Malam ini saya berdua saja dengan keponakan sepupu, Isna. Sambil menghabiskan makan malam, kami ngobrol. Saking asyiknya, obrolan terus berlanjut sampai makanan di piring habis.
Salah satu topik yang kami bahas adalah tentang orang-orang bermuka dua. Orang-orang yang di hadapan lain, di belakang beda. Na'udzubillah, jauhkan diri ini dari sifat tersebut ya Allah.. :'
Saya katakan padanya, hal yang paling mengganggu saya dari orang bermuka dua adalah sifat mereka yang penjilat luar biasa. Lucunya, orang yang punya kemampuan menjilat itulah yang biasanya punya karir gemilang yang kadang bikin iri. Hayati lelah, bang.. ~eeh
Tapi tahukah teman-teman, apa respon dari keponakan saya itu? Dengan ringan ia bilang, tak perlu iri dengan orang-orang seperti ini, karena mereka tidak pantas diirikan. Saya sempat terdiam, tersadar bahwa rupanya saya sudah melupakan dan menggeser standar sedemikian rendah.
Saya jadi teringat nasihat dosen saya yang baik, Bu Wahdinah (yang kebetulan sekarang jadi dosen pembimbing akademiknya Isna), tentang penyakit hati. Bahwa menurut Rasullullah SAW, sifat iri adalah sifat tercela yang termasuk ke dalam kelompok penyakit hati. Namun, insyaallah, ada iri atau cemburu yang diperbolehkan dan dianjurkan, yaitu cemburu kepada orang yang menginfakkan hartanya (bisa berupa benda maupun ilmu) di jalan Allah. Jadi disini, yang dilihat bukan hartanya, melainkan penggunaan hartanya. Sifat iri seperti ini bisa mendorong kita berlomba-lomba dalam kebajikan.
Benarlah kata orang bijak, bahwa dengan siapa kita berteman akan mempengaruhi pola pikir kita..
Beberapa bulan lalu saya pernah baca status seseorang yang pernah jadi dosen saya dulu, bahwa jika ingin mendapatkan sesuatu maka lakukanlah segala cara, termasuk menjual tampang dan mendekati orang-orang yang berkuasa (menjilat?). Lucunya, banyak orang termasuk yang pernah jadi muridnya, menyukai statusnya ini. Miris juga sih, apa berarti itu jilatan untuknya? Auk ah, bodok amat.. Mengerikannya, tanpa saya sadari ternyata konsep itu juga menggeser standar kesuksesan saya menjadi terlalu rendah.
Malam ini saya belajar banyak, termasuk belajar dari anak muda belia seperti Isna. Tidak ada yang salah belajar dengan anak muda karena mereka juga guru kehidupan. Kadang dari mereka yang muda inilah kita ingat suatu hal penting yang terlupa. Sedang dari orang tua, biasanya kita mendapatkan ilmu tentang hal yang belum kita ketahui atau pengalaman berharga. Masing-masing dengan perannya.
Terima kasih ya, Anong Isna, yang sudah mengingatkan kebaikan di malam ini. Terima kasih juga kepada para guru kehidupan yang telah mengajarkan saya berbagai ilmu, baik yang patut ditiru maupun yang tidak. Akhir kata, semoga kita (saya dan teman-teman pembaca) bisa terhindar dari sifat menjilat dan bermuka dua hanya untuk mendapatkan keinginan dunia. Na'udzubillah tsumma na'udzubillah..