credit: kak Lia |
Berhubung sore hari di hari pertama hujan turun dengan deras, rencana berkano pun diundur. Esoknya, alhamdulillah cuaca mendukung. Langit cerah, pula tak ada urusan lain yang memberatkan, jadi deh rencana kami bermain kano. Yey! Tak sabar.
Waktu itu kami berlima: saya, Kakak, Abang ipar, Fika, dan Raka. Kami hanya tahu beberapa tempat penyewaan kano, tapi tidak tahu detilnya. Berdasarkan informasi Raka yang biasa bermain kano di sekitar rumah nek wan (nenek) dan nek aki (kakek) nya di Kampung Manggis, ia dan sepupu-sepupunya biasa menyewa kano di tempat penyewaan kano yang terletak di Kampung Tumuk. Sementara itu Abang mengusulkan ke tempat penyewaan kano milik kenalannya saja, yaitu di Kampung Nagur. Antara 2 pilihan ini, akhirnya kami memilih yang di Kampung Nagur dengan pertimbangan kemungkinan jumlah kano yang di Kampung Manggis kurang dari 5. Soalnya kasihan kan kalau ada yang ketinggalan atau bergiliran. Kurang puas rasanya..
Saya kurang tahu ide siapa, tapi yang pasti yang mengambil kano-kano tersebut adalah Abang dan Raka, sementara kami bertiga bersilaturahmi dulu di rumah nek wan-nek aki nya Raka. Tak lama berselang, Raka --cucu dari sepupu saya-- tiba dengan berkayuh kano sambil menarik 1 kano kosong, disusul Abang berkayuh kano sambil menarik 2 kano kosong di belakangnya. Cukup 5.
Mengingat bahwa akan sangat sulit membawa hape serta benda berharga lain selama berkano, kami menyempatkan diri bergiliran berfoto-foto dulu sebelum berangkat main kano. Selanjutnya, barang-barang kami (termasuk baju ganti dan barang berharga) kami titip di rumah nek wan dan nek aki nya Raka. Kami pun mulai bermain kano.
Waktu Raka bertanya akan berkano kemana, kakak saya menjawab "Istane, ka" (maksudnya Keraton Sambas. Di Sambas, keraton kerajaan memang disebut Istana). Lucunya, cucu kami yang masih kelas 2 SD itu langsung spontan protes. Menurutnya Istana itu jauh dari Manggis. Tapi kakak dan abang memang berencana ke Istana, jadi kami yang mengekor ini hanya mengikut saja. Saya sendiri tidak protes karena merasa "oh, itu tidak jauh kok".
Ternyata saya salah, teman-teman. Raka yang benar. Saya baru sadar kalau jarak Manggis dan Istana Sambas itu lumayan bingits, terutama jika dijalani lewat jalur air dengan tenaga manusia seperti kami. Apalagi yang berkayuh masih belum stabil dan kurang bertenaga seperti saya, ditambah kendala kondisi kano yang sepertinya tidak prima (kemungkinan ada bocor halus dan kemasukan air), lengkaplah sudah. Perjalanan kami jadi penuh perjuangan. Kami saling menunggu satu sama lain karena kano sering oleng. Tapi target sudah ditetapkan, pantang rasanya kalau tidak sampai ke sana. Sambil dibawa ketawa dan bercanda, akhirnya kami tiba di simpang tiga sungai di depan Istana Sambas. Alhamdulillah..
Berdasarkan kesan yang saya rasakan, tepian Sungai Sambas menarik dan variatif. Kondisi tepian Sungai Sambas di sepanjang jalur ke arah Gerratak Batu (melewati Kampung Tumuk, Manggis, dan Nagur) terasa cukup padat dengan keberadaan lanting dan jamban di pinggir sungai. Lewat jalur ini juga kita melewati Pasar Sambas.
*) lanting = rumah yang dibangun sedemikian rupa sehingga dapat mengapung di perairan dan ikut naik dan turun sesuai pasang-surut air sungai
*) jamban = berupa kayu yang disusun seperti rakit namun ditambatkan, biasanya digunakan dilengkapi bangunan kecil tertutup untuk tempat membuang hajat, umum digunakan untuk tempat mandi, berenang dan mencuci, dapat juga digunakan sebagai tempat naik-turun perahu.
Nah kalau kondisi tepian sungai di sepanjang jalur arah ke Gerratak Sabbo' (melewati Kampung Dalam Kaum) nuansanya beda lagi. Kesannya sungai lebih lebar karena tidak ada lagi lanting dan jamban di sisi-sisi sungai jalur ini. Pemandangannya ala waterfront dengan cafe-cafe tanpa atap milik masyarakat sekitar. Banyak wisatawan lokal dalam maupun luar kota bersantai di sini.
Adapun kondisi tepian sungai di sepanjang jalur arah ke Gerratak Asam yang melewati Kampung Dalam Kaum dan Kampung Angus saya kurang tahu karena tidak melewatinya saat itu. Tapi seingat saya tepian sungai di sini juga banyak lanting dan jamban. Dulu kecil saya pernah dibawa ke sana menggunakan sepit (speedboat maksudnya). Kalau berperahu di sana belum pernah. Kabarnya sih di sana ada buayanya. Entah apakah yang dimaksud buaya benaran atau buaya darat. Hehe. Karena penasaran saya tanya ke beberapa orang Sambas mengenai kemungkinan tersebut. Menurut mereka, di sana memang belum pernah terlihat buaya namun di aliran sungai yang lebih jauh (ke arah Lubbuk Lagga') pernah terlihat buaya muncul. Wallahu'alam..
Oke, balik lagi ke cerita kami. Jadi setelah sampai di ujung Kampung Tumuk, kami berencana menyeberang ke Kampung Dalam Kaum. Ini bagian paling seramnya kalau menurut saya. Soalnya di depan Istana konon ada pusaran air yang disebut masyarakat setempat sebagai Muare Ullakan. Muare Ullakan ini merupakan fenomena yang disebabkan oleh pertemuan aliran arus 2 sungai. Tidak selalu terjadi, tapi ngeri kan kalau sampai kejadian pas kami sedang menyeberang. Amit-amit. Maka agar aman kami bergerak menyeberang perlahan dari pinggir. Alhamdulillah akhirnya sampai di seberang dengan selamat dan bahagia.
Untuk merayakan keberhasilan kami yang bisa sampai di Istana, kami mengayuh perlahan-lahan sambil ngobrol dan meluruskan badan di kano. Iya, kami berbaring di kano, memandang langit. Seru deh. Lebih seru lagi ketika ada perahu air orang lewat. Kan ada gelombangnya tuh. Jadi goyang-goyang deh. Hhihi. Saya sih pakai life jacket, jadi tidak terlalu khawatir.
Hari menjelang petang. Saya dengan semangat mengayuh dayung menuju ke arah Gerratak Sabbo'. Lupa kalau kali ini kami menggunakan kano yang notabene kendaraan air, bukan kendaraan darat seperti mobil atau motor. Pokoknya pikir saya waktu itu kami akan memutar lewat depan gang nenek dan kakeknya Raka. Itu lebih dekat kan. Lagi-lagi, tentu saja, saya salah besar. Ternyata pikiran saya bercampur antara jalur darat dan air. Maklum, jarang main di sungai. Untungnya Kakak menegur saya agar memutar kembali ke jalur awal kami tadi. Saat itulah saya baru sadar.. :p
Alhasil kami harus menjalani jalur yang sama, bahkan lebih jauh lagi karena saya sudah setengah jalan menuju Gerrata' Sabbo'. Hehe. Yang tadinya saya semangat sekali mengayuh karena sempat berpikir kalau jalur pulang lebih pendek, setelah memutar rasanya capek batin. Huaa, itu kan jauuh. Tapi mau bagaimana lagi, semua harus dijalani dengan semangat. Kami berlomba menuju Kampung Nagur, tempat penyewaan kano. Duh, mana kano saya suka belok-belok lagi.
Masjid-masjid mulai ngayat (mengaji sebelum adzan maghrib). Abang menyuruh kami agar segera mengayuh secepat mungkin agar kami tidak kemalaman di sungai. Saya pikir, iya juga, kan seram yah. Saya pun mengayuh dengan semangat lagi. Di tengah jalan saya baru sadar kalau rupanya saya hanya berdua dengan Raka. Kakak, Abang, dan Fika ketinggalan di belakang, tak terlihat lagi oleh kami.
Lantunan ayat suci semakin ramai dikumandangkan masjid-masjid di tepian sungai. Langit pun bertambah gelap, tanda waktu maghrib akan segera tiba. Saya menyuruh Raka untuk bergegas mengayuh kano agar segera sampai. Percuma untuk berbalik karena sungai semakin misterius. Saya khawatir, apalagi bawa anak kecil begitu. Pokoknya harus pulang. Insyaallah yang bertiga bisa menjaga diri, itu batin saya.
Pas maghrib kami tiba di depan rumah nenek dan kakek Raka, tapi karena tempat penyewaan di Nagur jadi harus melewatinya dan kembali dengan berjalan kaki. Alhamdulillah kami segera sampai, Raka yang menunjukkan tempatnya (karena dia dan Abang yang tadi mengambil kanonya). Ternyata kanonya sudah dibayar di muka oleh Abang. Biayanya 7 ribu. Murah ya.
Di jalan pulang, kami ketemu Isna yang membawa Fika adiknya Raka (kalau yang ikut main kano itu Fika kakaknya Adip). Rupanya mereka berdua menunggu kami pulang ke rumah nenek Raka. Sesampainya kami di depan rumah nenek Raka, yang bertiga ketinggalan tadi lewat. Mereka juga langsung mengantarkan kano. Belakangan saya baru tahu kalau rupanya kano yang dipakai Abang setengah tenggelam karena masuk air.
Di rumah nenek Raka, kami numpang berganti pakaian dengan pakaian kering yang dibawa. Karena belum mandi, kami langsung pamit pulang agar tetap bisa sholat maghrib di awal waktu. Seru juga pengalaman kami berkano waktu itu. Hikmahnya, nanti-nanti harus lebih memperhatikan waktu tempuh dan kondisi kano agar bisa pulang tepat waktu. Soalnya kata orang-orang tua, tidak baik masih berada di jalan waktu azan maghrib (pokoknya nasihat senada itu).
Demikian cerita saya bermain kano di Sungai Sambas. Semoga bermanfaat walau sedikit. Kalau teman-teman liburan senangnya ke mana? Share di kolom komentar yaa ;)