Kira-kira seperti ini suasananya (ini foto Februari lalu) |
Tapi itu tidak lama. Di beberapa stasiun setelah Pasar Senen, tiba-tiba penumpang kereta ramaaaai sekali. Saya dan Kanda yang terkantuk-kantuk karena kurang tidur di hari sebelumnya cukup terkaget-kaget. Apalagi ada seorang perempuan langsung seenaknya saja meletakkan bokongnya di celah sempit antara Kanda dan Bapak-bapak di samping Kanda. Kanda yang baru terbangun langsung kikuk. Beberapa kali Kanda melirik ke saya karena tidak bisa bergerak. Berdiri pun tidak bisa karena banyak yang berdiri di depan kami.
Sambil menunggu perhentian selanjutnya, mata saya berkeliling ke arah para penumpang di sekitar saya. Biasa lah, seperti melepaskan ketegangan di mata karena pandangan terhalang oleh orang-orang yang berdiri di depan kita. Untuk yang punya smartphone, biasanya langsung menghibur diri dengan main hape tuh. Entah itu main game, smsan, chatting, selfie, dengar musik, bla bla bla. Tapi berhubung hape saya jadul, jadi yang bisa dilakukan hanya ngobrol atau melempar pandangan ke luar jendela di seberang, atau melihat sekeliling kalau pandangan ke jendela terhalang.
Saat itulah, saya melihat seorang pria yang memandang saya dengan tajam. Orang itu agak jauh dari saya, berjarak sekitar 4 atau 5 orang yang berdiri berhimpitan di dalam kereta. Satu kali, saya pikir, mungkin cara orang itu memandang memang tajam. Saya beranikan diri untuk mengecek lagi ke arah orang tadi, memastikan kalau bukan saya yang dilihatnya. Tapi kali itu saya malah jadi ngeri. Orang itu masih melihat saya dengan tatapan tajam seraya mengintip di balik punggung pria di depannya. Horor!
Setelah itu saya tidak berani melihat ke arah pria itu. Khawatir bertumbukan pandang lagi. Jadi saya sengaja melihat-lihat ke arah sebaliknya.
Kereta tiba di stasiun berikutnya (entah stasiun apa saya kurang tahu karena mengantuk). Di stasiun ini beberapa penumpang turun, termasuk bapak-bapak yang berdiri di depan saya, digantikan dengan sigap oleh pria lain dari arah kanan. Kanda juga berdiri, mengambil posisi di depan perempuan yang duduk di samping saya. Pas saya mendongak ke atas untuk memberikan senyum penyemangat kepada Kanda, betapa terkejutnya saya ketika melihat sosok yang berdiri tepat di depan saya: orang yang tadi!
Orang itu berdiri menyamping arah gerak kereta, menghadap saya, dengan kedua tangan berpegangan pada handle penumpang, matanya tajam. Entahlah karena keduluan buruk sangka atau apa, tapi saya merasa orang itu terlalu dekat dan terlalu condong ke arah saya. Apalagi dari sudut mata saya (saya tak berani melihat ke arahnya lagi), saya merasa orang itu melihat ke arah saya dengan tatapan yang sama dengan sebelumnya. Hiey!!
Untuk mengurangi ketidaknyamanan, saya sengaja menekuk kaki sejauh mungkin ke bawah tempat duduk, tidak mau kena ke kaki orang itu. Saya juga sengaja tidak menoleh ke arah atas. Tapi karena ini juga, saya jadi tidak bisa memberikan isyarat kepada suami untuk mengambil alih tempat orang itu berdiri. Dilema batin.
Di perhentian berikutnya, ibu-ibu di samping saya yang tadinya tidur sepanjang jalan, dibangunkan oleh lelaki di sampingnya. Tanda-tanda akan beranjak di perhentian berikutnya. Untunglah rupanya hanya lelaki di sampingnya yang turun, dan tempat duduknya langsung terisi oleh penumpang lain. Ibu di samping saya, alhamdulillah masih duduk. Aduh, ngeri saya kalau sampai orang di depan saya yang duduk di samping saya... >.<
Di stasiun berikutnya, penumpang semakin berkurang. Kanda tetap berdiri, demikian juga orang itu (masih dengan gayanya yang sama).
Ada celah antara penumpang di kursi depan saya. Kanda sebenarnya lebih dekat, tapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri, seolah sengaja tidak ingin beranjak jauh dari saya. Entah karena sinyal Kanda yang kuat atau bagaimana, akhirnya pria aneh yang berdiri di depan saya bergeser ke belakang lalu duduk di celah itu. Syukurlah, batin saya lega. Tempatnya berdiri digantikan Kanda. Tak lama, ibu di samping saya turun dan Kanda bisa duduk. Alhamdulillah.
Saya sempat merasa bersalah karena berpikir kalau saya tadi sudah buruk sangka kepada pria asing. Yah, siapa tahu caranya memandang memang aneh, apalagi kan sedang ramai. Karena itu saya beranikan memandang ke arah bangku depan (tapi tidak langsung ke arah orang itu karena ada anak perempuan yang berdiri di tengah yang menghalangi pandangan saya) untuk memastikan diri. Eh, tapi, orang itu (lagi-lagi) menatap saya dengan tajam..
Syukurlah saya pergi dengan suami, tidak seorang diri. Di rumah, saya baru cerita ke Kanda. Saya juga baru tahu, rupanya Kanda menangkap sinyal ketidaknyamanan saya karena ulah orang tersebut. Awalnya Kanda ingin menyerobot tempat orang itu berdiri tapi berhubung kereta adalah fasilitas umum, ia tidak bisa seenaknya kepada pengguna lain, jadi ia menunggu dan berjaga sepanjang jalan, pasang badan kalau ada apa-apa, misalnya kalau orang itu pura-pura jatuh ke arah saya (terus terang, itu juga yang terpikirkan oleh saya waktu orang itu terlalu condong ke arah saya). Untung sikap waspadanya itu dirasakan oleh orang aneh yang mencurigakan itu. Terlepas dari apakah orang itu sempat berniat melakukan hal buruk atau tidak, yang pasti saya jadi terselamatkan dari tatapan melecehkan orang tersebut. Alhamdulillah. Ini pelajaran yang perlu saya ingat agar tidak berpergian sendirian. Oke sip.