Pondok Gravitasi |
Ceritanya, awal bulan ini Bapak saya kan sempat dirawat di rumah sakit. Untuk perawatan, beliau masih perlu bolak-balik kontrol ke dokter secara berkala. Bapak punya mobil sih, tapi mobil tua yang setirnya super duper berat. Selama ini hanya Bapak yang bisa mengendarainya. Supaya bekas operasinya tidak terganggu, Mama' menyewa mobil supaya bisa lebih leluasa membawa Bapak. Masalahnya, kalau menyewa mobil, biayanya jadi terhitung seharian, kan. Jadi harus diberdayakan dong yaa. Hehe. Mama' yang katanya sudah lama pengen mengajak makan di luar bersama, mencetuskan ide, "bagaimana kalau kita makan di Gravitasi?". Kami sih oke saja. Apalagi Bapak, yang sudah lama tidak jalan-jalan keluar karena sejak operasi kami larang berpergian sendiri.
Kami turun dari rumah pada sore hari, sekitar pukul setengah 5, tapi baru tiba di daerah Siantan selepas maghrib karena sepanjang jalan Imam Bonjol macet. Mama' yang puasa tengah bulan (ayyaumul bidh) hari itu, berbuka di tengah perjalanan. Kami sholat maghrib di salah satu masjid di pinggir jalan raya. Alhamdulillah halaman masjid tersebut cukup untuk parkir mobil. Selepas sholat, kami melanjutkan perjalanan. Peniti masih jauh sementara rasa lapar sudah mulai terasa. Padahal jam setengah 4 sore saya ada makan, lho. Gembul ih, hehe. Untungnya perjalanan lancar. Kami tiba di lokasi sekitar menjelang pukul 7, pas adzan Isya.
Setelah pesan makan dan minum, kami cuci tangan dan menunggu. Nunggunya agak lama sih, tapi karena ngobrol dan foto-foto, jadi tidak terlalu terasa. Kecuali Mama', saya rasa, karena beliau kan puasa seharian, ya..
Di rumah makan tersebut, menurut saya suasananya boleh lah. Tempat cuci tangannya luas, airnya jernih, dan sabun cairnya wangi. Kami mengambil tempat di deretan lesehan yang menghadap sungai. Lampu di deretan lesehan tepi sungai agak redup, kurang oke kalau untuk foto-foto di malam hari. Tapi kalau pakai hp yang bagus, sih, lumayan. Lampu masjid di seberang sungai berkelap-kelip menghibur mata, khas kehidupan masyarakat tepi sungai. Kalau datang di siang hari, pemandangan mungkin bisa lebih variatif.
Sekadar info. Deretan lesehan tepi sungai itu tidak ada dek atau langit-langitnya, jadi langsung atap. Agak rentan dengan kejadian dijatuhi "sesuatu" oleh cicak. Kenapa saya bilang begini, karena kami mengalaminya. Meja kami kejatuhan bom si cicak, jadi kami pindah ke meja di sebelahnya yang dibatasi sekat setinggi pinggul. Agak was-was kejatuhan bom lagi, sih, tapi tawakal sajalah, dan alhamdulillah sampai pulang pun tidak ada kejadian serupa. Hiee..
Kabar baiknya, tersedia stop kontak di setiap sekat. Hp saya yang boros batrai pun bisa dicas. :D
Setelah kami pindah duduk, minuman diantar, baru makanan. Alhamdulillah. Langsung diserbu, jadi fotonya seadanya saja. Lapar, hehe.
Selesai makan, alhamdulillah perut kenyang. Semua lauk dan sayur mayur yang dipesan, ludes tak bersisa. Hanya nasi dalam 2 bakul kecil yang masih tersisa dan jumlahnya agak banyak. Maklum, kami berjumlah enam orang, sementara bakul nasi besar cukup untuk 10 orang dan bakul nasi kecil bisa untuk 4 orang. Makanya kelebihan. Sayang. Apalagi pas tahu kalau harga 1 bakul kecil itu 20 ribu.. :' sayaaang banget..
Untuk pelayanan, terus terang, saya agak gimanaa gitu ya. Wajah pelayannya kurang ekspresif, dataaar sekali. Cemberut tidak, tapi ramah juga jauh. Padahal menurut saya akan sangat bagus sekali kalau pelayannya komunikatif. Minimal memberikan info yang cukup, mengingat sebagian menu yang tertulis di daftar menu tidak disertai dengan keterangan harga.
Sekadar ilustrasi dari kunjungan kami ini. Dengan menu seperti yang saya tulis di caption foto di atas, kami harus membayar kira-kira 69 ribu/orang. Memang sih, mahal atau tidaknya harga segitu tergantung tiap orang, tapi buat saya pribadi, itu mihil. Duit sih insyaallah ada, hanya saja, dengan pelayan yang tidak ramah dan harga yang tidak transparan, apalagi lokasinya jauh dari kota, makan bensin, tenaga, dan waktu --saya merasa tidak puas. Kalau sekadar untuk singgah pas keluar kota waktu bawa tamu sih, bolehlah. Toh di sini tersedia pengkang alias pulut panggang khas yang cukup enak. Harganya 3 ribu per buah, bisa sekalian buat oleh-oleh. Tapi untuk sengaja ke sana cuma buat makan --seperti yang kami lakukan pekan lalu-- sepertinya tidak..
Setelah cuci tangan dan duduk santai sebentar, kami pulang. Tidak ada tukang parkir malam itu. Entahlah apa memang biasanya seperti itu atau tidak, yang pasti malam itu tidak ada. Padahal menurut saya cukup seram karena lokasinya berada di dekat belokan dan jembatan. Untungnya halaman parkir lapang dan kendaraan pengunjung tidak banyak malam itu, jadi mobil kami bisa memutar dengan mudah. Cuma menurut saya lucu saja, gitu. Bayar mahal tapi tidak ada tukang parkir. Kalaupun ada tukang parkir, harusnya gratis. Tapi, ya sudahlah. Yang penting kami selamat, alhamdulillah.
Begitulah cerita saya pas makan malam bersama keluarga pekan lalu. Semoga tulisan ini bermanfaat ya. Dan harapan saya, semoga ke depannya tempat makan yang khas ini bisa semakin baik lagi dan semakin maju dalam pelayanan, karena citarasa masakannya enak..