"Siape yang meninggal, da?" tanya saya.
"Mba Didik, dek", jawab uda, terlihat tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
"Siape? Mba Didik?", tanya saya lagi, karena saya pikir saya salah dengar.
"Mba Didik, dek. Mba Didik", jawabnya lagi, setengah menggantung.
Saya yang tidak percaya, bertanya lagi sambil memegang tangannya "Uda yakin?"
"Nhepa yang bilang, dek", katanya lagi. Terlihat wajahnya serius, tapi tetap tidak yakin.
Saya, yang tidak percaya, mencoba meraba perasaan saya. Ah, nggak percaya, gumam saya sendiri dalam hati. Saya pandangi uda yang juga tergamam dalam suasana yang canggung. Tak mungkin Nhepa bercanda. Selain Nhepa orang yang memang tak pernah berbohong, tak mungkin dia bersikap tidak etis membuat kematian sebagai bahan candaan, gumam saya dalam hati lagi.
"Karna ape, da, kata Nhepa?", tanya saya lagi, berusaha memastikan hati.
"Nhepa bilang, kurang tau, dek. Die ndak tau detilnye, katenye".
Untuk beberapa detik kami terdiam, mencoba menyadarkan diri dari kebingungan. Tak percaya. Apakah yang barusan itu mimpi atau memang nyata. Lalu uda meraih hp-nya lagi. Saya langsung tersadar, uda harus segera menyampaikan kabar duka ini kepada teman-teman yang lain. Saya, yang kehabisan pulsa meminta ijin menghidupkan laptop uda untuk internetan, mengabarkan via facebook. Namun karena koneksi lewat modem sangat lambat, saya beralih ke komputer rumah di kamar kakak saya.
Tanpa perasaan ingin mengecek pemberitahuan atau melihat-lihat sekilas pandang tentang status-status teman di beranda ~yang biasa saya lakukan setiap online~, saya langsung mengetikkan berita tersebut di status dan grup yang kami ikuti bersama.
Bahkan pada saat menulis pun, saya sendiri masih kebingungan dengan perasaan yang menghinggapi hati dan otak ini. Antara perasaan tidak percaya, bingung, duka, dan merasa kehilangan.
Saat perasaan merasa kehilangan dan tak percaya bertemu, sulit sekali mendefinisikan jenis perasaan yang dirasakan. Ini seperti ~merasa hampa beberapa saat, lalu teringat masa-masa kebersamaan dulu, dan tersenyum karena kenangan itu sangat indah, lalu sedih karena menyadari takkan pernah bertemu dia lagi... it's complicated.
Setelah online, saya sempat terdiam, dan tergelitik untuk melihat-lihat foto bersama milik kami. Kenangan masa kuliah. Dan senyum manisnya tak pernah lepas tersungging dari bibirnya. Matanya ramah. Wajahnya yang bersahaja membawa saya kembali ke cerita-cerita yang ada di balik foto-foto bisu itu...
Wanita sholeha, insya Allah, hanya itu kesan yang bisa saya sampaikan mengenai mba Didik.
Tak menyangka, beberapa hari telah berlalu kala ia beberapa kali menanggapi kiriman saya mengenai jadwal iftor (buka puasa) bareng di grup kami. Beberapa hari yang lalu juga ia mengganti statusnya mengenai kemahakecilan masalah dibandingkan kebesaran Tuhan, dan saya memberinya jempol. Sedikit perasaan menyesal, mengapa tidak sekalian saja saya sapa saat itu, walaupun mungkin dia sudah offline setelah mengganti status fb-nya. Sudah lama saya tidak sms-an atau menelpon sebentar, sekedar menanyakan kabarnya atau kabar keluarga kecil yang baru dibinanya.
Semua itu tidak saya lakukan karena saya pikir kami berdua akan bertemu lagi. Akan ada waktu bagi kami untuk menanyakan kabar satu sama lain, tertawa dan tersenyum bersama. Tapi ternyata tidak. Allah berkehendak lain. Tanggal 5 Agustus tidak menambah usianya, namun menjadi prasasti pengingat bagi kami, sahabat-sahabatnya. Dan tanggal 16 Agustus kelak, tanggal yang kami janjikan untuk bertemu, akan menjadi hari berharga bagi kami, teman-teman kuliahnya dulu saat buka puasa nanti. Bahwa, seberapa mudanya kami, kematian akan selalu dekat. Dan tak ada seorangpun yang mengetahui misteri itu.
Selamat Jalan mba Didik... |
# Tribute to Sahabat Bio'03 kami yang kami kasihi: Didik Setio Wardhani, S.Si. Innalillahi wa inna illahi rojiun.. Semoga amal ibadah almarhumah diterima di sisi Allah SWT, dilapangkan kuburnya, dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang beriman. Amin amin amin ya Rabbal alamin..