5.27.2013

Bapak Penjual Empek-Empek

Malam ini, saya pingiiin sekali makan empek-empek. Makanya, saya minta tolong Kanda yang kebetulan keluar mencari keperluan lapangnya untuk membelikan saya empek-empek. Seperti biasa, sebelum berangkat kami akan bertanya pada seisi rumah apakah mau makanan yang sama. Jika mau nanti dibelikan, tapi jika tidak, yaa, tidak dibelikan. Soalnya kan sayang kalau tidak dimakan. Nanti mubazir...

Ngomong-ngomong soal empek-empek, saya jadi ingat dengan
bapak penjual empek-empek langganan kami dulu. Bertahun-tahun yang lalu saat saya SMA... Kalau tidak salah, berdasarkan info dari Mama yang jago introgasi, bapak itu (saya tidak tahu namanya) adalah orang Pelembang asli. Jadi tak heran, empek-empek buatannya enak sekali, menurut saya. Selain itu harganya juga tidak terlalu mahal tapi masuk akal. Dulu bila ada uang jajan lebih atau pas ingin makan di luar --terutama setelah pulang berkunjung dari rumah bibi di Jalan Merdeka-- kami cukup sering makan di kios sederhana milik bapak itu. Cukup sering sampai bapak tersebut bisa mengenali wajah kami.

Ada satu kejadian yang membekas di hati saya tentang bapak penjual empek-empek itu...

Waktu itu saya, Mama, dan Kakak baru pulang dari belanja keperluan bulanan di Mitra Anda, supermarket langganan kami. Seperti biasa, kami pergi dengan 2 motor. Kalau tidak salah Kakak sendiri sedang saya membonceng Mama. Karena belanjaan cukup banyak dan belanjanya juga cukup melelahkan, Mama mengajak kami makan empek-empek di tempat biasa.

Sesampainya di kios kecil bapak itu, kami mengangkat juga barang belanjaan kami dari motor karena motornya berjemur. Saat menaikkan belanjaan ke meja, bapak itu berkata, "Ibu dari pasar ya bu?". "Iya, pak. Belanja keperluan rumah. Sekalian jalan sama anak-anak saya", jawab Mama dengan ramah. Tanpa disangka, bapak itu berkata pelan, "wah, berani ya ibu belanja sebanyak itu... Kalau saya ndak berani tu bu... Pasti mahal".

(-____-""")

Terus terang setelah mendengar kata-kata bapak itu saya merasa agak kikuk --usut punya usut ternyata Mama dan Kakak juga sama--. Saya yang waktu itu masih remaja belia cukup syok karena tak menyangka bahwa ada juga orang yang menganggap belanjaan keperluan bulanan kami sebagai sesuatu yang mewah. Sedih sendiri, karena baru menyadari ternyata diri ini kurang peka terhadap kesulitan orang lain. Mungkin juga karena kurang syukur, jadi kurang peka terhadap nikmat.
Sebelumnya saya selalu berpikir belanjaan kami terlalu monoton dan jauh dari mewah. Susah sekali mendapatkan barang-barang atau makanan kecil yang diinginkan, kecuali menabung dulu atau bisa meyakinkan Mama kalau saya atau kakak memerlukannya. Mama sih tidak pernah pelit kepada anak-anaknya. Hanya saja saya takut uang yang dibawa tidak cukup untuk membayar semuanya, jadi daripada mupeng tidak jadi beli makanya saya jadi minta awal-awal atau menabung terlebih dahulu agar keinginan jajan di supermarket terpenuhi. Namun kemudian saya baru sadar bahwa saya bersyukur.

Kalau sekarang, setelah menikah, saya lebih mengerti lagi perasaan bapak itu. *pernah mengalami hal serupa*. Maklum pendapatan masih pas-pasan...

Begitulah cerita tentang bapak penjual empek-empek itu. Kami tidak pernah tau kemana pindahnya bapak itu karena kini kiosnya tidak buka lagi. Dulu pernah dia berkata ada rencana untuk kembali ke Palembang, ke rumah anaknya. Tapi entahlah kabar sebenarnya. Semoga saja benar. Semoga saja bapak itu memang sudah ke Palembang untuk bertemu anak cucunya, diberi kesehatan dan rezeki yang lancar oleh Allah...