Sebenarnya, kuliah umum topik serupa sudah pernah dilaksanakan pada tahun 2013 kemarin. Pembicaranya juga Dr Kato, kata Kanda yang tahun lalu ikut menghadiri. Tapi tidak masalah. Mungkin ada yang baru, kata Kanda.
Ternyata teknologi scanning laser untuk analisa ekologi lanskap hutan di negeri sakura telah bertambah pesat beberapa tahun belakangan. Hasilnya berupa tampilan 3 dimensi. Hasil scan laser 3D tersebut dapat memberikan lebih akurat. Banyak digunakan untuk pengukuran biomassa dan analisis habitat satwa hutan.
Saat ini, sensor laser tersebut dilakukan tidak hanya lewat udara (yang menghasilkan data airborne) melainkan juga pada permukaan tanah (yang menghasilkan data terestrial). Ada pula yang alat yang portabel yang berukuran lebih kecil. Daerah jangkauan alat sensor laser yang portabel adalah sejauh 50 meter, sedangkan alat sensor udara dan tanah memiliki jangkauan lebih luas, yakni sejauh 700 meter.
Dr Kato mempresentasikan beberapa contoh penelitian berbasis teknologi laser tersebut. Masya Allah, keren dan detil! Misalnya pada lanskap hutan, data antara rerumputan, pohon, semak, dsb dapat dikira menggunakan data 3D terestrial maupun airborne sehingga dapat diketahui biomassa tanaman. Caranya dengan mengalikan perkiraan berat batang, berat cabang dan daun (faktor expansion), berat akar (faktor expansion), dan jumlah karbon. Hasilnya dalam satuan ton/tahun.
**Sebagai catatan kecil, faktor expansion merupakan koefisien yang tergantung nilai baku species yang ditetapkan oleh pemerintah. Di Jepang hal ini sudah dilakukan, tapi di Indonesia belum. Untuk jumlah karbon ditetapkan senilai 0,5 karena karbon diasumsikan sebanyak 50% dari selulosa.
Pada masa lalu, penghitungan karbon dilakukan dengan cara destruktif (pengerusakan) alias pohon tersebut harus dibinasakan sampai ke akar. Nah, dengan tenologi laser, penghitungan tinggal mengolah data yang diperoleh dari data terestrial maupun data airborne. Sulit, tapi tidak perlu merusak pohon yang ada. Dan walaupun bersifat asumsi, hasilnya terbukti mendekati penghitungan secara destruktif.
Pada kuliah umum tersebut, Dr Kato juga menunjukkan hasil mini risetnya di Kebun Raya Bogor dengan alat scan laser yang kompak dan dapat dibawa-bawa (portabel). Beliau membawa serta alat tersebut ke Indonesia tapi tidak dibawa di kelas kuliah umum. Oh ya, FYI, harga alat sensor laser pada peralatan kompak yang dipakai oleh Dr Kato seharga 120 juta lho, sedangkan alat sensor laser dari udara dan tanah, 3 Milyar! Ow, fantastis. #telan ludah :D
Makanya, kata Dr Kato, beliau hanya berani bawa yang kecil saja.. :3
Semoga ilmuan Indonesia juga mulai mengembangkan ilmu ini untuk kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia. Aamiin.