4.04.2018

Berpikir Kreatif - Panduan Bagi Orang Tua [Resume]

Pagi ini saya menyimak sebuah acara di salah satu radio lokal. Sebenarnya tumben nih, karena saya jarang nyetel radio. Tapi karena sebelumnya saya dapat kabar kalau 2 teman semasa SMA --dan sekarang 1 komunitas-- menjadi pembicara tamu di radio, saya sengaja meluangkan waktu. Nah mumpung sempat menyimak, kali ini saya akan berbagi rangkuman dari siaran on-air segmen Rumahku Surgaku di Radio Mujahidin 105,8 FM pada Rabu, 4 April 2018, dengan pembicara Ria Arianty dan Nhepa Anwar dari IPKalbar.

Disclaimer
Perlu diketahui kalau isi artikel ini hanya didasarkan pada catatan dan ingatan, sehingga kalimat yang digunakan di sini mungkin berbeda dengan yang digunakan oleh pemateri, dan mungkin juga sudah bercampur dengan hasil pemikiran saya atau orang lain yang pernah saya dengar/baca.

Panduan Berpikir Kreatif Bagi Orang Tua [Resume]


Tema: "Berpikir Kreatif" (bagi orang tua)
Tujuan: Diharapkan bisa memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana cara orang tua dalam menciptakan generasi kreatif.
Note: Sebenarnya tadi pembahasannya lebih fokus ke peran ibu, tapi karena ayah juga memiliki andil besar dalam pengasuhan anak jadi kata "ibu/muslimah" saya ganti menjadi "orang tua".

Definisi Kreatif

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kreatif adalah memiliki kemampuan untuk menciptakan. Sementara itu menurut James R. Evans (1991), kreatif adalah keterampilan untuk memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang baru, memodifikasi sesuatu dan membentuk kombinasi-kombinasi baru dari 2 atau lebih yang dibentuk oleh pikiran. Jadi secara garis besar, kreatif adalah bagaimana cara seseorang memandang suatu masalah dengan cara yang berbeda dan menarik sehingga dapat menemukan gagasan yang menjadi solusi untuk masalah tersebut. Dalam hal pengasuhan anak, kreatif tidak hanya tentang menciptakan mainan baru dari barang bekas namun juga tentang bagaimana berkomunikasi efektif dengan anak dan memahami kebutuhan anak.

Anak dan Kreatifitas

Secara alami/sesuai fitrah, anak memiliki daya kreatif yang tinggi sebagai modal belajar. Bertanya, meniru, dan mengkhayal/berimajinasi adalah contoh cara anak belajar dengan kreatif.

Respon yang Keliru

Orang tua seringkali keliru dalam mempersepsikan kelakuan anak. Anak banyak bertanya, dianggap mengganggu. Anak berimajinasi, dianggap melakukan hal konyol dan sia-sia. Standar orang tua yang tinggi dan pikiran orang tua yang dominan logika tidak jarang mendorong orang tua memarahi anak dengan membentak, melarang-larang tanpa memberi penjelasan, menakut-nakuti, ataupun melabeli anak dengan hal negatif hanya agar anak berhenti "mengganggu". Ada juga orang tua yang tidak mau memarahi anak tapi justru mengalihkan anak ke hal yang tak kalah merusak, seperti memberi akses menonton televisi atau memainkan smartphone, hanya agar anak diam dan kalem. Jika dilakukan berulang kali, respon-respon keliru tersebut dapat merusak fitrah anak, antara lain: rendah diri, daya imajinasi dan kekreatifan yang menurun, takut mencoba, cuek, tidak peduli lingkungan, dan pada akhirnya menciptakan generasi dengan kreativitas rendah. Agar siklus ini tidak berulang ke generasi berikutnya, orang tua perlu berlatih dalam merespon perilaku kreatif anak dan mengarahkan daya kratif anak ke arah yang baik dan sesuai nilai-nilai kehidupan.

Beberapa Kasus Umum

Emosi orang tua (berupa marah, sedih, kesal, terharu, bahagia, dsb) seringkali terpicu karena tingkah laku anak. Jika emosi marah yang sering muncul, orang tua dapat mencoba mengalihkan prasangka terhadap anak. Bisa jadi saat anak mencoret dinding dengan spidol, ia tidak bermaksud membuat ibu dan ayah marah melainkan ingin membuatkan ibu dan ayah bahagia dengan lukisan spesial yang dibuatnya di dinding rumah (niat baik, hanya saja kemampuan melukisnya masih nol). Atau saat anak mewarnai daun dengan warna hitam. Cobalah untuk tidak terburu-buru mengoreksinya dengan mengatakan daun harus hijau, melainkan coba tanyakan mengapa ia melakukannya. Cobalah berpikir out of the box seperti anak-anak. Mungkin daun yang digambarnya adalah daun yang terbakar atau daun yang ketumpahan cat hitam. 
Solusi: tanya, kurangi prasangka buruk, jangan mudah berasumsi.

Jika telanjur terbiasa melabeli anak, orang tua dapat mengubah label hanya dengan sifat positif. Misalnya dengan label anak sholeh/sholeha, anak penurut, anak penyayang, dsb. Orang tua perlu memperbanyak eksplorasi untuk lebih mengenal sisi positif dan bakat anak daripada hanya berfokus pada sifat negatif anak (yang mungkin diturunkan dari orang tua). 

Dalam mengeksplorasi bakat, cobalah melihat dari sudut pandang berbeda. Misalnya anak yang mudah menangis, lihatlah ia bukan sebagai anak cengeng melainkan anak yang perasa dan berhati lembut. Anak seperti ini bisa jadi sangat berbakat dalam empati. Kelak dewasa, anak yang perasa dapat menonjol di bidang kemanusiaan. Contoh lain, lihatlah anak yang aktif bukan sebagai anak nakal dan caper (cari perhatian) melainkan anak yang berbakat secara fisik. Alihkan anak-anak aktif ke kegiatan yang dominan menggunakan fisik seperti olah raga dan bela diri disertai pemahaman bahwa kekuatan fisiknya harus digunakan untuk kebaikan seperti membantu orang tua dan orang yang membutuhkan. Contoh lain lagi, anak yang banyak bertanya dan bicara, lihatlah sebagai anak yang cerdas berbahasa. Anak dengan kemampuan bahasa yang baik bisa jadi berbakat sebagai orator ulung dan mudah belajar bahasa asing. Yang jelas, arahkan anak untuk menyebarkan kebaikan lewat lisannya, ajarkan berkata santun dan bertanggung jawab. 
Solusi: labeli anak dengan sifat positif, berpikir out of the box, optimalkan bakat unik anak.

Selain karena marah, ledakan emosi dalam bentuk hardikan atau larangan dapat disebabkan oleh rasa frustasi atau kelelahan orang tua. Saat anak mulai banyak bertanya, cobalah mengalihkan perhatian anak ke aktivitas yang dapat mengajaknya berpikir dan mencari jawaban atau keingintahuannya, seperti aktivitas membaca atau melakukan eksperimen. Hindari penggunaan gadget, kecuali dengan pengawasan orang tua. Fasilitasi keingintahuan dan imajinasi anak dengan mengajaknya melakukan aktivitas yang menguntungkan orang tua dan anak, seperti mengajak anak membuat kue bersama ibu atau mencuci motor/mobil bersama ayah.
Solusi: berikan kesempatan berperan dalam aktivitas tertentu.

Dalam keseharian, tidak jarang orang tua khawatir akan keamanan dan keselamatan anak sehingga terbiasa melarang-larang ataupun menakut-nakuti anak. Disadari atau tidak, kebiasaan melarang-larang tanpa memberikan penjelasan yang memadai dan menakut-nakuti anak dapat membentuk pribadi yang mudah takut dan waswas, atau sebaliknya, pribadi yang memberontak dan menantang bahaya tanpa pikir panjang. Agar orang tua tetap tenang saat anak melakukan sesuatu, cobalah untuk menyingkirkan benda-benda yang berpotensi membahayakan. Jika orang tua tidak ingin anaknya membuang-buang sumber daya (seperti air saat main air), berikan batasan dan jelaskan kepada anak mengenai batasan waktu dan jumlah sumber daya yang ditolerir orang tua.
Solusi: singkirkan benda berbahaya, beri batasan.

Hal lain yang perlu dilatih orang tua adalah sikap otoriter/terlalu menyetir dan saklek/kurang fleksibel dalam bertindak. Sikap-sikap ini dapat membuat gairah belajar anak terbunuh dan menciptakan pribadi inferior karena diliputi rasa takut dimarahi/diintimidasi.  Di sisi lain, anak bisa jadi kurang menghargai proses karena lebih fokus pada menghindari omelan daripada mencoba yang terbaik. Anak adalah manusia biasa, sama seperti orang tua. Untuk itu, cobalah untuk menurunkan standar ekspektasi atas anak, pikirkan beberapa solusi alternatif jika ada masalah, dan berikan kebebasan dengan batasan yang jelas agar anak terlatih bertanggung jawab dengan bahagia. Bisa dimulai dengan membebaskannya membuat keputusan sendiri dalam hal sepele seperti memilih baju yang ingin dikenakan saat jalan-jalan. Orang tua hanya perlu mengajari batasan, misalnya batasan aurat (untuk muslim) dan jenis pakaian yang cocok untuk acara tertentu (piyama bukan untuk jalan-jalan). Hargai ide dan selera anak.
Solusi: turunkan standar ekspektasi, siapkan solusi alternatif, ajarkan kebebasan bertanggung jawab.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah tentang sikap kompetitif/membanding-bandingkan anak. Ini bisa berakibat sangat buruk karena dapat membunuh rasa percaya diri anak sampai ke dasar. Hindari ucapan membandingkan anak dengan siapapun, kecuali dengan dirinya sendiri. Ajarkan konsep hari ini lebih baik dari hari kemarin, bukan saya lebih baik dari orang lain.
Solusi: ajarkan anak sikap kompetitif melawan diri sendiri.

Kasus Spesial: Anak Pendiam

Anak pendiam cenderung pasif, tapi bukan berarti malas belajar dan tidak punya kreatifitas. Untuk merangsang keingintahuan anak pendiam, orang tua perlu memperkenalkannya berbagai cara belajar dan ragam aktivitas. Orang tua yang harus peka. Amati yang mana yang menarik perhatian anak. Jangan dipaksakan dan terburu-buru karena masing-masing anak punya potensi.

Kasus Spesial: Anak Mengamuk Karena Keinginan Tidak Tercapai

Pada usia tertentu, anak akan mengalami masa mudah mengamuk/tantrum. Penyebab tantrum ada banyak, seperti lapar, mengantuk, marah, mencari perhatian, kesal, dsb. Tidak mendapatkan apa yang diinginkan juga dapat memicu tantrum. Jika ini terjadi, sebaiknya orang tua tidak buru-buru memenuhi keinginan anak saat itu, hanya untuk menenangkannya. Memenuhi keinginan anak saat masih tantrum hanya akan membuat anak mengira komunikasi marah seperti saat tantrum adalah hal yang normal, padahal jika dilakukan terus menerus, ini akan membuat anak menjadi pribadi yang manja dan pemaksa.

Tips mengatasi anak tantrum
Pencegahan:
- Bangun komunikasi dengan anak sedini mungkin.
- Ajari anak menyampaikan keinginannya tanpa harus marah-marah.
- Sampaikan kondisi sejak awal, misalnya saat akan ke pasar, katakan bahwa Ibu dan Ayah hanya membeli keperluan rumah. Jika di tengah perjalanan anak mengamuk ingin es krim, orang tua dapat mengingatkan kembali tujuan awal ke pasar dan anak harus belajar menerima.
Penanganan:
- Jika emosi orang tua tersulut, menjauhlah beberapa saat dari anak untuk memberi jeda pada diri sendiri agar dapat menenangkan emosi, tapi pastikan orang tua masih dapat mengawasi anak agar tidak melakukan sesuatu yang membahayakan/mengganggu orang lain.
- Ajarkan anak beristighfar (untuk muslim) dan mengobrol. Ingatkan anak bahwa kita tidak selalu mendapatkan sesuatu saat itu juga.
- Konfirmasi perasaannya dan beri pelukan ketika anak berhasil menenangkan dirinya. Ucapkan terima kasih.

**
Baiklah, sekian dulu dari saya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat diaplikasikan oleh kita semua. Sampai nanti. Daah! ^^