5.08.2017

Ujian Kehidupan: Anak

Di pagi hari Senin yang cerah ini, barusan, saya ditakdirkan ketemu sebuah video di facebook yang isinya tentang sepasang suami istri yang menyiksa anak-anaknya demi popularitas di youtube. Miris dan rasanya tak masuk akal. Untuk mengklarifikasi, saya langsung mencari tahu mengenai saluran youtube yang dimaksud, untuk sekadar mengecek. Ketemu. Di saluran tersebut, ternyata sudah banyak video yang dihapus (cuma tinggal 1 video saja di channel tersebut). Tapi namanya juga internet, ada saluran-saluran lain yang membahas atau menunggah ulang sehingga saya bisa melihatnya. Shocking dan menyesakkan dada, kalau boleh jujur. Terlepas itu diakui mereka sebagai video prank (mengerjai) anak-anak mereka dan fake (karena diskrenariokan dan diedit agar dramatis), tetap saja menurut saya tidak wajar. Masak anak kecil dibanting, ditampar, dipermalukan. Tapi, aah, saya kan belum pernah mengasuh anak-anak. *angkat tangan

Yang menarik, subscriber saluran youtube kontroversial tersebut mencapai 762 ribuan waktu saya search pagi ini.

Bingung ya dek?
(Photo by Petras Gagilas)


Emm. kamu tahu?

Sebagai seorang wanita yang hampir 6 tahun pernikahan masih belum mengecap rasanya pengasuhan anak (walaupun pernah hamil 9 bulan), jujur, saya pernah iri setengah mati dengan orang-orang yang begitu mudahnya punya anak. Apalagi ketika ada yang mengatakan kepada saya kalau kami kurang berdoa, kami kurang sholeh, kami kurang sedekah, kami kebanyakan dosa, dsb. Oh, sungguh rasanya nyess di hati. Ambil hikmah baiknya, mungkin lewat lisan-lisan penghakiman itu saya dan Kanda jadi semakin ingat untuk menambah ibadah. Tapi tetap saja rasanya nyess. Penghakiman selalu menyakitkan, kan.

Seperti sebuah batu yang dilempar ke dalam telaga. Riaknya akan hilang seiring waktu berlalu, tapi tetap saja batunya masih tertinggal di dalam sana. Just saying..

Terkait video yang saya ceritakan di awal tulisan ini --dan berbagai tragedi pembunuhan janin, pembuangan bayi, ataupun penelantaran anak-- sungguh hati saya terasa teriris. Pilu. Bagaimana mungkin mereka yang notabene bisa cepat dan mudah memiliki keturunan, tega melakukan itu kepada darah daging mereka sendiri? Bukankah berdasarkan pemahaman masyarakat, mereka adalah orang yang doanya didengar Tuhan, yang dosanya minim, yang sholeh dan amanah, yang banyak sedekah dan taat beribadah? Bukan seperti saya dan teman-teman seperjuangan --yang katanya "masih belum pantas dititipi buah hati".

Ooh, betapa saya ingin berkata kepada orang-orang itu untuk berhenti berkomentar mengenai masalah kepantasan menjadi orang tua. Anak itu termasuk ranah Hak Tuhan. Suka-sukanya Tuhan mau menitipkannya kepada orang yang pantas ataupun yang tidak pantas (menurut mata manusia). Bukankah kalau Tuhan Yang Maha Kuasa berkata jadilah, maka akan terjadi meskipun sudah dihindari sekuat tenaga? Dan demikian pula berlaku sebaliknya. Setidaknya itu yang saya yakini. Tapi lagi-lagi saya harus menerima bahwa kita tidak bisa memaksakan pemahaman kepada orang lain. Bukan begitu?

Agar pemikiran waras kembali ke tempatnya, sepertinya harus ingat bahwa setiap orang memiliki ujian kesabarannya masing-masing:

Yang punya anak, ujiannya adalah kesabaran menghadapi anak-anak yang (tidak bisa dipungkiri) kadang sangat terampil menguji emosi orang tuanya.
Yang belum punya anak, ujiannya adalah kesabaran berikhtiar sambil menghadapi komentar orang-orang yang mungkin lupa kalau lisannya adalah ujian buatnya.
Yang belum menikah, ujiannya adalah menahan diri dari perbuatan tercela dan ocehan manusia.
Yang sudah berumah tangga, ujiannya adalah saling mendukung pasangan apapun keadaannya.

Begitulah Tuhan menciptakan dunia: beragam manusia dengan ujian kehidupannya masing-masing.

Satu paragraf pengingat penting yang ingin saya tujukan buat diri sendiri (dan buat teman-teman yang bekenan membaca sampai selesai):
Jangan kebiasaan membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain. Kamu ya kamu. Jangan biarkan orang lain mengatur kehidupanmu sedemikian rupa, apalagi cuma subscriber channel atau follower medsos yang kenal pun tidak denganmu, yang ringan hati meninggalkanmu kapanpun mereka mau. Rugi. Ini kehidupan kita masing-masing. Kita yang menjalani, bukan orang lain. Segala kemudahan dan kesulitan, kitalah yang merasakan, bukan orang lain. Kelak di kehidupan setelah mati, kita pula yang harus memikul amal dan dosa kita, bukan orang lain. Oleh karena itu, selama tidak melanggar larangan Tuhan, tidak menyakiti orang lain, tidak bertentangan dengan suara hati nurani, tetaplah berjalan dengan kepala tegak. Sadarilah bahwa semua orang memiliki ujian hidupnya masing-masing, tak terkecuali melalui perihal seputar anak. Banyak atau tak ada sama sekali, anak adalah ujian kehidupan.

Semoga kita semua bisa melewati ujian ini dengan sebaiknya. Aamiin <3