5.25.2017

Tak Sekadar Maaf

Bulan Ramadhan 1438 H sudah di depan mata. Kalau saya tidak keliru, ibadah puasa selama sebulan akan dimulai pada lusa (tanggal 27 Mei 2017, hari Sabtu pekan ini) sementara tarawih bersama di masjid-masjid akan mulai dilakukan besok. Insyaallah.


Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, banyak dari kita yang meminta maaf kepada handai taulan. Tentu saja ini sikap terpuji yang sangat patut untuk ditiru. Namun jujur. Buat saya pribadi, ada satu-dua hal yang mengganjal di hati. Terkadang saya merasa ucapan-ucapan ini hanya sekadar basa-basi karena tidak jelas menujukan permintaan maaf kepada siapa, atas kesalahan apa, dan apakah orang yang meminta maaf akan benar-benar serius berusaha tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan?

Tidak, saya tidak menunjuk orang lain. Saya menunjuk diri saya sendiri yang dulu suka copas ucapan maaf padahal sebenarnya masih menyimpan bara di hati. Sampai sekarang, terus terang, masih ada beberapa orang yang rasa-rasanya belum dapat saya maafkan walaupun orangnya sendiri sudah bisa saya abaikan sama sekali.
*Sampai di sini, mohon untuk tidak menghakimi saya atas keputusan saya tersebut. Silakan baca opini saya berjudul Sisi Lain Maaf untuk lebih memahami sudut pandang saya terkait perihal ini.

Menurut saya, urusan maaf adalah masalah rumit. Kita tidak bisa memaksa orang lain meminta maaf, pula tidak bisa memaksa orang lain untuk memaafkan. Semuanya harus terjadi secara tulus. Karena ini urusan serius dan personal, maka harusnya tujuan permohonan maaf itu tepat, akadnya jelas, dan ada janji untuk tidak mengulangi secara sengaja. Inilah yang namanya meminta maaf.

Ibaratnya begini. Kalau kita merasa tidak pernah punya masalah dengan Si A atau malah berhubungan baik, maka biasanya kita ringan saja menanggapi permintaan maaf dari orang-orang seperti Si A. Tidak ada beban, tidak ada dendam. Sudah begitu saja. Bahkan mungkin kita tidak ingat salah Si A dimana, karena itu, tidak ada yang perlu dimaafkan. Wong tidak punya salah sama kita. Ya nggak? Tapi akan beda rasanya kalau yang minta maaf adalah seseorang yang notabene punya masalah belum terselesaikan sama kita. Sebut saja Si B. Sulit sekali memaafkan Si B ini, padahal cara minta maafnya sama dengan Si A. Kok bisa gitu ya? Yah, menurut saya sih wajar saja. Manusiawi kok. Kalau kita punya masalah yang belum tuntas kan, rasanya ada yang mengganjal di hati. Betul tidak?

Saya tidak menentang permohonan maaf biasa karena mungkin sasarannya memang lebih ke kekhilafan kecil sehari-hari yang tidak terlalu serius dan biasa terjadi. Tapi menurut saya, ada kalanya kita perlu meminta maaf dengan cara yang lebih layak dan lebih personal, yang jelas kepada siapa dan atas kesalahan spesifik seperti apa permintaan maaf tersebut disampaikan. Ini penting karena makin sekarang, kesan dari ucapan maaf (apalagi berulang), kadang malah menimbulkan skeptis. "Minta maaf? Oh yeah. Paling-paling besok ngulangin begitu lagi" atau "Minta maaf tapi nggak ngerasa salah, sama juga boong!". Nah lo.

Iya. Saya bicara begini karena punya pengalaman pribadi.

Makanya buat saya, dalam urusan maaf-memaafkan perlu ada komunikasi mendalam antara pihak yang meminta maaf dan yang (diharapkan) memberi maaf. Cukup dilakukan personal saja, tidak perlu bawa-bawa orang lain --kecuali penengah yang bisa dipercaya jika perlu, atau kalau itu menyangkut orang banyak maka orang banyak juga harus dilibatkan. Di situ dibicarakan tuh masalahnya apa, kronologinya bagaimana, ketersinggungannya seperti apa, salah pahamnya dimana, cara memperbaiki keadaannya seperti apa, dsb. Sebisa mungkin bicarakan lah sampai tuntas, sampai beres. Sepengalaman saya, dengan komunikasi yang baik, segala kesalahpahaman insyaallah bisa diselesaikan.

Kalaupun kemudian tidak ada titik temu dan tidak ada kata maaf, paling tidak kedua belah pihak sama-sama tahu ada ketidakcocokan. Keduanya bisa bersepakat untuk tidak lagi mengungkit hal yang tidak cocok itu. Paling parah ya saling sepakat untuk tidak lagi berinteraksi secara intens. Jadi tidak ada cerita hanya salah satu pihak yang menghindar, melainkan keduanya saling menjaga jarak agar tidak menyakiti dengan sengaja. Ini juga merupakan bentuk dari upaya "tidak mengulangi hal yang sama" lho. Dengan begini, kedua belah pihak bisa melanjutkan kehidupan tanpa rasa bersalah ataupun menyimpan marah, bisa belajar untuk tidak mengulangi hal yang sama dengan sengaja di kemudian hari. Pada khirnya, waktu lambat laun akan mengobati luka. Malah kalau ketemu lagi mungkin keduanya bisa tertawa dan sama-sama bertanya "kenapa dulu kita begitu berkelahi, ya?".

Sayangnya, banyak yang tidak berani melakukan hal ini. Lebih memilih mencari aman dengan mengucapkan maaf yang sekadar basa-basi. Tapi begitu diberi maaf yang basa-basi juga, komplen. Aneh.

Intinya, mari kita biasakan mengucapkan maaf sambil berkomunikasi agar maaf kita bernilai lebih dari sekadar kata maaf. Berkomunikasi dapat menyelesaikan kesalahpahaman sampai ke akar. Makan waktu dan tenaga sih. Pula tidak ada jaminan akan berakhir pada kondisi yang baik. Tapi berkomunikasi secara personal terbukti memberi efek lega yang jauh lebih terasa dan tahan lama dibandingkan kalau hanya sekadar ucapan maaf umum biasa. Rasanya lebih tulus. Coba deh.

Baiklah, sebagai penutup, saya ingin berpesan kepada teman-teman yang kenal saya. Kalau semisal saya pernah khilaf kata maupun perbuatan, pernah berhutang tapi belum melunasi, atau ada kejadian di masa lalu yang masih mengganjal di hati, mohon untuk tidak segan mengkomunikasikan langsung via japri. Mari kita komunikasikan agar saya dapat meminta maaf secara personal dan layak.

Tapi kalau mau japri cuman buat sekadar bertanya kabar juga dipersilakan lho. Saya akan dengan senang hati menerimanya. Terima kasih ^^

Akhir kata, selamat menyambut Ramadhan, teman-teman muslim! Semoga di Ramadhan ini kita mendapatkan banyak hikmah, tak hanya merasakan lapar dan dahaga saja. Aamiin..

*Mohon maaf kolom komentar di postingan ini sengaja dinon-aktifkan. Silakan japri jika memang ada yang mengganjal di hati. ;)