Btw kok judulnya penantian, sih?
Jadi ceritanya begini. Selama Danda sakit kemarin, saya beberapa kali mengalami kejadian "harus menunggu". Mulai dari menunggu demam Danda turun, sampai menunggu jadwal konsul. Terdengar biasa, tapi menurut saya rangkaian kejadian ini tidak biasa. Saya berasa dapat tema dari Allah, berasa dipaksa memikirkan hikmah episode kali ini.
Penantian #1
Rabu pagi menjelang siang, Danda demam tinggi. Rencana kami bukber dengan Ibuk (mamanya Danda) sore itu terpaksa dibatalkan. Danda bersikeras tetap puasa, tapi berbaring terus. Demamnya naik turun. Awalnya saya pikir akan membaik setelah berbuka, tapi apa daya, setelah berbuka kondisinya jadi mengkhawatirkan. Setelah berbuka, Danda malah muntah. Tiap makan, begitu terus. Sampai pagi. Demam naik turun. Malam itu saya ikut tidak bisa tidur.
Besok paginya kami ke puskesmas. Ngantrinya lama, 2 jam. Buat yang sehat kayak saya sih biasa, masalah sabar-sabaran aja; tapi yang lagi sakit macam Danda, kasihan. Alhamdulillah akhirnya ketemu dokter (yang ternyata teman sekolah saya dulu). Dokter bilang, jangan puasa dulu, minum obat, dan kalau tidak membaik segera ke unit gawat darurat (UGD). Hari itu Danda memang tidak saya bangunkan sahur karena kondisinya yang lemah. Obat dari dokter pun diminum sesuai petunjuk. Sayangnya sampai sore hari, kondisi Danda tidak kunjung membaik. Obat dokter diminum hanya untuk dimuntahkan. Tidak ada makanan yang masuk. Malam selepas berbuka, akhirnya Danda saya bawa ke UGD. Menurut dokter jaga tidak perlu dirawat inap, alhamdulillah. Setelah diinfus 1 kantong selama kurang lebih 1,5 jam kami pun pulang ke rumah. Kondisinya membaik, sudah mau makan dan tidak muntah lagi. Malam itu saya sedikit tenang walaupun harus terjaga untuk ngajak makan malam-malam, mumpung sudah bisa dan mau makan. Harus banyak makan supaya cepat sembuh.
Besok malamnya, hari Jumat, muntah-muntahnya kembali kambuh. Lagi-lagi tidak ada makanan yang bisa masuk. Kayaknya gara-gara makan telur setengah matang yang di-request-nya pas makan siang. Salah saya karena terlalu longgar membolehkan Danda memakannya, gara-gara terlalu riang melihatnya mau makan dengan lahap. Jadi apa yang diminta, dikasih. Soalnya sedih melihatnya tidak makan sama sekali 2 hari belakangan. Ini pelajaran berharga buat saya, harus tegas demi kebaikan.
Penantian #2
Sewaktu mengambil darah waktu ke UGD Kamis malam sebelumnya, perawat mengatakan kepada saya untuk mengurus surat rujukan dokter jika kembali ke UGD karena biaya BPJS hanya menanggung 1x uji darah bila tanpa surat rujuk. Supaya lebih hemat, saya pun berinisiatif mengurus surat rujukan ini. Sayangnya, entah bagaimana, urusan saya ini jadi lamaaa sekali. Demi selembar kertas, harus menunggu sekitar 3 jam. Padahal orang lain yang ngurus surat rujuk kayaknya tidak ribet dan cepat. Lha giliran saya kok jadi lama sekali. Mungkin itu yang namanya nasib ya. Mana pikiran saya bercabang, rasanya pengen cepat-cepat pulang. Untung waktu itu saya ditemani Mama, jadi setidaknya ada teman menjaga kewarasan. Berulang kali saya bilang ke diri sendiri, "pasti ada hikmahnya, pasti ada hikmahnya".
Yang bikin keki, ternyata surat tersebut tidak diperlukan. :p Asli saya cuma bisa ketawa gara-gara ini. Kalimat "pasti ada hikmahnya" itu memang sangat menghibur, meskipun sampai tulisan ini dibuat, saya tidak terlalu yakin apa pastinya, tapi bikin marah saya berkurang banyak. Malah berhasil bikin ketawa buat mengusir kesal yang ada.
Penantian #3
Sampai rumah, saya langsung ajak Danda ke RS. Berhubung sebelumnya tahu kalau di RS bakalan sibuk bolak-balik mengurus surat, darah, dan obat; saya minta temankan Mama lagi, supaya ada yang menjaga Danda selama saya bolak-balik mengurus ini itu. Dan benar saja, banyak yang harus diurus. Untung ada Mama. Selain itu menu berbuka untuk saya dibawakan oleh Kakak, alhamdulillah punya saudara pengertian.
Lucunya, takdir menunggu harus saya lakoni lagi hari itu, kali ini bersama Danda. Tepatnya saat menunggu kesiapan ruang inap. Kami tiba di RS sekitar pukul setengah 12 siang (sebelum azan zuhur), baru masuk ruang inap sekitar pukul 8 kurang 15 menitan, malam (selepas azan isya). Bayangkan, 8 jam kami menunggu di ruang UGD. Kami melihat pergantian shift nakes, melihat berbagai kasus di UGD mulai dari yang remeh temeh, kasus cukup serius, sampai korban kecelakaan yang berdarah-darah. Saya salut sama para nakes yang cekatan. Semoga keberkahan untuk ilmu mereka. Gara-gara menunggu 8 jam juga, dokter dan perawat jaga terketuk membantu kami mengecek kesiapan kamar berkali-kali. Kebaikan mereka terasa hangat di hati.
Penantian #4
Mengambil obat di apotek RS adalah rutinitas sehari-hari saya selama Danda dirawat inap. Waktu awal (hari Sabtu dan Ahad) ini bukan masalah yang berarti karena saya tinggal masukkan resep, tunggu sebentar dan segera dipanggil. Tapi begitu hari Senin (hari kerja dimulai), waktu tunggu jadi jauuuh lebih lama. Hari Senin, resep masuk pukul 3 (tak lama sebelum ashar), baru dipanggil pukul 5. Warbiyasa! Maklum sih, karena kerjaan apotekernya memang banyak, terutama karena poli di RS buka saat hari kerja (jadi pasiennya juga mengambil obat di hari tersebut). Untung sore itu Kakak membantu saya mengambilkan obat, jadi saya bisa pulang untuk mandi dan bersiap kembali ke rumah sakit.
Malamnya dapat tips dari istri pasien sebelah (Danda dirawat di ruang kelas 2 dengan 2 ranjang pasien), kalau mau ngambil obat di hari kerja, tinggalkan saja resepnya dan jangan ditunggui. Setelah 2 atau 3 jam kemudian baru diambil. Dan inilah yang saya lakukan di hari berikutnya.
Penantian #5
Hari Selasa sore sekitar pukul 3 tak lama setelah perawat mengantarkan resep dokter yang harus ditebus, saya mengikuti saran ibu sebelah: masukin resep dokter, tinggalkan, nanti baru ambil. Sip. Rencana yang indah. Saya pun jadi bisa melakukam hal lain, yaitu beberes, karena dokter sudah memberi izin rawat jalan. Alhamdulillah. Kami ingin segera pulang setelah urusan obat selesai diurus.
Setelah beberes sekitar 1 jam, saya sempat mengecek obat, ternyata belum selesai. Sambil menunggu, saya sempat menjemput Mama dari kantor ke rumah. Sampai di rumah untuk mandi sore (rapel mandi pagi :p ) supaya segar, kemudian balik ke RS lagi bersama Kakak --yang ingin membantu membawakan beberapa barang kembali ke rumah menggunakan motor. Itu sekitar 1 jam lebih.
Apotek RS sudah sepi, saya percaya diri obatnya pasti sudah bisa diambil. Ternyata belum lagi! Bukan karena apotekernya lamban, tapi karena kesalahan teknis. Entah bagaimana lembaran resep saya keselip. Nah lo nah lo nah loo... Di antara sekian banyak orang yang ngambil obat kenapa yang beginian kena ke saya lagi yak? XD asli waktu itu saya cuma bisa ketawa. Ingat cerita Aa Gym yang bilang, dari seluas lapangan golf, kok bisa jidat kita yang kena bola? Itulah namanya takdir. Nunggu lageee... Untung nunggunya bareng Kakak yang kocak, dan apotekernya juga janji akan cepat, jadi saya terhibur banyak. Alhamdulillah tidak lama kemudian obat sudah bisa diambil dan kami segera ke ruang inap di lantai atas. Yey, bisa pulang! Kakak pulang duluan, membantu membawakan beberapa kantong barang sementara saya dan Danda nanti bisa pakai ojek online.
Penantian #6
Yep, ini belum berakhir.
Pasca menyerahkan obat dari resep pulang ke ruang perawat, harusnya kami sudah mengantongi kertas konsul dokter dan bisa langsung pulang. Apa dinyana, ternyata dokter masih belum bisa dihubungi oleh perawat terkait jadwal janji temu untuk kontrol. Kami diminta menunggu sebentar. Saya sih oke. Masalahnya, sore sekitar pukul 4, Danda terburu-buru mengembalikan jatah makan malamnya yang sama sekali belum disentuh, kepada petugas dapur yang mengantarkan makanan (efek senang karena baru lepas infua dan meraaa bisa cepat pulang ke rumah. Jadi saya minta dihubungi via sms/telpon saja..
Tapi namanya bulan Ramadhan, staf RS juga perlu waktu untuk berbuka. Jadi setelah diputuskan untuk dikabari update jadwal via telpon/sms, kami masih tetap harus menunggu maghrib karena staf yang bantu dorong kursi roda ke lantai bawah mau berbuka dan sholat dulu. Asli, itu saya cuma bisa ketawa. Iye kan, daripada nangis, wkwk. Rencana berbuka di rumah petang tersebut, batal. Tak apa sih. Cuma ya lucu aja. Emang dasar nasib tidak makan bubur RS, kata saya menggurau Danda. Hhihi. Azan maghrib berkumandang. Kami pun leyeh-leyeh makan buah di tempat tidur. Wih, gaye kan xD Makan buah pas berbuka puasa lumayan buat mengganjal perut, rasanya segar daripada makan gorengan, dan bagus buat membantu memenuhi kebutuhan serat harian. Ambil sisi baiknya. Alhamdulillah..
Sekitar pukul setengah 7, staf yang akan membantu mendorongkan kursi roda tiba di ruangan kami dengan tersenyum. Setelah pamitan sebentar dengan tetangga sebelah kami yang baik, kami pun turun. Akhirnya bisa pulang, tidak perlu sahur dan buka di RS lagi. Alhamdulilah. Bahagia itu sederhana.
~~~
Perihal menunggu sebenarnya bukan perkara baru dalam hidup saya. Tapi berhubung kali ini kok kayaknya bertubi-tubi sekali, jadi kesannya lebih mendalam. Kalau diperhatikan, ada penantian yang membuahkan hasil dan memang pantas ditunggui, tapi ada juga yang terkesan sia-sia (macam kertas rujukan itu, akhirnya tidak dipakai). Sebagai manusia biasa, seringnya kita tidak tahu apakah penantian kita sia-sia atau tidak. Jadi sedikit tips dari saya supaya tidak terlalu kecewa dengan hasil yang tidak sesuai keinginan, ingatkan kepada diri sendiri bahwa semua kejadian pasti ada hikmahnya. Selain itu ingatkan diri juga untuk menunggu sambil mengingat kebesaran dan nikmat Tuhan kepada kita selama ini. Semoga dengan ini, penantian jadi tidak sia-sia, apapun hasilnya. Aamiin.
Jadi mikir. Mungkin mungkim episode kemarin teguran halus dari Allah untuk lebih banyak mengingatNya saat diam ataupun bicara. Ah jadi malu.. Buat yang sedang disapa ramah Allah dengan banyak penantian, i feel you sayang-sayangku tetap semangat dan positif ya. InsyaAllah pasti ada hikmahnya. Semangat!!