3.14.2016

IUFD dan Keguguran, Serupa Tapi Tak Sama

Sudah 2 tahun lebih dari kepulangan Weissar ke hadirat Illahi, beberapa pekan belakangan Saya baru tahu kalau kejadiannya dulu ternyata bukan termasuk keguguran (misscarriage), melainkan IUFD (Intra Uterin Fetal Death).

(sumber gambar: www.multigfx.com)


Sebenarnya di surat kematian bayi dari rumah sakit dulu memang jelas tertulis IUFD, tapi karena syok, saya dan Kanda sepakat untuk tidak terlalu memikirkan atau mencari tahu tentang ini. Kami lebih berfokus untuk membenahi hati yang porak-poranda didahului si kecil menghadap-Nya. Begitulah. Dan di pertengahan bulan Februari 2016 lalu saya baru tahu kalau ternyata keguguran dan IUFD itu berbeda, walaupun artinya sama-sama kesedihan..

Karena keduanya serupa tapi tak sama, hari ini saya mengubah label miscarriage menjadi IUFD.

Perbedaan mendasar dari keguguran dan IUFD adalah dari usia janin. Keguguran adalah kematian janin dalam kandungan sebelum janin berusia 20 minggu (trimester pertama), sementara IUFD atau disebut juga stillbirth adalah kematian janin dalam kandungan di atas usia 20 minggu (trimester 2 atau 3). Janin yang berusia diatas 20 minggu sudah memiliki ukuran tubuh kurang lebih 500 gr dan organ yang sempurna, jadi harus dilahirkan, bukan dikuret seperti pada keguguran.

Menurut situs bidanku.com, IUFD dapat disebabkan oleh banyak kemungkinan, seperti:
- ketidakcocokan darah (rhesus) ibu dan bayi, biasanya pada bayi dari pernikahan ras yang berbeda

- gerakan bayi yang berlebih, menyebabkan bayi terlilit tali pusar atau tali pusar terpilin/terpelintir, sehingga asupan nutrisi dan oksigen ke janin menjadi terhenti

- kelainan kromosom bayi

- penyakit dan infeksi pada ibu hamil

- trauma saat hamil

- kelelahan atau kurang istirahat

Penyebab IUFD yang saya alami diperkirakan ada 2 yaitu saya kelelahan atau tali pusar terlilit/terpelintir. Ini karena pada pemeriksaan sebelum-sebelumnya (dari awal kehamilan), dokter menilai keluhan kehamilan saya selama ini masih termasuk normal. Sebenarnya untuk mengetahui penyebab IUFD secara pasti, dokter ahli kandungan perlu melakukan otopsi pada jasad bayi. Otopsi bisa sangat berguna untuk mencegah IUFD pada kehamilan berikutnya. Tapi berdasarkan pengalaman saya sendiri, dokter kandungan saya tidak menyampaikan opsi ini kepada saya maupun Kanda. Kemungkinan karena beliau (dokter) tidak tega melihat kami yang syok atas berita kematian anak kami di kandungan saya yang tiba-tiba, padahal waktu itu pas hari perkiraan lahir (HPL).

Waktu itu sepertinya dokter lebih fokus agar saya tidak tambah tertekan agar saya dapat melakukan persalinan normal. Kami disarankan pulang untuk menenangkan diri terlebih dahulu dan baru kembali setelah siap, tapi tidak boleh terlalu lama. Dari yang saya baca, memang pada umumnya dokter yang menangani IUFD akan memberikan rujukan persalinan normal, selama tidak ada faktor penyulit kelahiran atau faktor yang membahayakan kesehatan sang ibu, seperti yang saya alami: air ketuban jernih dan cukup, posisi tubuh bayi baik, kondisi fisik saya juga baik.

Bayi IUFD memang tidak serta merta harus dikeluarkan sesaat setelah diketahui meninggal, kecuali ada masalah medis yang membahayakan ibu. Batasan maksimalnya adalah tidak boleh lebih dari 2 pekan (14 hari), jadi persalinan normal dapat dijadwalkan selama senggang waktu tersebut. Lebih cepat memang lebih baik, tapi tidak perlu dipaksakan (langsung operasi). Itu intinya.

Menurut yang saya baca, kasus IUFD memang sebaiknya tidak dioperasi, kecuali terpaksa karena alasan darurat. Alasannya, agar ibu yang baru mengalami IUFD tidak terhambat untuk melakukan promil kembali 3 bulan pasca persalinan. Kalau operasi caesar kan perlu waktu pemulihan bertahun. Sudah sakit, mahal, lama pemulihannya, kemungkinan tidak dapat melihat bayi untuk terakhir kali, pula, karena dibius.. :'  Saya yang sempat lihat bayi saya saja sedih, apalagi kalau yang dioperasi ya.. *peluk untuk mereka yang mengalami ini.. :'

Permasalahan metode persalinan IUFD biasanya justru terjadi pada keluarga yang mengalami IUFD. Misalnya, ya, kejadian saya waktu itu. Sementara saya dan Kanda memegang pendapat pakar (dokter), beberapa orang justru menganjurkan agar saya cepat-cepat dioperasi saja supaya anak saya yang sudah meninggal di kandungan cepat-cepat dikeluarkan. Sedih sih sebenarnya, mendengar itu. Memangnya anak saya apa? Terus terang kalau saya ditanya, saya malah pengen menunda persalinan. Saya ingin memeluknya dengan tubuh ini lebih lama. Saya sudah lama menantikan pertemuan itu, tapi kenyataan berbeda dengan harapan. Saya bersyukur, Kanda tetap bersikap tenang dan kuat waktu itu (walaupun saya tahu ia juga sangat sedih, kaget, kalut, dan terpukul seperti saya). Atas kejadian itu juga, saya belajar bahwa bentuk perhatian ada banyak rupanya, ada yang halus ada pula yang tidak. Setidaknya desakan cepat-cepat waktu itu mendorong saya untuk segera bersalin. Mungkin kalau lebih lama, psikis saya akan lebih bermasalah. Siapa yang tahu, kan..

Kami memutuskan untuk memilih persalinan normal sesuai anjuran dokter, mengingat tidak ada faktor penghambat, kecuali dari faktor psikis. Terus terang setelah mengetahui kenyataan pahit itu, persalinan terasa tidak lagi menakutkan buat saya, toh anak saya sudah meninggal. Itu pikiran yang sempat terlintas di benak saya waktu itu. Untungnya ada orang-orang tersayang yang selalu menyemangati, menghibur, mengingatkan saya untuk tetap berdzikir. Saya berusaha kuat. Saya tidak berteriak atas sakitnya suntikan induksi, suatu yang sangat ingin saya lakukan sebagai pelampiasan rasa sakit raga dan batin. Saya tidak menangis, pula tidak tidur semalaman. Sebagian mengatakan saya kuat, tapi saya merasa saya sangat kejam dan jahat karena tidak menangisi semua yang terjadi seperti keinginan saya. Belakangan saya baru tahu kalau itu permulaan saya depresi. Kalau ibu yang baru melahirkan anak yang hidup ada yang mengalami baby blue syndrome (atau jika tidak segera ditangani dapat berubah jadi depresi pasca persalinan / post-partum depression), kalau ibu yang baru mengalami stillbirth dapat mengalami depresi pasca IUFD atau post-IUFD depression. Itu sama-sama menyakitkan. Ibu yang mengalami baby blue mungkin paham perasaan ini, ditambah sedikit fakta menyakitkan bahwa ibu stillbirth tidak dapat melihat anaknya.

Persalinan IUFD hampir sama dengan persalinan pada umumnya. Sama-sama sakit, harus mengedan, berdarah, dan kemungkinan dijahit. Bedanya, tidak ada bayi pada pasca persalinan IUFD. Oleh karena itu, dukungan keluarga dan tenaga medis sangat diperlukan dan penting. Ada baiknya saat menunggu proses persalinan, ibu bayi IUFD tidak dijenguk dulu karena khawatir rentan merasa disalahkan, ditanya-tanya, atau disinggung tentang bayi oleh penjenguk. Ini bisa mengganggu emosi. Untuk itu sebaiknya keluarga yang meladeni penjenguk. Alihkan perhatian ibu dengan kegiatan atau pembicaraan lain, ajak untuk melakukan kegiatan positif dan menghibur, dan yang terpenting, doakan agar ibu dan suami kuat, cukup dalam hati. Langkah-langkah kecil ini sungguh sangat membantu.

Pada masa nifas, ibu bayi IUFD mengalami hal yang sama dengan ibu yang melahirkan bayi hidup, ASI nya keluar. Terkait hal ini, dokter akan memberikan obat penghenti ASI pada ibu bayi IUFD. Agar pemulihan lebih cepat, saat nifas, ibu yang baru melahirkan harus istirahat yang cukup, kontrol kesehatan sesuai jadwal yang diberikan dokter, makan makanan yang sehat dan bergizi, dan tak kalah penting, melakukan kegiatan positif yang dapat mengalihkan rasa sedih. Bergaullah dengan orang-orang yang mau memahami, dan jangan lupa terus menerus berdoa. Berdoa terbukti menjadi penguat saya untuk tetap hidup, agar dapat berbagi dengan orang lain yang mungkin membutuhkan. Bukan untuk orang lain, tapi untuk kita sendiri. Tuhan menyukai hamba-Nya yang kuat.

Terakhir, untuk pencegahan IUFD, ibu hamil hendaknya mempelajari pola gerakan bayi, melakukan pemeriksaan kesehatan rutin, menghindari rokok dan konsumsi minuman beralkohol, menjaga kebersihan agar terhindar dari infeksi, dan jika berkenan, melakukan pemeriksaan atau otopsi pada janin untuk mencegah IUFD pada kehamilan berikutnya.

Sekian cerita bercampur info kesehatan ibu hamil hari ini. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik, ya, teman. Sampai ketemu di tulisan berikutnya, insyaallah.. :)