Kami bersiap dari pagi. Biasanya sih kalau bertolak dari Sambas selalu siang atau paling tidak beranjak siang. Tapi kali itu karena Bapak mempertimbangkan kondisi mobil tua yang tidak terlalu baik, lampu depan putus, maka kami berangkat dari Sambas seawal mungkin agar bisa tiba di Pontianak sebelum gelap. Seingat saya kami berpamitan dan berangkat sekitar pukul 8 atau 9 pagi. Sekitar itulah..
Saat itu untuk menempuh jarak Sambas-Pontianak memerlukan waktu sekitar 6 jam. Mungkin 7 jam jika kami santai-santai saja. Jadi dengan turun jam 9 maka kami dapat tiba di rumah pukul 3 atau 4. Paling lama jam 5 kalau daerah Siantan macet.
Hampir tengah hari, kami sudah melewati Kota Singkawang, memasuki daerah Teluk Suak yang jalannya agak menurun dan berkelok. Awalnya mobil melaju dengan kecepatan normal. Toh tidak ada yang dikejar, jadi santai saja. Tapi ternyata ada kejadian di luar dugaan. Jalannya kan menurun dan berkelok ya *sepertinya sudah saya bilang tadi maka harusnya tidak ada kendaraan yang diperbolehkan untuk berhenti seenaknya. Sudah jelas. Tapi tentu saja, di negara kita ini banyak peraturan dibuat untuk dilanggar. Sebuah mobil colt di depan kami yang sama-sama bergerak dari arah Singkawang, dengan sekehendak hati supirnya berhenti di badan jalan untuk menurunkan penumpang, tanpa peringatan. Tanpa tanda sen. Berhenti begitu saja. Padahal ada kendaraan kami yang melaju di belakangnya karena efek jalan menurun tadi. Astagfirullah!
Ketika itu Kakak dan Mama berteriak. Saya yang awalnya tidak menyadari keadaan karena sibuk membalas sms ikut berteriak setelah melihat ke depan, ya Rabbi... Kami akan menabrak!
Colt itu berhenti di badan jalan yang tidak terlalu lebar. Memang sebenarnya kami bisa saja melewati colt tersebut di badan jalan arah berlawanan di sebelahnya, tapi dengan konsekuensi menabrak beberapa pengendara sepeda motor yang sedang bergerak ke arah kami. Ya Rabbi, Ya Allah, begitu kami bertiga berteriak, sedang Bapak yang mengemudi tegang sekali.
Oh ya, pasti ada juga yang berpikir, kenapa tidak langsung ngerem saja? Nah, sebenarnya itu juga salah satu pertanyaan kami yang belum terjawab sampai detik ini. Saat kami heboh berteriak agar Bapak menginjak rem, rem tiba-tiba tidak berfungsi. Padahal sebelumnya keadaan rem baik saja. Tamatlah..
Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Entah bagaimana, Bapak diberi keberanian di saat paniknya untuk mengambil kesempatan yang tidak terlihat oleh kami. Bapak segera membanting setir ke arah kiri colt yang berupa tanah merah di depan ruko (harusnya colt itu tuh berhenti di situ, bukan di badan jalan). Kami berteriak karena melihat manuver Bapak yang tidak terduga. Soalnya di kiri colt banyak orang-orang berlalu lalang. Ya Allah, saking tegangnya saya (yang duduk di sebelah kiri) memegang gagang pintu mobil dengan erat dan pintu terbuka saat Bapak membanting setir ke kanan lagi. Manuver ke kanan itu untuk memasuki badan jalan, menghindari mobil kami masuk ke sungai atau menabrak jembatan. Usaha yang tidak sia-sia. Alhamdulillah setelah itu mobil kami berhenti tepat setelah jembatan. Berhenti? Yup. Sudah saya katakan. Rem berfungsi dengan baik.
Tidak ada masalah, jika saja pintu di bagian saya tadi tidak terbuka. :(
Ternyata saat pintu saya tidak sengaja membuka (dan kemudian menutup karena Kakak segera menarik badan saya yang hampir terpental keluar mobil), ada seorang Kakek bermata sipit yang terkena pintu saya. Terkena di bagian punggungnya sehingga membuat beliau terjatuh melutut.
Entah dari arah mana, tiba-tiba ada seorang polisi kampung mendatangi mobil kami. Sambil berteriak dia menyuruh kami berhenti, padahal Bapak hanya ingin menggeser mobil sedikit ke arah dalam agar tidak mengganggu kendaraan yang akan lewat di badan jalan. Bapak kan tidak seperti supir colt tak berakal tadi. -_-
B***hnya pak polisi kampung itu, dia hanya menyetop kami tapi membiarkan si biang keributan (colt yang berhenti sembarangan) melanggang meninggalkan TKP. *tepok jidat*
Oleh polisi tersebut, Bapak dimintai surat-surat, lalu ia menahan surat ijin mengemudi Bapak. Kami waktu itu kurang ngeh karena sibuk mengurus kakek yang tadi jatuh. Setelah bicara dengan orang kampung di situ, ternyata si kakek tinggal di ruko seberang jalan. Beliau tinggal dengan anaknya. Maka Mama dan Bapak singgah ke ruko anak si kakek, sedang saya dan kakak tinggal di mobil. Saya syok dan menangis waktu itu, merasa bersalah karena gara-gara pintu saya terbuka kakek itu jadi kena. Urusan bisa panjang, gara-gara saya. Padahal saya yakin sudah mengunci pintu sebelumnya. Kakak hanya bisa menenangkan saya.
Setelah dari rumah anaknya Kakek tadi, Mama dan Bapak kembali ke mobil, mempersilakan kakek nyentrik yang jatuh tadi masuk ke mobil kami. Saya berani bilang nyentrik karena ingat benar dengan gayanya yang mirip koboi dari kesan topi koboi besar yang digunakannya. Topi yang baru saya sadari ketika beliau ikut masuk ke dalam mobil. :)Kakek Koboi duduk di depan, di samping Bapak, menggantikan Mama; sedang Mama duduk dengan kami di belakang. Rencananya kami akan ke pusat kesehatan di Desa Sungai Raya Singkawang (arahnya ke Pontianak) untuk memeriksa kakek tersebut. Keluarga kakek tadi tidak berniat memperpanjang urusan ke polisi, karena mereka menganggap bisa diselesaikan lewat cara kekeluargaan dengan catatan semua biaya Bapak yang tanggung. Alhamdulillah tidak dipersulit, saya bersyukur. Tapi di dalam hati saya masih cemas, walaupun dari awal masuk mobil si Kakek Koboi tidak berhenti ngomel-ngomel, mudah-mudahan tidak ada cedera berat yang dialami kakek tersebut. Aamiin.
Sampai di pusat pemeriksaan kesehatan di Desa Sungai Raya, kami kecewa karena ternyata sudah tutup. Akhirnya mobil terpaksa berbalik arah lebih jauh, kembali ke Singkawang, dengan pertimbangan di Singkawang pasti lebih mudah mencari klinik untuk periksa. Kakek koboi juga sebenarnya dari awal sudah mengomel berkeras minta antar ke rumah anaknya yang lain di Singkawang. Akhirnya mau tidak mau harus putar arah kembali ke Kota Amoy..
Masuk ke Kota Amoy, Kakek Koboi minta langsung diantar ke rumah anaknya, padahal Bapak sudah bilang akan mengantar ke pusat kesehatan agar Kakek Koboi segera diperiksa, soalnya khawatir dengan tubuhnya. Tapi Bapak mengalah, kami lalu mengantar beliau ke rumah anaknya dulu baru kemudian ke klinik untuk cek.
Tiba di rumah anak Kakek Koboi yang lain, Saya dan Kakak tidak turun. Kami tetap di mobil sampai akhirnya Mama dan Bapak keluar dari rumah anak Kakek Koboi. Tapi Kakek Koboi tidak ikut!
Saya dan Kakak lalu bertanya, kok bisa? Ternyata anak sang Kakek tidak ingin memberatkan Bapak dan berkata mereka yang akan membawa Kakek untuk periksa. Mungkin karena sudah tahu keadaan sebenarnya dari saudaranya yang di Teluk Suak atau bagaimana, kurang tahu. Jadi Bapak memutuskan untuk menitipkan uang pemeriksaan dan pengobatan Kakek kepada anaknya, lalu pamit. Alhamdulillah..
Dengar dari Mama, katanya kedua anak sang Kakek Koboi sempat mengomeli Kakek Koboi dengan bahasa China kek karena sering pulang pergi Teluk Suak - Singkawang tanpa memberi tahu. Anak Kakek juga memeriksa tubuh ayahnya dan berkata sepertinya beliau baik-baik saja. Semoga ya Allah.. In sya Allah..
Selepas itu Bapak kembali memacu mobil ke arah Pontianak. Mama yang trauma minta pindah duduk. Kakak kemudian duduk di depan di samping Bapak. Kami sempat berhenti lagi cukup lama di Teluk Suak karena menunggu polisi yang tadi menahan surat izin Bapak. Dari cerita Bapak sepertinya ia meminta uang tapi dimarahi Bapak. Syukurin.. :p
Hari semakin sore, dan sepertinya kami akan kemalaman. Meski tahu akan kemalaman, Bapak tidak ngebut, justru membawa mobil dengan semakin pelan dan terkesan terlalu hati-hati. Kami tahu Bapak trauma seperti kami, tapi bagaimanapun beliau adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab membawa keluarganya sampai di rumah dengan selamat. Kalau bukan Bapak, siapa lagi, lagipula tiada dari kami berempat yang bisa menyetir kecuali Bapak. Maka semua tampuk diserahkan di pundak sang kepala keluarga dan kami penumpangnya hanya bisa komat-kamit membaca doa selamat minta perlindungan Allah SWT.
Entah sampai mana, tiba-tiba Kakak minta mobil berhenti, daan, huek! Kakak jekpot. Sepertinya mabuk perjalanan. Akhirnya sebagai pendamping pamungkas hari itu --karena Mama dan Kakak tidak bisa di depan menemani Bapak-- maka saya lah yang maju. Dengan jantung yang berdegup lumayan kencang karena tak kalah tegang dengan yang menyupiri, saya memandu Bapak merayapi jalan luar kota yang mulai gelap..
Malam pun tiba. Bapak dengan susah payah menyetir dalam kondisi gelap. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, lampu mobil putus. Dengan berbekal kepercayaan diri (atau lebih tepatnya, nekat) dan lampu sen kecil yang kelap-kelip sebagai penanda pengendara lain akan keberadaan mobil tua kami, kami melalui jalan dengan sangat perlahan. Itupun sudah sangat sulit. Apalagi asisten Bapak yang duduk di samping (ehem, saya, maksudnya), punya mata yang kurang awas. Saya sulit menentukan dengan segera apakah jalan condong ke arah kanan atau kiri. Maklum mata pak supir (maksudnya Bapak), juga sudah kurang awas di malam hari sehingga perlu bantuan untuk melihat jalan yang remang-remang. Apalagi dengan trauma yang baru dialami. Jadilah saya dan Bapak seperti orang yang dipaksa membaca di dalam gelap: terbata-bata, tidak yakin, dan sangat perlahan. Mata sakit, batin sakit, ya Allah..
Tiba di Mempawah, kami singgah sebentar di warung kopi yang banyak di pinggir jalan, sekedar mengisi perut dan menenangkan saraf yang tegang. Kakak sudah baikan setelah minum teh hangat tapi masih lemas. Tak tega memintanya kembali duduk di depan. Mama juga kasian. Apalagi Bapak, sebenarnya. Jadi saya yang masih fit bertekad membantu semuanya melewati segala aral di jalan menuju rumah, ceaah.. Ganbatte net. :p
Di perjalanan, terutama di daerah Peniti, saya sempat gemetaran karena ngeri melihat kendaraan-kendaraan berat lalu lalang dengan kecepatan tinggi. Tapi meski perlahan, syukur kepada Illahi, kami bisa melewatinya.
Untuk menghindari jalan Siantan yang terlalu padat, Bapak memutuskan untuk lewat di jalan 28 Oktober. Di sepanjang perjalanan ini, alhamdulillah ada sebuah mobil kijang yang berbaik hati mengiringi kami berbagi sinar lampu sehingga jalan tidak terlalu gelap bagi kami yang hanya mengandalkan kelap-kelip lampu sen. Sepertinya pengemudi mobil tersebut paham akan masalah kami. Begitu mudah Allah membantu hamba-Nya lewat hamba-Nya yang lain..
Akhirnya kami mendekati Jembatan tol Kapuas I dan II. Awalnya ada perasaan was-was dengan kemampuan mobil tua kami, mampukah setelah sejauh ini? Tapi dengan bismillah, yap, alhamdulillah dua-duanya dilewati tanpa kendala. Kami pun tiba di rumah dengan selamat sekitar pukul 9 malam. Sampai rumah langsung sujud syukur.
Dua belas jam dalam perjalanan yang nyaris mencelakakan, alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. Tiada lagi kata-kata yang melebihi itu. Benar-benar pengalaman bersama keluarga yang tidak dapat saya lupakan..
#peluk cium kangen dari jauh untuk Mama, Bapak dan Kakak di rumah :-* muach! :D