6.02.2015

Hujan di Bulan Juni

Belakangan ini Bogor ikut-ikutan panas seperti Kota Pontianak. Begitu kata sahabat saya yang baru tiba dari Pontianak beberapa pekan lalu.

embun pagi


Saya akui, Bogor yang terkenal sebagai kota hujan, beberapa pekan ini memang lumayan gerah. Entah karena baru pindah ke kontrakan baru atau bagaimana, tapi bukan hanya kami sih, yang berkomentar tentang ini. Beberapa orang yang kami temui juga berpendapat sama. Gerah. Mungkin karena hampir masuk musim kemarau, ya..

Eh tapi seingat saya, tidak sampai sepanas dan segerah kota Pontianak yang benar-benar terletak di garis khatulistiwa dan dataran rendah, kok. Jadi sebagai Pontianakers (istilah baru :p), saya masih bisa menikmati kegerahan ini walaupun dengan bantuan kipas tangan. Alhamdulillah masih punya kipas, padahal dulu jarang kipas-kipas (bekibau, kata orang Pontianak, hehe). Kalau kipas tangan sedang raib lupa diletakkan di mana, saya pakai kertas nganggur yang ada di dekat saya, mulai bekibau lagi. :D

Bulan pertengahan tahun telah tiba, dan di hari keduanya ini, akhirnya hujan turun dengan lebat tadi sore. Alhamdulillah, rejeki. Sebenarnya hujan dan angin masih menyapa, tapi rasanya kurang sejuk. Bahkan pas hujan tadi (dan sekarang setelah hujan pun) rasa-rasanya tetap gerah. Gimana panasnya padang mahsyar ya...

Oh ya, tadi sempat hujan es lho! Tapi es yang jatuh hanya kecil-kecil, jadi kemungkinan sedikit yang sadar tentang ini. Kebetulan di teras belakang kontrakan baru kami ditutup genteng transparan, jadi bisa ngintip, makanya ngeh.. ^^

Tadi bukan hujan es pertama yang pernah saya lihat. Dulu di Pontianak juga pernah sih lihat hujan es. Bahkan pernah hujan es yang bongkahannya berukuran agak besar (kejadiannya waktu saya masih kecil, lupa tahun berapa). Saking hebohnya, ada tetangga yang menampung es nya, mungkin karena penasaran. Iya kan, Kota Khatulistiwa gitu loh. Kapan lagi ada es jatoh dari langit. Kejadian langka tuh. Seru. Lebih seru lagi kalau turun salju (harapan yang berbahaya, hihi). Kata Mama', ditampung boleh, tapi es nya tidak boleh diminum karena tidak bersih. Kalau mau minum es baiknya bikin sendiri.

Mungkin ada yang bertanya, memangnya ada yang minum air hujan? Eh jangan salah ya, orang Pontianak rata-rata minum air hujan lho. Kalau ada uang lebih, beli air gunung dalam galon. Kalau lebaran baru deh tiap rumah sedia air gunung dalam gelas plastik, buat tamu..  :D

Kebiasaan kebanyakan orang Pontianak memang berbeda dengan kebanyakan orang di Bogor (dan kota lain di Pulau Jawa). Orang Pontianak biasa minum air hujan. Biasanya air hujan sengaja ditampung di tempayan-tempayan besar sebagai persiapan musim kemarau. Jadi tak heran di tiap rumah hampir selalu ada tempayan penampung air. Di rumah orang tua saya, tempayannya terbuat dari tanah liat. Dibeli waktu baru pindah rumah sekitar tahun 90-an. Lama juga ya.. :)  Kalau mau minum, air dimasak dulu dengan ceret, sebagian dimasukkan ke termos untuk persiapan air hangat. Itu kebiasaan di rumah ortu.

Pas merantau di Bogor, saya dan suami sempat kagok karena tidak terbiasa minum air sumur yang keluar dari keran, sedangkan air hujan mengkhawatirkan karena udaranya penuh polutan. Karena ini, saya sempat lama masak pakai air galon (paranoid). Setelah diberitahu oleh tetangga yang asli Bogor, bahwa air galon juga air sumur seperti yang ada di bak kamar mandi, ya sudahlah. Tawakal. Yang penting bersih dan sumurnya tidak dekat toilet. Saya juga tetap memasak air sebelum diminum supaya kuman mati. Akhirnya sekarang kami sudah bisa menyesuaikan diri minum air sumur. ^^

Tapi kalau balik ke Pontianak, ya saya akan kembali minum air hujan, insya Allah. Bukan karena sok dengan budaya kampung halaman, tapi karena saya sadar kalau lanskap Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa berbeda. Jadi wajar kalau budaya nya juga beda.

Pulau Kalimantan cenderung lebih labil karena gambut. Makanya tidak ada kereta api di Kalimantan. *serius*  Kalau ada, mungkin relnya tenggelam dalam tanah. :D  Air tanah di Kalbar umumnya adalah air gambut yang penampakannya seperti air teh (tapi tentu saja bukan teh ya), tidak bisa dikonsumsi. Air sungai kurang lebih sama, sekarang ditambah kualitas air sungai yang sangat mengkhawatirkan karena pencemaran merkuri dari kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) alias illegal mining dan pencemaran senyawa sintetis dari perkebunan kelapa saw*t di wilayah hulu sungai. :(

Air hujan adalah pilihan teraman walaupun katanya kurang baik untuk gigi, kecuali air hujan pertama setelah kemarau karena kotor. Air sungai dan sumur dangkal biasanya hanya digunakan untuk mencuci atau mandi. Bisa sih dapat air tanah yang jernih seperti di Jawa, tapi harus dari gunung berhutan atau menggali sampai dalaaam sekali. Karena Pontianak itu dataran rendah (otomatis tidak ada gunung), jadi kalau mau ya sumur bor. Selain biaya lebih mahal, konsekuensinya juga besar. Bayangkan kalau tiap rumah punya sumur bor. Lapisan tanah di atas lapisan air tanah bisa turun. Ngeri. Tak heran kalau di Pontianak kebanyakan orangnya memilih minum air hujan. Kalau ada yang sehe atau bela-belain bikin sumur dalam untuk air minum, kemungkinan bukan orang setempat atau orang setempat yang terikut budaya luar.

Lucu ya. Beda lanskap, beda juga budayanya. Bahkan tentang hal sederhana dan remeh temeh seperti air minum. Sebagai pendatang, sudah sewajarnya pandai menyesuaikan diri. Istilahnya, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Ini catatan penting buat kita semua yang merantau di tanah orang. Selama tidak melanggar keimanan dan membahayakan kesehatan, tidak ada salahnya mengikuti budaya lokal karena bagaimanapun orang setempat lebih paham dengan lanskapnya.
*lanskap budaya mode on, hihihi

Aah, gara-gara hujan di awal bulan Juni, saya jadi ngalor ngidul begini. Sudah dulu ya.. Salaam! :D