9.06.2016

Perfectly Imperfect

Tiada manusia yang sempurna.

Sepertinya semua orang sepakat tentang pernyataan di atas. Tapi tentu saja, kita --manusia-- seringkali lupa. Tanpa sadar, kita menuntut kesempurnaan kepada diri sendiri maupun pada orang lain.

Perfectly imperfect


Seperti saya 4 hari belakangan ini. Rasanya sudah punya ancang-ancang mau menulis curcol apa untuk menanggapi tulisan mak Noni Rosliyani yang berjudul Belajar Menjadi Tak Sempurna. Saya sudah berkali-kali mencoba menulis ide yang ada di kepala. Ketak-ketik, pas pertengahan rasanya selalu ada yang kurang pas atau kurang layak, jadi dihapus sedikit, ditambah sedikit, dibaca ulang, diedit. Selanjutnya, bisa ditebak: ide orisinilnya tidak bisa mengalir dengan baik. Mampet. Tapi ya begitulah. Mungkin sifat perfeksionis lagi kumat. x_x ironis ya. Padahal sedang membicarakan ketidaksempurnaan. Saya jadi frustasi. Apalagi sudah capek menghadap laptop, tulisannya tidak selesai-selesai juga. Hmm...

Ngomong-ngomong tentang frustasi, mungkin ada yang sudah tahu kalau saya pernah mengalami depresi. Tidak sampai fase manik, alhamdulillah. Tapi tetap saja, depresi adalah depresi, dan itu pengalaman yang melelahkan. Saya belum siap menceritakan tentang pengalaman ini lebih lanjut di postingan ini --mungkin nanti-- tapi insyaallah sekarang saya bisa mengatasinya dengan cukup baik. Alhamdulillah. Ini karena sedikit demi sedikit saya belajar berdamai dengan diri sendiri.

Berdamai dengan diri mungkin memiliki arti berbeda bagi tiap orang. Buat saya, berdamai dengan diri sendiri berarti mengembalikan kesadaran bahwa tidak ada suatu apapun yang sempurna (kecuali Tuhan), bahwa saya hanya manusia biasa. Ada hal yang mampu saya ubah (atas izin-Nya), tapi banyak juga yang tidak bisa dicegah. Atas yang disebutkan terakhir, saya harus meminta maaf kepada saya.

Kamu tahu, meminta maaf kepada diri sendiri tidak kalah sulitnya dengan meminta maaf kepada orang lain. Menurut saya malah lebih buruk: harus berhadapan dengan diri sendiri setiap hari setiap saat, tanpa sedikitpun kesempatan untuk sembunyi atau menghindar. Rasanya, campur aduk.

Pernah suatu waktu, saya berbagi dengan Kanda tentang topik kesempurnaan ini. Kanda berpegang teguh pada salah satu ayat kitab suci kami, Al Qur'an, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Sementara di sisi lain, saya berpegang pada pernyataan saya di awal tulisan ini: tidak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang sempurna. Saya sangat yakin, tidak pernah ada manusia di muka bumi ini yang benar-benar sempurna. Bahkan Rasulullah Muhammad yang sempurna iman dan akhlaknya pun memiliki ketidaksempurnaan, misalnya, yatim piatu sejak kecil dan tidak dapat menulis dan membaca.
** Diskusi ini bukan berarti saya menentang isi kitab suci, ini hanya sekadar brainstorming bagi kami berdua, untuk mencari pemahaman bersama. 

Pembicaraan kami waktu itu cukup alot, tapi saya senang karena sampai pada satu titik, kami mulai mengerti bahwa manusia memang ciptaan Allah paling sempurna dibandingkan seluruh makhluk ciptaan Allah lainnya. Manusia dibekali dengan 3 hal yang tidak dimiliki makhluk lain secara sekaligus yaitu akal, hati, dan nafsu. Namun dalam kesempurnaan bekal itu, manusia juga memiliki berbagai ketidaksempurnaan dalam hidupnya di dunia, entah itu kondisi fisik, finansial, keluarga, dsb.

Misalnya, Rasulullah Muhammad tadi. Dari kecil hidup yatim piatu. Ini jelas bukan kehidupan ideal yang pernah diharapkan siapapun di muka bumi ini. Setiap orang pasti inginnya tetap memiliki ayah dan ibu yang sehat walafiat, yang selalu siap memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Namun kondisi ini justru mungkin yang menjadikan beliau sangat sayang kepada anak yatim dan golongan orang yang memerlukan pertolongan, termasuk di dalamnya budak, orang fakir miskin, dan orang tua. Empatinya sangat besar.

Rasul tidak dapat menulis dan membaca. Tentu ini adalah penghalang dalam belajar, apalagi menulis kitab suci. Tapi dengan ijin Allah, beliau menerima wahyu-Nya yang membuktikan banyak ilmu yang ditemukan berabad setelah kitab suci Al Qur'an diturunkan. Ini menjelaskan bahwa wahyu dalam Al Qur'an bukanlah buah pikir manusia melainkan diturunkan langsung oleh Allah lewat perantara malaikat jibril.

Dan percaya atau tidak, sebagai manusia biasa, Rasul juga pernah mengalami kesedihan luar biasa dan berulang. Seperti ketika beliau dan pengikutnya diboikot dan diteror selama bertahun-tahun, ketika beliau merasa diabaikan oleh Allah karena lama tidak menerima wahyu-Nya, ketika putra-putranya meninggal dunia saat masih balita, ketika istri tercinta sekaligus pendukung setianya --Khadijah ra-- meninggal dunia, ketika paman tercintanya yang super duper baik dan sayang kepada Rasul --Abi Thalib-- menghembuskan nafas terakhir tanpa pernah mengucapkan syahadat, dst. Semuanya terjadi silih berganti dan pasti Rasul merasa sangat sedih. Tapi tahukah apa yang beliau ingatkan kepada umatnya?


Luar biasa ya?
We are perfectly imperfect.

Karena itu belajarlah untuk menerima itu dan mengubahnya menjadi kekuatan luar biasa. Tetap semangat. Semangat!! *monolog