12.02.2012

Tela

Dua pekan lalu, hari senin setelah libur panjang tahun baru hijriah, saya mendapat oleh-oleh dari seorang teman yang juga tetangga di perantauan, Nhepa.
Sebagai catatan, saat liburan panjang tersebut, suami saya mendampingi para praktikan S1 arsitektur lanskap untuk mata kuliah perencanaan lanskap di Pantai Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat; Nhepa liburan bersama sahabatnya, Dyah, ke Jogjakarta; sedang saya sendiri, merana di rumah saja. Pengennya sih ikut Kanda ke Pangandaran, tapi karena suatu hal jadinya saya di rumah saja.

Kanda berangkat Jumat malam (16/11/2012). Hari sabtu hingga ahad saya lalui dengan bosan, di rumah saja. Sok sibuk ngerjain ini-itu (nggak perlu disebutin di sini kan ya? hehe)
Senin pun tiba. Pagi saya ke kampus dengan angkot. Malamnya Nepa sampai ke rumahnya, lalu main ke rumah saya, tinggal loncat, soalnya dekat. Hehe. Nah, pas datang ternyata si Nepa bawa oleh-oleh dari Jogja. Satu kotak penuh keripik tela (di bungkusnya tulisannya begitu). #Aah, sayang saya nggak foto kotak keripiknya. Di kotak tersebut ditulis sejarah ini itu, budaya tela masyarakat Indonesia dan bla-bla-bla. Menarik sih, tapi lupa, hehe#
Sambil ngobrol-ngobrol, saya langsung saja membuka bungkusan tela tersebut. Hap! Langsung saya dan Nepa makan.

Tapi...

"Ops, apaan nih! Pait banget!", kata saya dalam hati. Sebatas di hati, nggak berani disebutin, soalnya nggak enak sama yang ngasih. Eit, taunya si Nepa juga komplen, "Ini ngape pait benar! Sori Net, Nepa baru ini cobe beli", katanya. Lalu kami mengira-ngira, mungkin karena pake daun-daun (entah daun apa, komposisi nggak disebutkan di bungkusnya), makanya jadi pahit.

Setelah ngobrol ngolor ngidul, pukul 9 malam Nepa pulang. Saya sendiri masih menunggu Kanda tiba di Bogor. Karena hape Kanda baruu saja paginya hilang di Pangandaran, saya mau tidak mau menggalau di rumah, menunggu. Sebenarnya saya bisa saja sms teman saya yang juga jadi assisten praktikum mata kuliah perencanaan, cuma kalau terlalu sering dan pas malam pula, saya kurang enak. Takut mengganggu istirahatnya. Sambil menunggu, saya makan cemilan dari Nepa tadi. Lumayan buat dikunyah saat bosan, biarpun rasanya agak aneh.

Sekitar pukul 2 dini hari, Kanda akhirnya sampai di rumah. Artinya hari itu hari Selasa (20/11/12). Karena kelelahan dari perjalanan jauh, Kanda tidak keluar rumah, di rumah saja. Karena tidak punya cemilan lain, akhirnya cemilan pahit itu saya sajikan. Kanda bilang mungkin harus digoreng, tapi kami baca lagi di bungkusnya tidak ada keterangan seperti itu. Ya, jadi kami makan lagi tanpa mempermasalahkan rasanya.

Saya jadi berpikir, pede banget ni produsennya keripik tela, pake embel-embel oleh-oleh khas Jogja, kemasannya berkelas pula. Tapi kok rasanya gitu sih? Selera orang yang aneh, atau selera saya yang aneh? Ah, saya jadi bingung.

Selama dua pekan, si keripik tela diabaikan saat ada cemilan lain, tapi dimakan juga pas tidak ada makanan lain. Anehnya walau bungkus plastiknya hanya dipelintir-pelintir (nggak diikat pakai karet seperti kebiasaan di rumah kami), si keripik tetap keras-keras saja. Tidak melempem.
# Sttt, sebenarnya saya sengaja hanya memelintir bungkusnya, dengan harapan kalau nggak renyah lagi, bisa dibuang aja. Ternyata nggak melempem juga. Mencurigakan kan?

Sampai malam ini, sisa keripik tela pemberian Nepa sudah sekitar seperempat dari bungkusnya. Masih renyah (dan masih pahit). Karena kehabisan stok cemilan lagi, kami berdua makan lagi keripik yang hampir habis itu. Saya iseng-iseng menuangkan susu kental manis coklat yang Kanda belikan beberapa hari lalu.

Wah, nggak nyangka, rasanya nggak terlalu buruk. Saya pamerkan kepada Kanda. Hemm, lumayan loh! Mirip opak! *ya iyalah, kan dari tela* Maksud saya, opak dengan sedikit rasa pahit. Hehe

Lalu Kanda bilang, "Jangan-jangan emang masih mentah, dek. Cobe bah, goreng dulu sikit nih". Yaah, saya sangsi karena tampilannya sepertinya sudah digoreng, bentuk segienam. Selain itu ukurannya terlalu kecil untuk opak. Ukurannya seperti ukuran keripik kentang yang terkenal itu lo, tidak seperti opak yang biasa di pasar-pasar. Tapi saya beranjak juga. Tuang minyak, panaskan, goreng.

Percobaan pertama, hangus. Minyaknya kepanasan, tidak mengembang saat digoreng.
Percobaan kedua, lumayan. Dan Kanda langsung mencicipi.
"Noh, kan, benar, enak dek!", katanya, lalu dibaginya saya sedikit.

Oh, lala... Ternyata benaran, si keripik telanya harus digoreng dulu..
~X-D  #towew
Artinya kami selama dua pekan ini memakan opak mentah! Hahaha..

Akhirnya saya goreng semua (yang jumlahnya sedikit itu), dan kami berdua langsung menyantapnya begitu selesai digoreng. Saya tambah susu kental manis di atasnya, coba-coba lagi. Hmmm, yummi! Rasanya jauh dari rasa pahit.

Setelah habis, saya sms Nepa untuk memberi tahu bahwa ternyata oleh-olehnya harus digoreng dulu. Nepa bilang dia baru tahu, jadi mungkin akan segera memberi tahu teman Dyah yang juga dapat oleh-oleh yang sama dengan kami.

Haha, ada-ada aja ya cerita malam ini..

Over all, terima kasih Nhepa n Dyah, atas oleh-oleh keripik tela yang malam ini telah menggemparkan dunia kami. :D

Hahaha #ketawa susah berhenti

***

Mungkin ini hikmahnya:
- Lain kali kalau disuruh suami, coba dulu. Jangan ngeles. Hehehe
- Jangan terlalu percaya dengan kemasan. Mungkin si produsen mengira semua orang yang membeli produknya sudah tahu sehingga merasa tidak perlu mencantumkan cara mengkonsumsi. Jadi harus kreatif!
- Berceritalah tentang sesuatu (hal yang bisa dipertanggungjawabkan, seperti info cara mengkonsumsi keripik tela tadi, hahaa). Siapa tahu bisa bermanfaat bagi orang lain.