaman itu muncul
Menunggu pengertian itu lahir
Kesadaran bahwa akan ada sesuatu yang menunggu untuk dipahami dan dimengerti itu memudarkan penyesalanku
Takkan mungkin sesuatu terjadi tanpa maksud
Tidak ada yang namanya kebetulan

Lucunya, seringkali, yang berada di ujung penantian itu selalu manis
Atau minimal aku sadar bahwa itulah yang terbaik
Pemahaman itu yang aku ingatkan selalu
Bahwa pertemuan dengan apapun yang menyebalkan mengajarkan sesuatu
Dan perpisahan dengan apapun yang menyenangkan mengajarkan sesuatu

Bahwa riak kehidupan seseorang mungkin akan bersinggungan dengan yang lain, berdampak, dan mempengaruhi cerita berikutnya

Kulihat lagi foto-foto di kala itu, lalu bergumam sendirian
"Jika tidak kujalani masa lalu, takkan sampai kumenjadi seperti sekarang"
Jika kumembenci diriku yang sekarang
Maka kuberdoa pemahaman itu segera datang

Kota Terigas, 03 02 23

Read more…

1.26.2023

"Baik Bu, Terima Kasih"

Disclaimer: tulisan ini terinspirasi kisah nyata dari interaksi dengan oknum mahasiswa saya yang memang agak "ajaib". Tidak ada tujuan menjelekkan orangnya karena sama sekali tidak menyinggung nama ybs. Saya cuma merasa perlu menceritakan dan berharap tidak berulang di masa depan. 

***

Pas diingatkan untuk segera mengerjakan, jawabannya "baik bu, terima kasih", tapi entah apakah dia mengerti arti kata segera.

Pas udah janjian ketemu, jawabannya "baik bu, terima kasih" tapi kemudian tidak hadir dan tanpa kabar. Ya ngabarin sih, tapi setelah berniat mau ketemu lagi, ahai.

Pas akhirnya jadwal ulang ketemuan, datangnya telat sejam dari janji. Dia yang perlu, dia yang menyuruh nunggu.

Pas diingatkan "jangan ulangi ya", "jangan menghilang lagi ya", "segera dikerjain ya", jawabannya sungguh merdu di telinga, "baik bu, terima kasih" tapi ternyata, yaa gitu deh. Diulang lagi, menghilang lagi, berlama-lama lagi.

Dan sekarang, jadwal orang lain udah move on, dianya (tentu saja) belum bisa move on. Sakitnya, jadi ganggu jadwal orang lain. Entahlah dia pernah mikirin ini atau tidak, karena tiada maaf pernah terucap.

Waktu mepet, maunya ketemuan lagi. Pas dijawab, "boleh, saya bisa hari ini", lah dianya malah balas jawab, "oh saya tidak bisa hari ini". (--__--) Ya Allah, cobaan, tapi ya sudahlah, "Ok kalau begitu cetak saja, letakkan di atas meja saya". Jawabannya, you guess it right, "baik bu, terima kasih", tapi sampai sepekan tidak ada kabar sama sekali.

Udah dibilangin sebelumnya, "memori saya penuh, jadi jangan kirim soft file ya, hard copy saja. Print pake kertas bekas juga ndak papa, hitam putih saja". Tentu dijawabnya "baik bu, terima kasih" tapi kemudian menghubungi lagi dan menyatakan maunya kirim screenshot saja. "Perbaikan saya ndak banyak kok", tambahnya lagi. Deuh, emangnya dia pikir saya buta atau apa ya, karena faktanya, hasil kerjaannya adalah salah satu yang terminim yang pernah saya baca. Begitu over estimate sekali dia sama kerjaannya. Akhirnya saya cuekin. Capek kalau harus ngerespon yang model begitu. Dikasih hati malah nambah mintanya: jantung, empedu, usus, sama kantung kemih sekalian, heuheu.. :'/

Meskipun kata-katanya (kayak) santun banget: "baik bu, terima kasih", tapi kalau tanpa tindakan selaras ujungnya malah jadi niradab. Naudzubillahi min dzalik. 

Semoga di masa depan tidak ketemu model seperti ini maupun yang lebih parah. Dan yang paling utama, semoga saya (dan yang membaca ini sampai habis) juga tidak terjerumus dalam akhlak buruk sedemikian, aamiin


Kota Terigas, 26 Januari 2023

Read more…

1.25.2023

LAPORAN YANG MENGGANGGU!!

Seperti biasa, akhir semester adalah saatnya bagi para dosen mengoreksi banyak hal, termasuk laporan-laporan dari para mahasiswa tercinta. Tak terkecuali laporan magang. FYI, di pendidikan vokasi (politeknik), magang dilakukan lebih banyak porsinya daripada pendidikan akademik (universitas). Di prodi tempat saya mengabdi, magang dilakukan sebanyak 2 kali, jadi di akhir semester genap menguji laporan magang fase 1 dan di akhir semester ganjil menguji laporan magang fase 2.

Sayangnya, tahun ini saya mengetahui sesuatu yang cukup miris. Di bagian saran salah satu mahasiswa magang (bukan bimbingan saya), tertulis sebuah saran yang spektakuler: saran menghapuskan kewajiban magang fase ke-2 karena menurutnya pembuatan laporan magang adalah hal yang sia-sia dan mengganggu waktu penyusunan proposal penelitiannya yang waktunya begitu sedikit. Waktu mengetahui hal ini, reaksi pertama saya adalah: Wow.. just wow. haha. Sementara rekan saya yang lainnya berkata "mungkin skripsi sebaiknya dihapus juga, karena mengganggu masa hidup yang sangat pendek". Analogi yang sungguh mengena dan setara dengan pernyataan mahasiswa yang bersangkutan (ybs), namun di saat yang sama sangat membagongkan. Saya semakin tertawa. 

Ingin saya mengatakan kepada mahasiswa-mahasiswi kami tercinta:
"Membuat laporan, sayang, adalah salah satu skill mendasar yang membedakan kamu dan orang yang tidak mengecap pendidikan. Mereka bisa saja pandai bekerja, tapi membuat laporan, belum tentu. Karena jelas sekali, menulis adalah hal yang sulit, dan untuk menguasai ini maka ia perlu diasah, dilatih, dan diulang-ulang, terus-menerus tanpa bosan, tanpa malu saat diberi masukan. Menulis memerlukan keluasan dan keterbukaan pikiran. Inilah yang diasah di bangku perkuliahan.

Bahkan, sayang, skill menulis laporan amat sangat penting dan berguna saat sudah bekerja nanti. Pekerja tidak akan pernah lepas dari yang namanya laporan, di manapun ia bekerja: swasta kek, negeri kek, wirausaha kek. Kamu bilang mau jadi bos? Maka kamu harus tahu seperti apa dan bagaimana cara membuat laporan yang baik itu. Omong kosong menjadi bos jika otak kosong melompong. 

Kita hanya bisa mengukur keberhasilan pencapaian target dari menunjukkan laporan, yang selaras dengan hasil di lapangan, tentunya. Tidak ada pekerja yang lepas tanggung jawab dari menulis laporan, karena laporan tertulis bersifat dapat dibaca berulang sehingga bisa dicek kebenarannya. Beda dengan laporan lisan, yang sangat mungkin indah penuh dengan bunga, padahal banyak comberannya. Jadi laporan adalah bukti sikap bertanggung jawab. 

Maka, berusahalah belajar menulis meskipun sulit, meskipun banyak revisi. Inilah saatnya belajar, karena saat bekerja nanti akan lebih sulit untuk belajar."

Btw, berhubung saya tahu mahasiswa ybs malas-malasan saat magangnya, saya hanya tersenyum tipis. Benar lah bahwa hanya orang yang bekerja lah yang mampu melaporkan hasil

Ini pengingat juga untuk saya. 

With love
Kota Terigas, 25 Januari 2023

Read more…

12.16.2022

Saat Merasa Tak Pantas

Ketika kamu merasa tidak pantas berada di suatu posisi, tegakkan kepalamu dan tetaplah tersenyum. Allah mengizinkanmu berada di posisi itu mungkin memang bukan karena kepantasanmu, tapi lebih karena Dia memberikan kesempatan kepadamu. Kesempatan untuk belajar. Kesempatan untuk merasa paling bodoh di antara semua orang. Kesempatan untuk bersabar ketika ada yang memutar matanya karena meragukan kepantasanmu. Kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Kamu mungkin merasa tak pantas, atau belum pantas, atau tidak akan pernah merasa pantas. Tapi ingatkan dirimu sayang, kamu pantas untuk belajar, pantas untuk menjadi lebih baik, pantas untuk mencoba memberikan yang terbaik.

Biarkan orang memutar matanya sepuasnya, meragukan dirimu semaunya. Itu menyakitkan, tapi itu bukan urusanmu. Karena itu, jangan terlalu dipikirkan. Apa yang perlu kamu sibuk pikirkan adalah bagaimana cara menjadi versi terbaik dirimu setiap harinya. Banyak hal yang harus dikerjakan. Bukan untuk mengejar kepantasanmu di mata manusia, tapi kepantasanmu di mata Dia yang memberikanmu kesempatan.

~ Self talk selama perjalanan, 15 Desember 2022, yang tertuang sehari setelahnya.

Read more…

11.03.2022

Kekuatan Orang Dalam

Sejak semester lalu, entah sudah beberapa kali saya dipaparkan dengan kasus tentang the power of insider alias kekuatan orang dalam. Mulai dari mahasiswa semester akhir yang nulis kutipan "kunci kesuksesan adalah orang dalam" di halaman motto di draft skripsinya; sampai dengan mahasiswa yang sepertinya ingin menguji saya dengan sengaja nyontek di kelas saya lalu minta perlindungan atasan saya. 

Untuk kejadian yang saya sebutkan pertama di atas, alhamdulillah anaknya dengan kesadaran sendiri mengganti isi halaman motto dengan kutipan lain yang lebih berkualitas dan memotivasi di skripsi finalnya. Halaman motto memang terserah mahasiswa tapi ini cukup memberikan gambaran kepada saya betapa insecure-nya anak-anak kami dengan hal tersebut sampai kepikiran bikin halaman motto dengan kalimat tersebut. Bukankah apa yang dikeluarkan adalah hasil dari apa yang masuk ke dalamnya? Sudah sangat bisa dipastikan bahwa anak tersebut terpapar begitu banyak kasus kesuksesan atas andil "kekuatan orang dalam" dalam hidupnya sampai dengan begitu yakin menganggap itu adalah hal yang inspiratif dan keren untuk dituliskan di halaman motto hidup penulis. Terus terang, sedih menyadari ini.

Untuk kasus yang saya sebutkan belakangan, terus terang masalahnya belum selesai sampai saya menulis postingan ini. Untungnya atasan saya normal, jadi tidak ikut campur. Tentang kasus ini sebenarnya saya sudah punya firasat kurang baik mengenai mahasiswa ybs. Selama perkuliahan sikapnya seringkali terlihat tidak respek: main hp saat saya menjelaskan, selalu berlama-lama saat izin keluar, beberapa kali ketangkap memutar mata (eye-rolling behavior).. Cuma selama setengah semester itu saya males nanggapinnya. Saya suka mengajar, jadi rasanya sayang kalau sampai mengorbankan mood baik untuk 1 kelas gegara 1 anak menyebalkan kayak gitu. Toh menurut saya, dia sendiri yang rugi karena sengaja meninggalkan ilmu.

Tindakan tidak respeknya yang terakhir, ya, pas nyontek itu. Padahal udah jelas-jelas diingatkan berkali-kali, sejak dari kontrak perkuliahan sampai sesaat sebelum ujian berlangsung. Yes, just before the exam!! Jadi bohong banget ketika dia ngaku ke atasan saya kalau dia tidak sengaja. Dan ini juga makin menunjukkan sikap tidak respeknya selama ini: melangkahi saya. Bikin masalah dengan saya, tapi minta pembelaan dari atasan saya. Dia tahan nunggu berjam-jam untuk ketemu sama atasan saya yang sibuk, tapi baru ngirim permintaan maaf (yang belum saya yakini ketulusannya) 5 hari pasca kejadian. Itupun di hari libur. Benar-benar ngerusak mood. Seremeh itu perlakuannya kepada saya. Tapi biasanya tetap kualat sih, anak kayak gitu.

Selain dua cerita di atas sebenarnya ada beberapa kejadian lain yang menggelitik otak saya buat mikir. Salah satunya ketika saya ditanyai mahasiswa tentang tanggapan saya terkait kekuatan orang dalam ini. Di semester ini, pertanyaan sekitar masalah tsb setidaknya sudah saya dapatkan dari 3 kelas yang berbeda. Saya senang mereka bertanya sehingga saya berkesempatan menyampaikan pendapat saya, yang semoga membukakan mata mereka. Namun di sisi lain, saya merasa sedih dan miris, karena ini menandakan betapa mereka merasa begitu tidak aman dengan masa depan mereka akibat faktor "orang dalam" ini. Terlebih faktor ini sangat nyata terjadi di sekitar kami sehari-hari. Faktor yang sangat tidak bisa diabaikan namun menjadi rahasia umum yang pantang dibuka kecuali sudah siap dengan gejolak sosial yang mengerikan. Sungguh menyedihkan.

Contoh lain sepertinya tidak perlu disebutkan. Terlalu banyak.

***

Malam ini saya terdorong untuk menulis ini, gegara baca sebuah surat dan melihat fenomena², membaur jadi satu. Tadi sempat mikir gini, "kenapa ya hidup ini begitu tidak adil?". Banyak kasus orang kompeten yang kalah saing dengan orang yang tidak kompeten tapi punya privilege orang dalam (yang entah didapat dari hubungan keluarga ataupun karena keahlian menjilat). Why? Just why???

Ini cukup mengganggu karena saya melihat generasi muda jadi malah berlomba mencapai/ mendapatkan sesuatu yang bersifat superfisial (tapi dianggap bisa jadi modal untuk mendapatkan kunci kesuksesan: "kekuatan orang dalam"), bukannya berlomba meningkatkan mutu diri dan mengaplikasikan ilmu yang berharga untuk dunia maupun akhirat nanti..

Ah, akhirat. Kata ini mengingatkan saya. Kehidupan dunia memang bisa jadi sangat tidak adil, tapi Allah Maha Adil. Kekuatan-orang-dalam tidak akan ada apa-apanya dengan kekuatan Yang Maha Kuat, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa. Jadi lakukan saja yang terbaik yang bisa dilakukan untuk akhirat, minta tolong sama Allah. Jangan terlalu pusing mikirin dunia (tapi nulis gini perlu juga buat healing mengurai pening. Heuheu)

Dah dulu deh. Ngantuk 👋

Read more…

9.29.2022

Tentang Nama

Hai. Perkenalkan, nama saya Delyanet. Akrab disapa "Yanet". Kalau di rumah, saya biasa dipanggil "adek". Itu panggilan sayang oleh Mama, Bapak, dan Kakak. Tapi terus terang, meskipun itu panggilan sayang, saya sebenarnya tidak suka dipanggil "adek" oleh orang lain, kecuali jika ditambah nama saya, yaitu "Adek Yanet". Lengkap. Sepupu-sepupu saya sebelah Bapak dan abang ipar saya selalu memanggil saya demikian. Saya merasa lebih dihargai seperti itu. Ada identitas nama di belakangnya. Bukan cuma "adek".

Cuma "adek" itu seringkali bikin rancu. Pertama, belum tentu saya "adek"nya yang manggil, dalam artian, belum tentu pangkat kekeluargaan saya lebih rendah dari yang manggil. Kalau masalah usia sih bisa saja saya lebih muda. Itu karena mama saya bungsu dan nenek saya bukan anak sulung, sehingga banyak saudara sepupu saya (dari saudara kandung mama maupun saudara sepupunya mama) yang usianya jauh lebih tua bahkan punya anak yang usianya seumuran/lebih tua dari saya. Artinya, ada keponakan saya yang lebih tua. Ketika panggilan "adek" tidak diiringkan dengan nama saya, nih keponakan-keponakan jadi bingung manggil saya siapa. Alhasil, keponakan saya yang lebih tua memanggil saya "adek" juga. Kan minta kualat hihihu

Kedua, kebingungan lain yang paling sering muncul adalah ketika pangkat disematkan ke saya. Misal, kakak jadinya Kak Adek (harusnya Kak Yanet); mak usu jadinya Mak Su Adek (harusnya Mak Su Yanet); tante jadinya Tante Adek (harusnya Tante Yanet), dst. Aneh kan? Padahal jelas-jelas nama saya Yanet. Kinipi jidi bigitii

Ketiga, karena jelas, panggilan "adek" itu terlalu umum, alias pasaran. Jadi ceritanya pernah nih, ada senior jaman SMA dulu mau main ke rumah. Saya kasih lah alamat saya. Tapi berhubung waktu itu saya belum punya hp, jadi ybs cuma bisa nanya tetangga saya waktu belum yakin sama rumah yang mana. Pas senior itu nanya, "Pak, rumahnya Delyanet yang mana ya?", lha tetangga saya malah jawab "ndak tau". Menurut cerita senior saya itu, ybs akhirnya memberanikan diri ngetuk rumah saya, dan alhamdulillah benar. Pas ketemu, dia langsung protes "tak tekenal kau ni, Net". Wkwk. Ember!

Itu masih belum apa-apa sih. Ada lagi cerita yang lebih kocak dari nama saya ini. Jadi entah sejak kapan, nama saya tiba-tiba dianggap macho oleh sebagian orang. Mungkin karena mirip Del Piero dan Herjunot Ali. Alhasil, kenalan baru --yang dulunya suka bola atau suka nonton atau kurang survei atau murni lagi khilaf-- akan menyapa saya dengan sebutan "pak", "abang", atau "mas". 

Dulu, saya mudah sensi kalau disapa begitu. "Bang Yanet", kata seseorang di fb. Dih, kagak kenal manggil gue abang, apaan tuh. Padahal udah jelas-jelas foto profil pakai wajah sendiri: berjilbab, senyum-senyum, sambil bawa payung. Kurang feminin apa lagi cobaa. Saking emosinya, langsung hapus pertemanan, plus kasih kata "binti" sekalian di nama profil. Pokoknya kalau ada yang salah lagi, bener-bener dah.. (gara-gara dulu kelewat ramah, cuma karena kuliah di satu tempat yang sama, main tambah pertemanan aja)

Pernah juga, diundang acara apaa gitu, oleh organisasi yang dulu aktif saya ikutin pas kuliah. Diundangannya ditulis "kepada "Bapak Delyanet"". Pas ngantar sebenarnya udah dikasih tau oleh Bapak saya (waktu itu saya sedang tidak di rumah). Jadi yang ngantarin undangan nanya, "Bapak Delyanet ada?" Dijawab Bapak saya, "Bapaknya Delyanet itu saya. Delyanet itu anak perempuan saya", lah undangannya tetap dikasihkan tanpa dikoreksi. Dicoret kek, kata "Bapak"nya. Duh gregetan. Plus, perasaan di buku alumni ada foto deh. Akhirnya acaranya tidak saya hadiri. Ya, kan ngundang "Bapak Delyanet"

Tapi itu dulu sih. Cerita lama. Sekarang lebih santai. Paling ya ketawain aja lah. Kan kasian, mereka belum tahu arti nama saya. Bagus loh artinya. Kapan-kapan deh saya cerita tentang itu. Sekarang mau cerita tentang ini dulu.

Jadi sebenarnya tulisan ini terpicu dari kejadian kemarin, waktu dihubungi oleh nomor asing yang meminta konfirmasi kelengkapan berkas kerjaan. Oh, ini bukan yang pertama kali. Saya pun dipanggil "Bapak". Yes, Bapak Delyanet, katanya. Padahal udah jelas-jelas pakai foto profil feminim di akun kerja. Hihi. Tapi berhubung ini urusan kerjaan dan belum tentu juga ketemu sama orangnya, jadi saya iyain aja biar tidak terlalu awkward. Saya maklum sih, kerjaan banyak bikin mata siwer. Udah sering ngalamin. Lagian yang penting infonya nyampai, insyaAllah. No hurt feeling, cuman jadi tergelitik pengen nulis, hehe

Last but not least. Ini ada juga cerita berkesan tentang mahasiswa terkait nama saya. Kejadiannya tahun lalu. Jadi ceritanya nih dia ketua kelas. Niatnya sih bagus, mau silaturahmi dulu sama dosennya sebelum ngajar. Beramah tamah gitu lah. Bahasanya sebenarnya sopan dan cukup luwes. Cuma yaa, itu, kurang survei. Masak saya dipanggil "Pak" dong. Terus, waktu saya bilang, "saya bukan bapak-bapak, ya" (ya maksudnya, saya ibu-ibu), eh ybs malah jawab, "oh baik, maaf ya bang". Jederrrr!! 🤣  


Read more…

6.20.2022

Masaku, Masamu

Setiap fase punya masa.

Dulu, saat orang tercintaku sakit, dia dengan teganya bertanya tanpa dosa, "memangnya dikasih makan apa, bisa sakit begitu?"
Lalu dia pun berlalu, tak membantu.

Aku belajar.
Barang branded tak mencerminkan akhlak.
Pekerjaan berkelas tak menunjukkan moral.
Empati lebih mahal dari itu. Tak dapat dibeli.

Sekarang keadaan berbalik padanya.

Aku takkan mengatakan hal yang sama, atau bersikap serupanya. 
Aku hanya akan mendoakan kesembuhan dengan tulusku, dalam diam dan geramku.

Semoga dia belajar sesuatu.

Jikapun tidak, tak mengapa. 
Dia mengajariku, satu.
Untuk selalu menjaga lisanku.

~ Sambas, 20 Juni 2022

Read more…

6.17.2022

Awan


Awan adalah momen
Kamu dan aku dapat menikmati tariannya bersama
Saat kita berdekatan ataupun berjauhan
Dalam satu waktu ataupun berbeda masa

Namun ingatlah
Apa yang kulihat takkan sama persis dengan apa yang kamu lihat
Tempatku berdiri akan menentukan sudut pandangku
Begitupun denganmu

Bilapun kita pernah berdiri di titik yang sama, pastilah detiknya berbeda
Kamu duluan, atau mungkin belakangan
Bilapun gambar mampu mengabadikan titik dan detik yang persis sama, bisa jadi persepsi kita berbeda

Jadi nikmatilah

(Sambas, 17 Juni 2022. Jum'at pagi saat gerimis)

Read more…

5.19.2022

Syukur

Bersyukurlah atas segala yang kita miliki meski terasa tidak sempurna..

Di luar sana, ada yang dalam diam berusaha kuat, mengumpulkan tenaga dan semangat, tak henti berdoa, sambil tetap tersenyum. Begitu senyap sehingga ketika mereka bercerita kepada kita tentang kesulitan yang mereka hadapi, kita akan kaget karena tak pernah menyangka.. 

Betapa tegarnya mereka, dan betapa beruntungnya kita..

Read more…