Mengapa disebut keras?
Begini.
Dulu, sekolah negeri tidak mampu menembus daerah pelosok Kalimantan (dan juga daerah lain yang disebut terpencil di Indonesia). Kalaupun ada, jumlahnya sangat terbatas dan kebanyakan murid-muridnya bukan dari suku Dayak (karena mayoritas anak-anak Dayak merasa lebih nyaman bersekolah di sekolah swasta/misi, atau putus sekolah karena bekerja).
Timbul rasa penasaran saya...
"Mengapa lebih nyaman di sekolah misi, pak?" tanya saya kepada Bapak.
"Ya, karena di sekolah swasta dan misi, tidak ada intimidasi dan kekerasan terhadap kita", jawab Bapak.
Kening saya berkerut, "Kok?"
"Iya, dulu waktu Bapak masuk sekolah kelas satu SD, Bapak dikeroyok anak-anak lain yang lebih besar, hanya karena Bapak seorang Dayak", kata Bapak.
"Sebagai anak kecil, dulu Bapak sering sedih karena tidak bisa melawan ketika dikeroyok sampai babak belur dan diteriaki: dayak b*doh oleh orang-orang yang mungkin lebih t*lol dari Bapak", lanjut Bapak.
"Tapi seiring perjalanan waktu, Bapak jadi terbiasa. Bapak tidak mengurungkan niat untuk tetap bersekolah meskipun dilecehkan." sambung Bapak. Perasaan saya campur aduk setelah mendengarnya... :'(
Saya langsung teringat dengan beberapa kisah lain dari episode diskriminasi ke-suku-an yang dirasakan keluarga kami... (yang akan saya ceritakan beberapa saja)
~~~
Pernah sekali waktu, keluarga dari Mama saya yang di luar kota merayakan pesta pernikahan anaknya. Berhubung Mama saya (dan keluarga beliau, tentu saja) bersuku Melayu, maka acara pernikahan tersebut diselenggarakan dengan adat istiadat Melayu.
Di adat Melayu dikenal istilah "makan saprahan" yang berarti makan bersama satu sajian. Tiap sajian berisi nasi dan beberapa lauk pauk yang cukup untuk 6 orang.
Nah, saat makan berjamaah malam itu, saya dan kakak saya sedang membantu pengantin menggunakan inai dan menghibur dia di kamar -- karena saat itu yang lainnya sedang sibuk untuk acara besoknya--. Alhasil, kami berdua terlambat makan malam berjamaah dengan keluarga yang lain.
Kami berinisiatif untuk mencari makanan untuk mengganjal perut. Saat mencari lauk untuk makan, kami melihat ada saprahan yang isinya masih banyak di dapur (mungkin yang makan hanya 2 orang, karena piring yang tersisa masih 4), jadi, saya dan kakak saya memutuskan untuk menghabiskan saprahan itu saja.
Kami makan sambil duduk bersila di dapur yang ramai dengan orang-orang yang hilir mudik membantu kesuksesan acara. Saya masih sangat ingat, saat itu lauk yang disajikan adalah opor ayam dengan potongan besar (ini karena untuk porsi makan bersama ya). Saya dan kakak saya memotong ayam tersebut dengan sendok (tujuannya, ya, supaya potongan ayam tersebut masih bisa dipanaskan bila kami berdua tidak mampu menghabiskannya langsung malam itu. Upaya menghindari mubazir, maksudnya....)
Saat sedang asyik makan, ada orang (yang tidak perlu saya sebutkan identitasnya, tidak mewakili suku manapun) yang langsung mengambil sendok untuk opor ayam dan menuangkan semua isinya ke piring kakak saya.
Saya dan kakak saya terkejut, tapi kemudian orang itu tersenyum manis dan berkata, "makan, makan, habiskan". Keterkejutan kamipun langsung hilang karena kami pikir itikad orang tersebut baik, yaitu menyuruh kami makan, jadi ya sudah, kami cuek saja dan melanjutkan makan kami.
(Kakak saya sengaja tidak mengembalikan ayam ke piring sajian karena khawatir mubazir, jadi kakak tetap makan dengan lahapnya).
Tidak ada yang istimewa dari cerita ini, sampai orang yang tadi menuangkan lauk ke piring kakak saya berkata dengan keras kepada orang-orang di sekitar dapur:
"Tuh, lihat, orang Dayak makan. Kampungan. Satu potong untuk sendirian. Hahahaha, konyol!", katanya sambil tertawa dan menunjuk-nunjuk ke arah kami.
Saya tidak ingat bagaimana wajah kesal saya (difitnah nyata-nyata seperti itu), tapi saya masih ingat kata-kata kakak saya, "Sudah dek, jangan dipikirkan, makan saja terus".
~~~
Saya juga teringat cerita Mama saya.
Dulu ketika zaman kompor minyak bergeser ke kompor gas, Mama saya dilanda kecemasan dan ketakutan tentang keamanan kompor dan tabung gas. Ya, wajarlah, kita kan memang terkadang bisa merasa agak cemas dengan keadaan baru, situasi baru, atau barang-barang baru.
Sayangnya, Mama saya bercerita dengan orang yang salah. Saya juga kaget dengan komentar orang tersebut. "Kamu menikah dengan Dayak sih, jadi ikutan kampungan deh. Hahaha".
:( sungguh-sungguh lelucon yang sangat tidak lucu. Selera humor yang rendah. ):
~~~
Mungkin yang pernah saya alami hanya sekedar verbal saja, (saya tidak bisa membayangkan kalau saya juga harus mengalami pengeroyokan seperti yang dialami Bapak saya saat SD) tapi jujur, rasanya menyakitkan karena dilakukan berulang-ulang oleh orang-orang yang sama, dengan unsur kesengajaan. Ironisnya, yang tega seperti itu justru saudara sesama muslim non-dayak.
Saya bukan seorang ahli tafsir, tapi saya pernah diajarkan, firman Allah SWT tercinta telah jelas dalam Al Qur'an surah Al-Hujuraat ayat 10-13 (Silahkan baca sendiri saja ya).
Saya adalah Muslim dan Dayak adalah suku saya. Allah menganugerahi dengan itu dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya bangga menjadi Muslim karena saya percaya bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa dan Maha Kuasa terhadap diri saya. Saya bangga menjadi Dayak, karena Allah memang menjanjikan kesamaan derajat bagi suku manapun, tidak ada kecemasan atau keragu-raguan sedikitpun untuk itu. Tidak ada yang membedakan manusia selain takwa, right??
Saya sedih dengan orang-orang yang masih berpikiran picik yang dengan sengaja menyakiti hati saya dan keluarga yang saya sayangi.
Semoga mereka dapat lebih mengenal Islam, tidak hanya di KTP saja, tapi juga bekal untuk akhiratnya.
Semoga saja saya, keluarga saya dan saudara-saudara seiman saya selalu ingat dengan firman-firman Allah SWT yang tercinta...
Dan semoga saja saya dan keluarga dapat bertakwa seutuhnya sepanjang hayat hanya kepada Allah SWT. amin.. ((")_("))
me as Moslem and Dayaknesse |
(^_^)v