Hari ke-17 swakarantina.
Sudah lebih dari 14 hari. Saya tidak bisa bilang "tak terasa", karena bagi saya ini rasanya lamaa sekali. Berjuang dari rumah memang terdengar mudah dan sederhana, tapi apakah benar diam di rumah semudah itu?
Berdiam diri di rumah mungkin memang tidak sesulit, seribet, dan sekeren kerjaan para nakes, terutama di masa sulit seperti sekarang. Mereka adalah pahlawan. Tapi jangan juga meremehkan dan menganggap enteng sesuatu, apapun itu. Berdiam diri di rumah punya perannya sendiri. Orang yang ikut serta berdiam diri di rumah punya peran yang besar dalam mengurangi penyebaran virus, jika memang melakukannya dengan benar sesuai standar. Dengan begitu, kita juga membantu meringankan beban kerja nakes. Kasihan saudara-saudari nakes kita di Indonesia, terutama masalah APD-nya. Jadi kalau kita tidak mampu berdonasi, setidaknya lakukan yang disarankan para nakes.
Seperti yang kita ketahui bersama, pencegahan penyebaran virus corona antara lain adalah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, rutin cuci tangan dengan sabun menggunakan air mengalir, tetap di rumah (stay at home) semaksimal mungkin; dan kalau terpaksa keluar rumah, harus memakai masker, hindari keramaian, dan menerapkan physical distancing.
Berdiam diri di rumah sering hanya diidentikkan dengan aktivitas rebahan, gegoleran, santai-santai, dsb. Padahal berdiam diri di rumah lebih dari itu. Saat di rumah, fitrah kita sebagai manusia, ingin minimal rumah rapi, pakaian bersih, serta makanan tersedia. Betul tidak? Ini kebutuhan dasar kita, papan-sandang-pangan. Untuk mendapatkannya, tentu harus usaha. Ya beberes, ya bebersih, ya masak. Pekerjaan mudah? Siapa bilang. Kenyataannya, pekerjaan domestik adalah pekerjaan yang tak ada habisnya. Belum lagi kalau ada anak-anak kecil di rumah. Pokoknya cobaan deh.
Tak hanya itu, berdiam diri di rumah menuntut kita untuk bersabar ekstra. Untuk sementara waktu, kita tak bisa berjumpa dulu dengan kesayangan, tak bisa berkumpul dan tatap muka dengan orang banyak, kalau bertemu pun harus jaga jarak fisik, tidak leluasa mengerjakan aktivitas outdoor atau bahkan harus berhenti sementara dari hobi luar ruangan. Yang menurut saya paling berat, bagi para tulang punggung keluarga, mereka harus bersabar tidak keluar. Kalaupun harus keluar, bersabarnya ekstra lagi, karena jumlah pelanggan turun drastis karena wfh dan yang pasti mempertaruhkan kesehatannya demi keluarga tercinta.. :'
Perjuangan tidak hanya itu. Jika terpaksa keluar, sesampainya di rumah, kita harus beberes dan bebersih diri dulu sebelum hal lain. Ini bukan hal mudah. Bayangkan, tiap sampai di rumah, semua yang dipakai harus dilepas dari tubuh dan dicuci segera, harus mandi dengan sabun, harus menyemprot dan mengelap barang yang dibawa dengan desinfektan, dsb. Capek kan? Belum lagi biayanya meningkat. Beli desinfektan, deterjen, bayar listrik untuk mesin cuci, biaya air leding, dsb. Padahal pemasukan berkurang. Ya Allah, cobaan..
Belum lagi efek psikologi dari pembatasan ruang aktivitas. Bosan lho! Apalagi bagi yang menjaga anak kecil dan lansia. Anak-anak dan lansia harus bersabar, yang menjaga juga harus lebih sabar dengan polah anak/ortu yang bosan, harus pintar nyari bahan kesibukan, dsb. Ujian cobaan juga kan, ini?
Jadi, siapa bilang berdiam diri di rumah hanya rebahan? Yakin semudah itu? Kalau menurut saya pribadi, saya yakin banyak juga yang berjuang ekstra sabar, sesuai dengan porsinya masing-masing. Maka jangan pernah meragukan eksistensi kita di bumi saat ini. Mungkin perjuangan kita tak sebanding dengan orang lain, tapi tetaplah berjuang. Niatkan hanya karena Allah, insyaAllah tidak akan sia-sia. Semangat! (Sebenarnya ini nyemangatin diri sendiri, hehe)