10.23.2016

Komunikasi Asertif: Antara Hak dan Kewajiban

Sudah lama mau menanggapi tulisan dari mak Inda Chakim tentang asyiknya menjadi asertif, tapi belum juga dapat ide yang kena di hati. Sampai kemarin tidak sengaja baca postingan dari fanpage penulis ternama, Paulo Coelho..

credit: fanpage Paulo Coelho



Kalau-kalau gambar di atas gagal dimuat, ini lho tulisan beliau:

Don't say "yes" if you want to say "no". Don't say "maybe" if you want to say "never".
You can't hurt people with your decisions.
We always want to please, but at the end we are hurting ourselves.
It took me a lot of time to learn how to say "no", but I finnaly managed.
~ Paulo Coelho

Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia:

Jangan katakan "ya" jika kamu ingin berkata "tidak". Jangan katakan "mungkin" jika kamu ingin berkata "tidak akan".
Kamu tidak akan menyakiti orang lain dengan keputusanmu.
Kita selalu ingin membuat orang lain senang, tapi pada akhirnya kita menyakiti diri sendiri.
Perlu waktu yang lama bagi saya untuk belajar mengatakan "tidak", tapi akhirnya saya bisa melakukannya.
~ Paulo Coelho

Prinsip asertif sebenarnya terbilang mudah: katakan ya jika ya, tidak jika tidak. Sesimpel itu.

Nyatanya, menjadi pribadi asertif bukan perkara simpel, terutama jika kita terbiasa di lingkungan yang tidak menerapkan prinsip komunikasi asertif dengan baik. Seperti saya. Saya cenderung submisif. Rasanya? Ya gitu deh. :p

Pribadi submisif adalah kebalikan dari agresif. Kalau pribadi agresif cenderung menolak dengan cara kasar dan blak-blakan, pribadi submisif justru cenderung menekan pendapat pribadi, mudah mengiyakan meskipun dalam hatinya tidak sreg. Di satu sisi sikap submisif memang bisa menciptakan kedamaian, tapi konsekuensinya itu yang susah: lelah batin. Ciri lelah batin: ngedumel sendiri gara-gara makan ati. Mau sampai kapaaaan?!!

Makanya harus belajar asertif.

Agar bisa bersikap asertif, kita harus tahu hak dan kewajiban. Menolak dan menyatakan pendapat adalah hak. Yang jadi masalah adalah cara melakukannya. Santun tidak? Kenapa? Karena santun adalah kewajiban.

Menurut saya, supaya kita bisa tetap santun dalam menyampaikan pernyataan penolakan, kita harus sebisa mungkin menjauhkan diri dari kebiasaan menggunakan kata-kata kasar dalam kehidupan sehari-hari -- supaya kalaupun terbawa emosi, lidah jadi kaku dan malah jadi malu sendiri kalau sampai mengeluarkan kata-kata kasar. Kembalikan lagi ke kita. Tentu kita tidak mau ditolak dengan sikap dan ucapan kasar, kan? Ingat, what goes around comes around. Kalau ingin dihargai, harus menghargai orang lain.

Salah satu cara menghargai orang adalah dengan lisan. Saya pernah baca, lisan itu ibarat isi teko. Kalau teko bersih diisi dengan teh chamomile maka yang akan keluar dari teko tersebut adalah teh chamomile yang menenangkan. Begitu juga jika teko diisi comberan. Jika dituang maka yang keluar adalah comberan yang kotor, bau, menjijikkan, dan bikin kesal. Kira-kira seperti itu.

Melatih diri menjadi pribadi asertif tentu sangat sulit dan makan waktu lama. Yah, seperti yang disampaikan Paulo Coelho di awal tulisan ini-lah. Bahkan menurut saya melatih diri menjadi asertif salah satu latihan tersulit. Saya juga masih belajar dan kadang-kadang gagal, terutama kalau itu dalam hal menghadapi orang yang lebih tua. Dilematis. Soalnya dalam budaya timur kan, menolak orang yang lebih tua dapat dianggap perilaku yang sangat tidak sopan. Walaupun kita tahu tidak semua penolakan itu buruk dan tidak semua ketidaksetujuan itu kasar, tapi kita tentu tidak bisa memaksakan pemikiran tersebut ke orang lain. Jadi ya, balik lagi ke bagaimana cara kita menolak. Pilihan kata seperti apa, nada bicara bagaimana, mimik muka nyolot atau tidak. Kalau cara kita menolak masih kasar (agresif), kita harus berubah. Kalau santun (asertif), harus dilatih lagi agar terbiasa dan menular kepada orang di sekitar kita. Setuju tidak?

Jadi, yuk teman, kita belajar jadi asertif bersama-sama! Ikuti kata hati tanpa menginggalkan nilai kesopanan. 

Itu aja sih. Saya juga masih harus belajar banyak.