12.01.2016

Pengalaman Rawat Inap di Rumah Sakit Untan

Hai, teman-teman! Apa kabar? Maaf ya, bulan lalu saya jarang nge-blog. Ceritanya, awal bulan lalu Bapak saya dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, dan itu cukup mempengaruhi saya. Pengalaman tersebut akan saya tulis sekarang. Perlu diingat ya, karena pengalaman ini ditulis oleh saya, jadi pastinya tulisan ini berisi kesan dan pendapat dari sudut pandang saya sebagai keluarga pasien.

FYI, Bapak saya juga peserta Askes di Pontianak. Harapan saya, semoga tulisan ini bisa memberikan gambaran pelayanan Askes (alias BPJS Kesehatan) di rumah sakit tersebut.

Pengalaman Rawat Inap di Rumah Sakit Untan
Peta Rumah Sakit Pendidikan Universitas Tanjugpura
(sumber gambar: google maps)


Sekitar sepekan atau 2 pekan sebelum bulan November tiba, Bapak mengeluhkan sakit di bagian perut'. Setelah diperiksakan ke dokter, beliau dijadwalkan untuk operasi menyatukan jaringan yang koyak pada hari Selasa tanggal 1 November. Operasi minor sih, tapi karena beliau sudah berusia lanjut, banyak faktor kesehatan lain yang harus diperhatikan, seperti tekanan darah, dsb. Itulah sebabnya dokter tidak langsung mengambil tindakan operasi melainkan memberi jeda waktu sekitar sepekan, untuk persiapan.

Tanggal 1 November tiba, Bapak sudah puasa dan siap dengan tas berisi baju dan perlengkapannya untuk menginap. Nah, ceritanya beliau memilih untuk diperiksa oleh dokter yang praktek di salah satu RS swasta di Pontianak. Pelayanan RS swasta tersebut dikenal cukup baik dan memuaskan, tapi tipikal RS swasta lah ya, biayanya menguras kantong. Di hari-H kami baru tahu kalau biaya perawatan di kelas 3 RS swasta tersebut ternyata mencapai 7 jutaan. Memang sih itu hanya uang jaminan yang notabene masih bisa balik selama biaya perawatan, obat, dsb tidak melebihi 7 juta. Masalahnya, biaya bisa saja lebih dari itu, kan. Terlebih ketika tahu bahwa kelas 3 itu ruangannya terbagi untuk 4 pasien yang hanya dipisah tirai, keluarga pasien yang menunggui pun hanya bisa tidur duduk saking sempitnya. Belum lagi kalau memikirkan pasien yang sekamar mungkin saja ada yang sakit parah, sementara kondisi Bapak akan rentan pasca operasi, susah kan; sedangkan untuk pindah ke ruangan kelas 2 atau 1 pasti lebih mahal. Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut --dan mengingat kalau Bapak adalah peserta Askes-- beliau akhirnya memutuskan untuk beralih ke RS negeri. Di RS negeri insyaallah beliau bisa dapat ruang rawat inap kelas 1.

Awalnya, Bapak mau mengambil surat rujukan di Puskesmas Gang Busri untuk ke RSUD dr Soedarso, dengan pertimbangan bahwa catatan kesehatan beliau sudah cukup lengkap di sana. Tapi karena kalau dari arah rumah harus menyeberang jalan raya, sedangkan Jalan Imam Bonjol - Adisucipto (hampir selalu) padat oleh kendaraan besar, beliau mengurungkan niat lalu putar arah ke klinik Untan untuk minta rujukan ke RS Untan saja. Hmm, RS Untan.. Saya jadi teringat kenangan di awal bulan Februari tahun ini, waktu Mama' diopname di RS Untan. Yah, namanya juga dirawat di RS kan ya, memori yang diingat agak kurang enak.

Setelah lapor ke dokter di RS Untan bahwa Bapak sebenarnya dijadwalkan operasi hari itu, dokter menyatakan siap mengoperasi. Tapi berhubung Bapak sudah terlanjur makan siang waktu menunggu antrian dokter dan hasil tes kesehatan pra-operasi kurang baik, operasi urung dilakukan. Oleh dokter beliau dijadwalkan dioperasi keesokan harinya, yaitu tanggal 2, kalau kondisinya memungkinkan. Pokoknya lihat kondisi Bapak dulu, begitu kata dokter. Soalnya kondisi kesehatan Bapak waktu itu tiba-tiba drop: tekanan darah beliau tiba-tiba naik, gula darah tiba-tiba tinggi, jantung terindikasi bermasalah, ada sesak nafas juga. Padahal sebelum-sebelumnya tidak ada keluhan lho, paling-paling gatal di kulit yang tidak kunjung sembuh. Makanya kami kaget waktu melihat beliau diinfus dan dipasangi selang oksigen. Kaget sekaligus sedih, pastinya. Mungkin karena faktor psikis kali ya. Kan gimanapun --walaupun kata dokter itu hanya operasi minor-- yang namanya operasi tetap saja menyeramkan. Saya juga takut kok.

Setelah minum segala obat penurun darah, pengencer darah, jantung, blablabla; diingatin dzikir juga; alhamdulillah kondisi beliau dinyatakan oke untuk operasi besoknya, tanggal 2. Siang sekitar pukul 2 siang beliau dibawa ke ruang bedah di lantai dasar, untuk persiapan. Pukul setengah 3, tim dokter kelihatan masuk ruang bedah. Jadwalnya bedahnya memang pukul 14.30. Berdasarkan info, katanya operasi minor tersebut hanya bius lokal dan insyaallah bisa selesai dalam 15-20 menit. Tapi tunggu punya tunggu, Bapak baru dibawa keluar dari ruang bedah dan diantar masuk lagi ke kamar inap sekitar setengah 6 sore, hampir maghrib. Bapak bercerita, biusnya memang lokal. Saat itu beliau masih belum bisa merasakan kaki akibat pengaruh anastesi. Waktu ditanya kenapa lama, Bapak bilang, ternyata dokter perlu menyingkirkan lemak yang sempat nempel di lokasi yang tidak seharusnya. Jadi ketahuan lah kalau penyakit Bapak tersebut sudah lama, cuma dicuekin. Bisa-bisanya, ckckck..

Malam pasca operasi, efek anastesi perlahan menghilang dan Bapak mulai merasa sakit. Seumur-umur baru kali itu saya melihat beliau mengeluhkan sakit sampai seperti itu. Sedih, tapi kata perawat insyaallah besok kondisi Bapak akan lebih baik. Kebanyakan perawat di lantai 3 ini (lantai untuk pasien operasi dan bersalin) alhamdulillah jauh lebih ramah dibandingkan di lantai 2 dulu (lantai rawat inap bagi pasien penyakit dalam, tempat Mama' dirawat Februari lalu). Ada sih yang jutek, tapi tidak separah yang di lantai 2. Mereka juga selalu stand by dan tidak kelihatan keberatan waktu kami bolak-balik minta bantuan atau bertanya. Teringat dulu waktu Mama' dirawat, saya sampai harus turun ke ruang UGD di lantai dasar gara-gara tidak berhasil memanggil perawat jaga di lantai 2 waktu infus Mama' lepas di pagi buta. Huah. Belum lagi perawat yang wajahnya jutek, bete, ketus --aduh, seram. Saya tidak bilang semua perawat di lantai 2 itu seperti itu ya, karena yang favorit juga ada: ramah dan luar biasa sabar menghadapi pasien dan keluarganya. Tapi ya gitu lah ya, sekadar cerita kalau saya pernah diperlakukan kurang menyenangkan seperti itu oleh oknum dan rasanya tidak enak. Anggap saja ini masukan buat teman-teman pembaca yang berprofesi pelayanan publik, ya.. Benar-benar no offense. Saya juga berharap kinerja perawat di lantai 2 RS ini sekarang sama baiknya dengan perawat di lantai 3, terutama dari keramahtamahan dan kesigapan.

Lanjut.

Emm, tapi kalau lanjut, panjang. Singkat cerita saja lah ya. Intinya, Bapak saya perlu dirawat inap selama 6 hari di RS Untan, dilanjutkan kontrol sepekan sekali. Untuk pelayanan, rumah sakit pendidikan ini saya rasa cukup baik. Tenaga medis yang menangani (dokter maupun perawat) ramah dan informatif. Dokter malah bersedia menjelaskan dengan baik walaupun Bapak mengikuti Askes. Hanya fasilitas fisik saja yang bisa dikata tidak memuaskan. Kenapa? Karena fasilitas tidak lengkap. Tambah sesak pas lihat daftar inventaris ruangan yang tertempel di tiap kamar. Di situ tertulis lengkap, tapi kenyataannya jauh. Mari saya sebutkan satu-satu.

Dari yang terpenting: tiang infus di toilet. Waktu Bapak dirawat, tiang infus untuk yang di toilet tidak ada. Nah lho. Buat yang bukan pasien sih biasa saja ya, tapi buat pasien tentu ini terasa sangat tidak nyaman dan menyusahkan. Ini kejadiannya waktu Bapak dirawat (november, lantai 3, kelas 1). Kalau waktu Mama dulu (februari, lantai 2, kelas 1), tiang infus tersedia dan kondisinya baik.

Lalu, tempat duduk buat keluarga pasien. Memang sih ruangannya cukup lapang untuk dipasangi tikar buat duduk atau berbaring di lantai, tapi dibandingkan fasilitas kamar di lantai 2 dulu (yang ada sofa lipat di setiap kamar kelas 1-nya), rasanya cedih *lebay ih, hihi. Yah, soalnya tiduran di sofa dengan di lantai itu kan beda. Hm... Bukan berarti lupa bersyukur, cuma terasa timpang saja, gitu.

Hal lain yang mengganggu adalah hal kecil tapi berarti: remote. Jadi ceritanya, di ruang inap kelas 1 RS ini tersedia kulkas, TV dan AC. Sayangnya AC dan TV sama-sama tidak ada remotenya. Bukan hanya di ruangan kami, tapi tetangga lain juga. Akhirnya sepanjang hari TV menyala tapi tidak bisa pindah channel dan tidak bisa diatur suaranya. Di ruang rawat inap Bapak malah sepertinya di-mute, tanpa suara sama sekali. Dicolok external memory juga tidak bisa karena dikunci. Akhirnya TV dinyalakan hanya untuk membaca running text atau untuk menghibur mata kalau-kalau penjenguk kehabisan bahan obrolan, hehe. AC alhamdulillah berfungsi tapi tidak bisa disesuaikan dengan keinginan begitu saja karena harus bolak-balik ke meja perawat untuk menanyakan remote. Ribet.

Hal kecil lainnya adalah keset kaki di depan toilet. Ketiadaannya asli bikin risih, jadi kami bawa keset sendiri dari rumah. Kursi busa untuk keluarga pasien juga tidak ada, padahal harusnya ada (dilihat dari daftar inventaris ruangan, ya). Belakanan kami baru sadar kalau di kamar lain ada, cuma di ruangan kami yang tidak ada. Ini berarti ada yang salah, kan? Harusnya kelengkapan barang-barang inventaris ruangan diperiksa sebelum dan sesudah pasien menempati ruangan. Perlu ada pembenahan dari segi pengelolaan. *mulai sotoy, piss (^_^)v

Okelah, cukup tentang barang-barang di ruang inap. Apa lagi ya? Ah ya, parkir di RS ini gratis lho, alhamdulillah.. Penting? Yah penting banget lah! Terutama buat keluarga pasien yang harus bolak balik RS. Yang pernah menunggui keluarga di rumah sakit pasti mengerti maksud saya..

Dari segi kebersihan, RS ini lumayan walaupun kadang saya merasa sudah terlalu siang untuk bebersih. Hehe. Untuk segi layanan makanan, waktu mengantarnya cukup tepat waktu (kecuali sarapan biasanya kesiangan). Menu makanannya insyaallah baik (katanya sih dikonsultasikan dulu ke tim ahli gizi) dan alhamdulillah cocok dengan lidah Bapak saya. Eh tapi pernah juga kejadian, Februari lalu. Bubur ayam yang rutin jadi menu sarapan, punya rasa yang asiin sekali. Mungkin kesalahan teknis, sih, tapi tetap saja saya kepikiran, kasihan kalau sampai ada pasien hipertensi yang makan makanan yang asin seperti bubur itu. Harapan saya, urusan kampung tengah para pasien bisa lebih diperhatikan dan diawasi demi kebaikan bersama.

Oh ya, di ruangan rawat inap, koneksi wifi sangat baik. Tapi berhubung saya tidak bisa masuk ke wifi-nya (faktor tidak punya username dan password yang hanya dimiliki oleh karyawan atau mahasiswa Untan), saya hampir lupa menyebutkan. Hehe.

Terakhir yang tak kalah penting, masalah biaya perawatan. Berhubung Bapak saya peserta Askes, segala biaya operasi, perawatan dan obat-obatan yang telah diresepkan dokter sudah ditutupi oleh Askes, alhamdulillah. Eh, ada sih yang perlu dibayar, yaitu jaring untuk operasi (kurang tahu nama medisnya). Harganya sekitar 1,5 juta. Biaya ini di luar tanggungan Askes karena bersifat opsional. Waktu itu kami memutuskan membelinya atas pertimbangan usia Bapak yang sudah lebih dari 60 tahun. Menurut dokter, jaring tersebut dapat membantu mengokohkan jaringan tubuh yang baru dijahit agar tidak mudah terbuka dan agar bekas luka operasi tidak terlalu sakit. Maklum kecepatan regenerasi sel-sel tubuh pada orang tua kan lebih lambat daripada yang muda, jadi ini bisa sangat membantu mengurangi sakit dan mempercepat proses penyembuhan pasca operasi.

Eh, panjang juga ternyata postingan saya hari ini. Hehe. Baiklah, saya cukupkan sekian dulu ya, teman-teman. Sudah ngantuk nih. Semoga bermanfaat. Bye!