2.04.2016

Tentang Produk Halal

Belakangan ini timeline facebook saya dipenuhi komentar-komentar yang cenderung miring tentang suatu produk pakaian yang mengklaim sudah mengantongi sertifikat halal dari MUI. :(


Kalau saya sebagai konsumen sih, malah bersyukur lho, ada produk yg mengurus label halal nya. Artinya kepedulian itu sudah mulai tumbuh. Saya malah berharap ke depannya semakin banyak produsen yang mengikuti ini: menganggap kehalalan sebagai salah satu kewajiban yang harus dipenuhi dalam proses produksi, supaya, baik konsumen maupun produsen muslim tambah tenang.

Memang sih, harus diakui, produk yang berlabel halal cenderung punya harga yang lebih mahal (walaupun tidak selalu, yaa). Apalagi kalau memikirkan, bagaimana dengan produk lain? Kan belum bersertifikat belum tentu tidak halal.

Terus terang, dulu saya juga sempat frustasi tentang ini, terutama setelah mengikuti sebuah seminar tentang produk halal beberapa bulan lalu. Saking frustasi dan paranoidnya, saya sampai tidak berani berbagi hasil seminar tersebut ke blog ini karena khawatir menularkan paranoid yang tidak perlu kepada teman-teman pembaca. Beban moralnya terlalu besar. Saya takut keliru atau ambigu dalam menyampaikan, sementara saya bukanlah ahlinya.

Tapi alhasil melihat tren medsos yang agak kurang wajar, bahkan banyak awam seperti saya yang mengomentari MUI bla bla bla (negatif), saya jadi merasa perlu angkat bicara sedikit, seupil. Bukan untuk yang lain, selain mengingatkan sesama muslim dan diri saya sendiri agar tidak terlalu mudah berkomentar negatif tentang pemuka agama di medsos. Mengomentari pemuka agama orang lain saja tidak sopan, apalagi kalau (ngakunya) agama sendiri. Ya tidak?

Kalau dipikir-pikir, jadi pemuka dan cendikia agama itu, berat ya, teman-teman. Sering dianggap malaikat yang tidak boleh salah, padahal siapalah mereka, sama saja dengan kita: manusia yang penuh alpa. Jadi kalau kita sendiri belum mampu menyiarkan agama, sebisa mungkin jangan sampai kita-yang-merasa-lemah-iman malah melemahkan saudara yang sedang berusaha, di depan orang lain. Menjatuhkan orang lain saja Rasul bilang sudah termasuk sombong, kan ya. Apalagi kalau sampai, misalnya, yang dilemahkan itu justru yang benar. Itu artinya kita menolak kebenaran, suatu ciri sombong yang lainnya. Naudzubillahi min dzalik..

Balik lagi ke nasihat narasumber dari seminar halal yang pernah saya ikuti bulan November tahun lalu: tawakal. Karena kenyataannya kita di Indonesia memang masih jarang produsen yang mengurus label halal, sementara rupanya banyak hal yang mungkin terkontaminasi zat haram, untuk itu kita sebaiknya berusaha semampunya. Kalau mampu beli yang sudah berlabel dan bersertifikat halal, bagus. Kalau belum mampu karena harganya mahal, beli yang mampu dibeli dan berdoa semoga di kemudian hari bisa dimampukan membeli yang halal dengan harta halal. Kalau belum mampu beli karena memang belum ada produsen produk tertentu yang mengurus label halal, ya mau apa lagi kalau terpaksa. Kalau bisa, cari pengganti yang kita yakini halal. Allah yang Maha Tahu kemampuan kita, dan niat kita.

Jadi, yuk teman-teman, kita saling mendoakan semoga Allah melindungi kita dari hal-hal yang haram, entah itu produk yang kita gunakan ataupun yang kita hasilkan, termasuk harta dan kata-kata. Love you all!

*note: maaf kalau sekiranya ada pilihan kata yang kurang berkenan. Ini juga untuk saya pribadi karena masih suka paranoid... cmiiw yaa