Kalau ditanya dimana "tempat penuh kenangan" yang saya miliki, otak saya saat ini secara spontan memikirkan tempat itu, tempat yang dipenuhi orang-orang yang saya kasihi dan mengasihi saya: RUMAH.
Rumah yang saya bicarakan ini adalah rumah orang tua terkasih di Kota Khatulistiwa tercinta. Rumah tersebut kami huni sejak tahun 1990 atau 1991, saya kurang ingat pasti. Yang pasti saat kami pindah dari rumah kontrakan ke rumah tersebut, saya masih di bangku taman kanak-kanak. Senang sekali naik truk carteran yang mengangkut barang-barang rumah saat pindah, dulu, seru! Tapi kalau sekarang mikirin pindah rumah sih, repot, hehe..
Oh iya, proses pembangunan rumah diawasi langsung oleh Mama dan Bapak setiap hari. Saya dan Kakak kadang "terikut" karena jadwal Mama dan Bapak mengawasi tukang biasanya siang hari, sepulang menjemput kami dari sekolah. Saya dan Kakak pernah tertidur di rumah yang belum jadi. Anginnya sepoi-sepoi karena dulu daerah tersebut adalah kawasan berhutan, adem. Kalau kata orang Pontianak, dulu daerah itu adalah tempat "jin betendang", istilah untuk menggambarkan terpencil/terisolasinya suatu tempat. Tapi seiring waktu sekarang kawasan sekitar tempat tinggal kami sudah terbangun dan dekat dengan jalan protokol. Para jin mungkin harus mencari tempat lain untuk "betendang".. hee
Banyak kenangan hidup tak terlupakan yang terjadi di rumah. Apalagi Saya dan Kakak sangat betah di rumah, melakukan entah-apa-saja. Bukan berarti tidak suka jalan-jalan lho. Kami sangat suka jalan-jalan, main, silaturahim, cuci mata, atau sekadar menyesatkan diri di jalan asing yang belum pernah dilewati atau sulit kami hafalkan. Tapi buat kami jalan-jalan itu enaknya seharian sekalian, biar puas capeknya. Jadi kalau tidak keluar rumah, ya, kami main di rumah saja. Waktu kecil memang lebih sering main di luar, berjemur, sampai-sampai kulit terbakar dan kata Mama rambut kami "bau ari" alias bau matahari. Memasuki usia abege, Saya dan Kakak sempat dikatai kuper oleh beberapa tetangga karena lebih sering di rumah. Tapi karena aslinya kami tidak se-kuper yang mereka kira, akhirnya waktu jua yang menjawab. eaaak :D
Ngomong-ngomong, rumah kami tidak mewah. Mainan di dalamnya juga tidak wah. Lalu apa yang membuat betah? Entah lah.
Saking sederhananya model rumah kami, pernah ada lho yang bilang rumah kami ketinggalan zaman karena jarak lantai ke tanah agak tinggi. Istilah kerennya, kampungan.. Hihi
Yah, semua orang boleh berkomentar lah ya. Namanya kita manusia. Tapi sebagai anak saya paham betul alasan Mama dan Bapak meninggikan rumah. Tinggal di Kota Khatulistiwa yang letaknya di delta Sungai Kapuas mewajibkan penduduknya untuk menyesuaikan dengan dataran banjir. Sebagai catatan, Mama sangat trauma dengan kejadian-kejadian saat banjir di rumah kontrakan lama dulu; mulai dari kerepotan membersihkan segala kekacauan seusai banjir, sampai insiden ular yang lewat di kaki Mama saat masak. Nah lho..
Sayangnya seiring waktu, pembangunan yang kurang terarah dan kurang ramah lingkungan memperburuk dataran banjir. Drainase banyak yang ditutup, dipersempit, dan mengalami pendangkalan. Jalan-jalan pun memberi andil. Ketebalan jalan yang semakin tinggi membuka kesempatan selapang-lapangnya bagi air masuk ke rumah-rumah yang lebih rendah dari jalan. Rumah kami saja sekarang sudah mengkhawatirkan kalau banjir, apalagi rumah tetangga yang rendah. Hmm, pantas saja orang jaman dulu membangun rumah panggung. Ternyata itu memang model rumah paling ideal di dataran banjir seperti kota kami.
#ops, maaf, efek nulis tema tesis tentang lanskap budaya, hehe
Oke, kembali ke leptop.
Rumah yang saya bicarakan ini adalah rumah orang tua terkasih di Kota Khatulistiwa tercinta. Rumah tersebut kami huni sejak tahun 1990 atau 1991, saya kurang ingat pasti. Yang pasti saat kami pindah dari rumah kontrakan ke rumah tersebut, saya masih di bangku taman kanak-kanak. Senang sekali naik truk carteran yang mengangkut barang-barang rumah saat pindah, dulu, seru! Tapi kalau sekarang mikirin pindah rumah sih, repot, hehe..
Oh iya, proses pembangunan rumah diawasi langsung oleh Mama dan Bapak setiap hari. Saya dan Kakak kadang "terikut" karena jadwal Mama dan Bapak mengawasi tukang biasanya siang hari, sepulang menjemput kami dari sekolah. Saya dan Kakak pernah tertidur di rumah yang belum jadi. Anginnya sepoi-sepoi karena dulu daerah tersebut adalah kawasan berhutan, adem. Kalau kata orang Pontianak, dulu daerah itu adalah tempat "jin betendang", istilah untuk menggambarkan terpencil/terisolasinya suatu tempat. Tapi seiring waktu sekarang kawasan sekitar tempat tinggal kami sudah terbangun dan dekat dengan jalan protokol. Para jin mungkin harus mencari tempat lain untuk "betendang".. hee
Banyak kenangan hidup tak terlupakan yang terjadi di rumah. Apalagi Saya dan Kakak sangat betah di rumah, melakukan entah-apa-saja. Bukan berarti tidak suka jalan-jalan lho. Kami sangat suka jalan-jalan, main, silaturahim, cuci mata, atau sekadar menyesatkan diri di jalan asing yang belum pernah dilewati atau sulit kami hafalkan. Tapi buat kami jalan-jalan itu enaknya seharian sekalian, biar puas capeknya. Jadi kalau tidak keluar rumah, ya, kami main di rumah saja. Waktu kecil memang lebih sering main di luar, berjemur, sampai-sampai kulit terbakar dan kata Mama rambut kami "bau ari" alias bau matahari. Memasuki usia abege, Saya dan Kakak sempat dikatai kuper oleh beberapa tetangga karena lebih sering di rumah. Tapi karena aslinya kami tidak se-kuper yang mereka kira, akhirnya waktu jua yang menjawab. eaaak :D
Ngomong-ngomong, rumah kami tidak mewah. Mainan di dalamnya juga tidak wah. Lalu apa yang membuat betah? Entah lah.
Saking sederhananya model rumah kami, pernah ada lho yang bilang rumah kami ketinggalan zaman karena jarak lantai ke tanah agak tinggi. Istilah kerennya, kampungan.. Hihi
Yah, semua orang boleh berkomentar lah ya. Namanya kita manusia. Tapi sebagai anak saya paham betul alasan Mama dan Bapak meninggikan rumah. Tinggal di Kota Khatulistiwa yang letaknya di delta Sungai Kapuas mewajibkan penduduknya untuk menyesuaikan dengan dataran banjir. Sebagai catatan, Mama sangat trauma dengan kejadian-kejadian saat banjir di rumah kontrakan lama dulu; mulai dari kerepotan membersihkan segala kekacauan seusai banjir, sampai insiden ular yang lewat di kaki Mama saat masak. Nah lho..
Sayangnya seiring waktu, pembangunan yang kurang terarah dan kurang ramah lingkungan memperburuk dataran banjir. Drainase banyak yang ditutup, dipersempit, dan mengalami pendangkalan. Jalan-jalan pun memberi andil. Ketebalan jalan yang semakin tinggi membuka kesempatan selapang-lapangnya bagi air masuk ke rumah-rumah yang lebih rendah dari jalan. Rumah kami saja sekarang sudah mengkhawatirkan kalau banjir, apalagi rumah tetangga yang rendah. Hmm, pantas saja orang jaman dulu membangun rumah panggung. Ternyata itu memang model rumah paling ideal di dataran banjir seperti kota kami.
#ops, maaf, efek nulis tema tesis tentang lanskap budaya, hehe
Rumah kami saat ini, di kala malam.. |
Oke, kembali ke leptop.
Jalan menuju rumah, menangkap keponakan-keponakan mungil yang berlarian :D Dulu jalan ini sempit, hanya untuk pejalan kaki, motor atau sepeda. |
Saat dibangun, rumah kami tergolong mungil dengan bentuk lurus, tanpa teras, dengan jendela kayu buatan sendiri. Dulu ada sumur di samping rumah, tapi sewaktu saya SMP sumur tersebut sudah ditutup untuk dibangun tambahan rumah berlantai 2 yang fondasinya lebih kuat. Meski ada bangunan tambahan, alhamdulillah kami masih memiliki halaman yang hijau dan rimbun. Luasnya pun terkesan lebih lapang dibandingkan halaman para tetangga, padahal luas tanah kavlingannya sama satu sama lain.
Di teriknya siang, enaknya makan jambu bersama. #Panen dulu.. |
Pekarangan kami memiliki jenis tanaman yang beragam; ada pohon buah, tanaman hias, tanaman obat, sayur dan bumbu. Bapak juga membuat kolam ikan untuk memelihara nila dan lele. Tidak banyak, tapi lumayan untuk konsumsi sendiri atau untuk dijadikan tempat menggaet anak balita saudara yang bertandang untuk melihat liukan ikan. Kan anak kecil suka diajak melihat ikan tuh, walaupun sebenarnya bentuk ikannya sendiri kurang jelas. Hehe~
Dengar-dengar kabar dari Mama, Bapak yang sekarang sudah pensiun menyibukkan diri membuat bokashi sendiri dan mengurus pekarangan rumah dengan menanam sayur-mayur untuk dipanen kapan-kapan. :)
Dengar-dengar kabar dari Mama, Bapak yang sekarang sudah pensiun menyibukkan diri membuat bokashi sendiri dan mengurus pekarangan rumah dengan menanam sayur-mayur untuk dipanen kapan-kapan. :)
Pagar pink and fans.. :D |
Dulu,di kompleks tidak ada yang membangun pagar sehingga kami (para anak kecil saat itu) bisa bermain "tapo'-tapo'an" alias petak umpet atau "kejar patong" alias kejar-kejaran dengan leluasa. Yang ada paling-paling pagar teras seperti di rumah kami dulu. Tapi lagi-lagi seiring waktu, pagar pembatas antar rumah pun mulai dibangun, terutama untuk menghindari pemulung atau pengemis yang suka seenaknya masuk ke dalam rumah. Rumah kami sendiri baru berpagar sekitar 5 tahun lalu, dengan warna agak nyentrik : merah jambu; warna yang tidak umum digunakan oleh orang lain. Setidaknya tidak digunakan oleh orang-orang kompleks perumahan kami.
Masalah warna pagar ini, sebenarnya ada andil saya juga sih. Saat Bapak bertanya warna apa yang kami kehendaki untuk pagar, saya jawab lantang dengan warna favorit saya: merah jambu! Alasannya sederhana, karena belum ada orang di kompleks kami yang menggunakan warna tersebut. Tak disangka, usulan saya diterima. Jadi lah pagar rumah kami dicat warna pink. Iyey! :D
Sebagai saksi bisu dinamika kehidupan keluarga, rumah kami banyak mengalami metamorfosa, misalnya dinding antara ruang tamu dan ruang tengah yang dijebol demi menciptakan suasana lebih lapang. Di sanalah para tamu dijamu, dan tempat saya dan Kakak mengajar les privat kecil-kecilan. Bentuk dan ukuran kamar-kamar tidak ada yang berubah, hanya penghuninya saja yang bergilir ganti. Beberapa bagian rumah lain yang berubah adalah kamar kecil, kamar mandi dan dapur sudah dikeramik, garasi dibangun untuk kendaraan dan paving halaman depan diganti dengan semen. Dulu di teras ada pagar kayu dan dua anak tangga, sekarang pagar kayunya sudah dilepas dan anak tangga sudah tertutup semen halaman yang mengimbangi ketinggian jalan.
Saat ini, berbagai kelebat kenangan melintas di ingatan saya. Mulai dari kenangan saat bermain di halaman semasa kecil dulu, ketika selamatan ulang tahun dan kelulusan sekolah dasar-menengah pertama-menengah atas, masa remaja, momen berkumpul dengan keluarga saat arisan atau ketika teman-teman bertandang, saat wisuda, akad nikah, hamil dan mendekati persalinan, saat ananda pertama kami akan disemayamkan ke peristirahatan terakhir, ketika duduk di teras saat listrik padam, saat puasa dan persiapan lebaran, dan kenangan lain yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu..
Dengan sekian banyak kenangan yang ada di sana, bagaimana mungkin saya dapat melupakannya.. :)
Btw, sepertinya sekarang saya tahu apa yang menyebabkan saya dan Kakak betah sekali tinggal di rumah: karena banyak cinta dan kehangatan di dalamnya..
Duh, saya jadi tambah kangen dengan rumah deh. Home sweet home. Semoga segera bisa berkumpul kembali dengan orang-orang tersayang di rumah, aamiin.
#Balada anak rantau
Masalah warna pagar ini, sebenarnya ada andil saya juga sih. Saat Bapak bertanya warna apa yang kami kehendaki untuk pagar, saya jawab lantang dengan warna favorit saya: merah jambu! Alasannya sederhana, karena belum ada orang di kompleks kami yang menggunakan warna tersebut. Tak disangka, usulan saya diterima. Jadi lah pagar rumah kami dicat warna pink. Iyey! :D
Sebagai saksi bisu dinamika kehidupan keluarga, rumah kami banyak mengalami metamorfosa, misalnya dinding antara ruang tamu dan ruang tengah yang dijebol demi menciptakan suasana lebih lapang. Di sanalah para tamu dijamu, dan tempat saya dan Kakak mengajar les privat kecil-kecilan. Bentuk dan ukuran kamar-kamar tidak ada yang berubah, hanya penghuninya saja yang bergilir ganti. Beberapa bagian rumah lain yang berubah adalah kamar kecil, kamar mandi dan dapur sudah dikeramik, garasi dibangun untuk kendaraan dan paving halaman depan diganti dengan semen. Dulu di teras ada pagar kayu dan dua anak tangga, sekarang pagar kayunya sudah dilepas dan anak tangga sudah tertutup semen halaman yang mengimbangi ketinggian jalan.
Saat ini, berbagai kelebat kenangan melintas di ingatan saya. Mulai dari kenangan saat bermain di halaman semasa kecil dulu, ketika selamatan ulang tahun dan kelulusan sekolah dasar-menengah pertama-menengah atas, masa remaja, momen berkumpul dengan keluarga saat arisan atau ketika teman-teman bertandang, saat wisuda, akad nikah, hamil dan mendekati persalinan, saat ananda pertama kami akan disemayamkan ke peristirahatan terakhir, ketika duduk di teras saat listrik padam, saat puasa dan persiapan lebaran, dan kenangan lain yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu..
Btw, sepertinya sekarang saya tahu apa yang menyebabkan saya dan Kakak betah sekali tinggal di rumah: karena banyak cinta dan kehangatan di dalamnya..
Duh, saya jadi tambah kangen dengan rumah deh. Home sweet home. Semoga segera bisa berkumpul kembali dengan orang-orang tersayang di rumah, aamiin.
#Balada anak rantau