9.13.2014

Kembang Tahu Emas

Belakangan ini ramai cerita tentang pengalaman pahit makan dengan harga selangit. Apalagi di tempat rekreasi/wisata, atau rumah makan persinggahan bus. Wih, jangan berani-berani sembarangan jajan, bisa-bisa kantong tercabik-cabik...

Solusinya,
lebih baik bawa bekal sendiri. Harga murah dan lebih terjamin. Hanya saja biasanya kalau tidak sempat ya, mau tidak mau beli di luar juga. Kalau sudah begini, biasakan bertanya harga dulu sebelum membeli. Sebodo amat lah dibilang pelit atau kere. Duit duit kita, ya terserah kita mau membelanjakan untuk apa dan seperti apa. Ya nggak? ;)

Saya selalu ingat nasihat Bapa', jangan pernah singgah di tempat makan yang tidak ada harganya, kecuali kalau sudah langganan. Semakin ramai suatu tempat rekreasi, kita justru harus semakin hati-hati. Hati-hati copet dan hati-hati ditipu penjual nakal yang mematok harga yang kelewatan. Berdagang tentu mau untung, tapi kalau sampai 3 atau 4 kali lipat dari harga normal, hmmmm... Nggak 2 kali deh!

Untungnya sekarang zaman sudah lebih informatif. Kalau jadi korban, kita bisa foto lokasinya dan sebarkan agar teman-teman kita tidak menjadi korban juga. Dan biar pedagang nakalnya kapok dan ingat: semua perbuatan pasti ada konsekuensi...
#judulnya "sama-sama kapok" :D Sip

Dulu kalau liburan, saya dan keluarga sering ke Sambas. Di perjalanan pasti singgah karena lumayan, kurang lebih 5 jam kalau sambil santai dan tidak buru-buru. Nah, karena santai, banyak juga berhenti istirahatnya. Apalagi yang bisa mengendarai mobil cuma Bapa', jadi seringnya singgah di warung kopi yang berjejer di pinggir jalan. Kalau tidak hati-hati, bisa tuh, kena harga kopi mahal. Untungnya Bapa' tahu beberapa tempat yang harganya wajar dan rasanya juga wajar. Mungkin karena Bapa' orang lapangan yang sering keluar kota, jadi tahu hal-hal seperti itu.

Menurut pengalaman Bapa', dan saya juga, harga makanan dan minuman di warung pinggir jalan arah pesisir masih mendingan daripada yang arah pelosok hulu. Maklum sih, beda harga karena faktor penting seperti faktor pengangkutan. Apalagi pembangunan tidak merata. Tapi kalau sampai nasi sepiring lauk telor sayur ubi plus sambel sedikit diharga 17 ribu? $_$ *Mr.Krab mode on*

Makanya saat survei dan turun lapang penelitian tesis kami, saya dan Kanda bekal nasi lengkap sendiri dari rumah. Mama' dan Bapa' sudah wanti-wanti. Tempat perhentian bus harganya mahal, sedang toko lain pasti tutup karena sudah malam. Jadi kami berdua makan di bis ketika supir dan hampir seluruh penumpang turun untuk "isi bensin". Kami tidak turun, kecuali kalau mau ke belakang. Tidak mungkin ditahan. Untungnya untuk hal ini rumah makan itu masih manusiawi. Tidak ada penarikan biaya seperti pada toilet-toilet umum di Pulau Jawa ini, yang kadang untuk wudhu pun bayar... hiks

Selama di rantau, saya dan Kanda terhitung membatasi diri untuk belanja atau jajan ketika mengunjungi tempat wisata. Kami sadar kantong kami tipis, jadi sebisa mungkin bawa bekal sendiri. Tahu diri lah. Lagipula bawa bekal lebih hemat, bersih, dan ramah lingkungan karena wadahnya dibawa pulang.. (^_^)/ yey!

Pernah semester lalu, tepatnya akhir bulan April 2014, saat saya jadi asisten Bu Nunung untuk mata kuliah APLB. Kami serombongan (10 orang) singgah di salah satu tempat bersejarah yang menjadi bagian dari lanskap kota tua Jakarta yang menjadi objek praktikum saat itu. Saat itu kami minum segelas lemon tea per orang. Saat bayar di kasir, ternyata harganya fantastis! Sepuluh ribu per gelas, ditambah pajak 10%. Jadi totalnya, 110 ribu... O_o  Dalam hati saya keder juga waktu itu. Untungnya dianggarkan dari uang praktikum. Alhamdulillah.. heuheu..

Saya punya foto es teh lemon mahal yang saya maksud, tapi pakai ilustrasi saja lah... :)
(sumber: www.vemale.com)

Oh ya, masih di sekitar kota tua juga, ada restoran yang harganya mentereng bikin kepala geleng-geleng. Saat itu tahun 2012. Saya dan Kanda diajak Nhepa dan Dyah jalan-jalan. Kebetulan saat itu Rafi (adik Nhepa) dan Arita (teman Nhepa) ada di Jakarta. Jadi kami berenam mengunjungi kota tua. Itu kunjungan perdana saya ke sana. Karena kelelahan berjalan, Dyah mengajak kami singgah di sebuah resto besar bergaya kolonial sekadar untuk duduk istirahat sambil minum menikmati suasana tempo dulu. Luar biasanya, di restoran tersebut segelas jus jambu dihargai 25 ribu! $_$ Sebenarnya wajar sih, pelanggannya bule-bule berambut pirang. Saat melihat daftar menunya, kami segera mengusulkan agar pindah ke tempat lain saja, tapi Dyah memaksa. Malah kami ditraktir olehnya. Saya pilih yang termurah (ya jus jambu itu), sedang Kanda enggan memesan. Jadi kami segelas berdua. Biar romantis. :p

Tapi untuk kedua tempat yang saya ceritakan belakangan (kota tua Jakarta), saya paham sih. Mereka jualan di tempat yang biaya sewa dan perawatan yang mahal. Berkelas dan bersejarah pula, jadi bisa dikatakan selain menjual kuliner, mereka juga menjual pemandangan dan suasana. Mereka juga mencantumkan harga di daftar menu mereka, jadi tidak bisa dikatakan pedagang nakal. Balik lagi ke kita, kalau memang mau dan mampu, singgahlah. Tapi kalau keberatan ya, cari tempat lain.

Kalau saya sih, cukup tahu saja. Enggan untuk kembali, kecuali bila memang ada uzur seperti untuk keperluan praktikum atau diajak seperti waktu itu. Selain itu, masih perlu pikir-pikir. Hihihi. Jadi ingat guyonan seorang dosen kami: kalau masih pilih-pilih berdasarkan harga, kemungkinan belum kaya... #jleb! :D
Nggak papa deh, yang penting berkah. Aamiin.

Okeey, dari semua cerita makanan dan minuman berharga selangit yang pernah saya alami, ada satu kejadian yang tak terlupakan bagi saya. Saat itu kalau tidak salah saya sudah jadi mahasiswa, mungkin sekitar tahun 2004, saya kurang ingat. Kami berempat di rumah: Saya, Mama', Kaka', dan Bang Ewin (sepupu). Saya lupa Bapa' di mana, tapi yang pasti kami berempat ada di rumah. Bang Ewin membantu mengecat beberapa ruangan.

Cuaca panas dan di rumah tidak ada cemilan. Biasanya siang menjelang sore, mamang sate sudah lewat, mamang es potong biasanya pagi, mamang putu buluh seringnya pas menjelang magrib, sedang mamang mie ayam biasanya malam. Ada juga mamang es krim berbaju merah dengan sepeda berwarna senada, tapi waktu itu tidak lewat atau sengaja kami biarkan lewatkan. Tidak ingat.

Eh, kebetulan, ada mamang-mamang penjaja es kembang tahu lewat di depan rumah. Itu kali pertama kami melihat mamang-mamang bermata sipit itu. Karena penasaran dengan dagangannya, kami memanggilnya. Di gerobak dorongnya yang sederhana dan sepertinya baru, kami melihat kembang tahu, bongko, mutiara, ketan hitam, tapai, air gula merah dan beberapa macam lainnya di wadah-wadah kaca seperti pedagang sejenis pada umumnya. Pas sekali untuk siang hari, maka kami pun memesan 4. Kami sengaja menggunakan mangkuk sendiri agar si mamang bisa melanjutkan perjalanan dengan cepat, tak perlu menunggu kami yang santai menikmati segarnya es tahu campur.

Saat akan membayar, kami bertanya kepada si mamang. Dan mamang muda itu menjawab ringan: 36 ribu. Whaaat?!? Itu artinya 9 ribu semangkok! padahal di tahun itu harga air tahu seperti itu biasanya hanya 3 ribu.. Tapi karena sudah kami icip-icip, kami tidak bisa protes. Padahal rasanya tidak spesial, jumlahnya juga tidak spesial.

Mungkin harganya tidak sementereng cerita sebelumnya. Tapi tetap saja bikin greget: di rumah sendiri pun bisa kena kerjai oleh pedagang nakal... -_- Waspadalah, kata bang napi.

Saya ingat betul, setelah si mamang sipit itu pergi, Kaka' nyeletuk ringan: "nampaknye nak ati-ati makan kembang tahu ini ni. Kali gak ade emas teselep di dalamnye" (terjemahan: sepertinya harus berhati-hati makan kembang tahu ini. Mungkin ada emas di dalamnya).
*mode menghibur diri* :D

Hahaha, kalau ingat itu saya jadi ketawa. Miris sekaligus geli.

Tapi tenang, biasanya pedagang nakal seperti itu tidak berkah. Buktinya si mamang kembang tahu emas itu tak pernah lagi lewat di kompleks perumahan kami. Bisa 2 kemungkinan sih, mungkin memang berhenti jualan, mungkin juga mencari tempat lain yang lebih prospektif. :v

Wallahu'alam.