(credit: Nikos Koutoulas/flickr) |
Ketika itu saya masih sekolah dasar. Saya dan kakak kebagian duduk di kursi belakang mobil kijang tempo dulu. Kursi menyampingnya membuat saya bisa leluasa berbaring menghadap ke arah pintu belakang, memberikan pemandangan jalan gelap yang lengang. Lampu penerang jalan seolah bergerak menjauhi kami. Beberapa kali saya tertidur untuk menghilangkan mual karena menghadap arah berlawanan gerak mobil.
Tiba di kota kecil bersungai tenang itu saat dini hari, kami beristirahat di dapur rumah kakak sepupu yang sedang berduka. Rumah tersebut berada di pinggiran sungai di perkampungan dekat istana raja. Malam itu, pintu belakang yang terletak di dapur dan menghadap langsung ke arah sungai, dibiarkan terbuka, membuat ruangan lebih lapang dan leluasa.
Sejujurnya saya agak ngeri melihat sungai yang gelap gulita. Untungnya ada kerlap cahaya di seberang sana, dari rumah-rumah kayu dan masjid yang sederhana. Saat itu kiranya hanya beberapa yang sudah memasang listrik sedang kebanyakan masih menggunakan lampu minyak yang membuat hidung salang, hitam. Kerlap-kerlip itu cukup menghibur mata, mungkin pak haji bertadarus di pagi itu.
Waktu berlalu dengan cepat. Kami dan keluarga besar lambat laun semakin ramai berkumpul. Tak lengkap, tapi ramai. Orang-orang tua sepertinya tak berniat tidur malam itu, terlarut dalam nuansa kesedihan. Sedikit demi sedikit pindah ke ruangan depan.
Berbeda dengan kami yang masih kecil, yang masih tak mengerti pedihnya kehilangan. Tubuh-tubuh mungil kami malah sibuk bercanda dengan saudara seumuran. Sambil makan kurma yang dijadikan bekal di perjalanan, dan beberapa kue kecil yang disajikan sepupu di pinggan. Anak kecil selalu kelaparan. Pun masih dini hari, kata kami. Kami saling berjanji takkan tidur malam itu, toh sepertinya setiap kami sudah tidur di mobil sepanjang perjalanan dari kota masing-masing.
Ketika asyik bergurau dan makan kue, tiba-tiba terdengar suara adzan. Jelas sekali terdengar dari masjid seberang. Kemudian bersahutan dari masjid satu ke masjid lainnya. Riuh rendah. Kami para mungil langsung panik. Cepat sekali subuh tiba. Tak ada jam di dapur yang bisa dilirik. Segera air di gelas-gelas diteguk, sebagaimana makanan di mulut ditelan cepat-cepat. Takut batal.
Para orang tua apa kabar sahurnya? Kami tak terlalu peduli. Orang tua kan hebat, tak sahur pun bisa kuat puasa seharian. Beda dengan kami yang cetek ini, melihat air sirop saja sudah minta buka.
Kami kembali bermain sambil melihat kerlap-kerlip lampu minyak dan lampu seri dari masjid di seberang sungai. Sinarnya terpantul di air sungai yang gelap dan tenang. Belum ada motor air yang lewat, yang biasanya membawa penumpang dari hulu. Orang-orang tua pun sepertinya belum juga beranjak mengambil wudhu. Kami kembali asyik terlarut dalam senda dan gurau ala anak ingusan, ketika tiba-tiba saja kami kembali dikagetkan..
Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Hei! Ada apa gerangan? Kenapa adzan sampai dua kali di sini? Seperti berada di planet lain, padahal hampir di setiap akhir Ramadhan keluarga kami berlebaran di rumah sepupu saya tersebut, tapi rasanya baru kali itulah saya sadar bahwa adzan di kota kecil itu terdengar 2 kali.
Kenapa adzan sampai dua kali? Membuat panik saja, pikir saya yang masih kecil itu. Walaupun kemudian mama' menjelaskan bahwa adzan pertama hanya untuk membangunkan sahur dan adzan kedua baru imsak benaran, sampai berusia hampir kepala tiga, saya masih beranggapan itu budaya yang berlebihan. Baru siang ini saya menyadari bahwa sebenarnya adzan subuh dua kali adalah sunnah, bukan sekadar budaya islami.
Bertahun-tahun sekarang, sudah lama kami sekeluarga tak lagi ber-Ramadhan di kota itu. Saya dengar sekarang masih dikumandangkan, adzan dua kali saat subuh bulan Ramadhan. Walau hanya oleh satu masjid, yaitu masjid Jami', tapi semoga sunnah ini berlaku kembali. Sedikit-sedikit, tapi pasti. Biarlah orang agak terkaget-kaget, sebagaimana saya dan saudara-saudari sewaktu kecil dulu. Sekiranya lebih baik daripada terkaget-kaget dengan suara nyanyian dan teriakan anak kecil di pengeras suara masjid. Ada pula masjid yang memberlakukan senandung salawat atau tilawah qur'an. Jika semuanya bertujuan sama, untuk membangunkan sahur, bukankah lebih baik memilih yang sunnah saja?