Yang saya pahami, ngeblog (dan juga kegiatan-kegiatan lain yang kita lakukan dalam hidup), hendaknya selalu dilakukan dengan sepenuh hati. Tidak harus membuat orang lain senang, karena bagaimanapun kita berusaha, tidak semua orang akan senang. Bisa jadi ada satu-dua atau banyak orang yang tidak senang dengan apapun yang kita lakukan atau katakan. Apalagi model tulisan perenungan seperti kali ini. Kata orang, sok bijak. Ah sudahlah..
Blog adalah milik pribadi, jadi memang suka-suka pemiliknya mau mengisinya dengan apa. Curcol, promosi, ikut lomba, dll. Apapun itu, bebas. Lebih baik lagi kalau disertai dengan berbagi ilmu dan pengetahuan yang berguna, sesuatu yang bisa menginspirasi orang lain, atau hiburan segar dan sehat untuk pembaca. Bebas. Sekali lagi saya katakan, bebas sebebas-bebasnya! Termasuk, bebas nyinyirin orang lain. Namanya juga berpendapat. Walau ketus dan mungkin berpotensi menyakitkan perasaan orang lain, toh nyinyir kan juga termasuk kebebasan dalam menyampaikan pendapat..
Terus terang, saya sudah sering membaca tulisan bernada nyinyir. Kadang saya santai kayak di pantai, tapi kadang juga tergelitik untuk berkomentar. Seperti beberapa waktu lalu (ini tak ada hubungannya dengan kejadian di komunitas yang saya sebutkan di awal), pernah saya tak sengaja mengunjungi tautan dari fb teman sekolah, tentang berapa belas tipe perempuan di sosmed. Isinya, nyinyir semua: ibu sok sehat karena sering posting foto sarapan buah lah, ibu sok pejuang asi yang tiap hari posting tentang asi asip dan mpasi lah, ibu sok bahagia karena posting update foto anak lah, ibu pekerja yang sok galau memilih resign atau jaga anak di rumah lah, ibu pemilik toko online yang sok berhasil padahal pendapatannya nggak sebanding dengan gajinya waktu belum resign lah, ibu tanpa anak yang sok komentar padahal belum punya anak lah, dll.
Dengan dalih itu tulisan sarkasme khusus untuk orang "cerdas", si penulis berhasil membuat pembacanya tersinggung ataupun tertawa (ada juga sih yang mengaku mengintrospeksi diri, alhamdulillah). Sayangnya, sepertinya penulis lupa menambahkan satu poin tentang topik yang disinggungnya, yaitu tipe ibu-ibu yang suka nyinyir seperti penulis artikel tersebut. Kalau saja si penulis bersarkasme secara adil termasuk melihat diri sendiri, mungkin ini tak terlalu berkesan. Tapi begitulah. Ibarat pepatah lam,gajah di pelupuk mata seringkali tak nampak, kuman di seberang lautan nampak. Naudzubillah...
Di sini saya sadar, berkaca dari diri sendiri yang sensitif, gaya nyinyir terasa tidak cocok untuk saya, tapi di sisi lain, saya akui, baca tulisan orang bernada nyinyir itu seru! *inkonsisten* :p
Terserah orang lain, yanet, tapi coba ingat ini.. |
Ngeblog sambil nyinyir adalah gaya pribadi. Itu terserah pribadi masing-masing dan saya tidak mengurusi itu. Toh gaya nyinyir banyak yang suka baca kok (termasuk saya, ssttt). Apalagi kalau yang ditulis bertopik sensitif dan rentan konflik.
Yang sering kita lupa, ketika berani menuliskan apapun di blog, siap tidak siap, itu akan dibaca orang lain (kecuali jika pembaca dibatasi). Jadi, siap tidak siap, harus berani juga menerima konsekuensi dari perbuatan. Jangan sampai, setelah nyinyir, kita merasa di-bully ketika ada yang berseberangan pendapat dan menyampaikan dengan gaya bahasa serupa: nyinyir. Beda kasus kalau kita sudah berusaha menyampaikan dengan baik-baik tapi dikomentari nyinyir.. :(
Anda bebas melakukan apapun tapi takkan pernah bebas dari konsekuensinya.. ~Anonim
Inilah pelajaran yang bisa saya ambil dari kejadian ini. Semoga dapat menjadi pelajaran buat kita semua agar bangga dengan hidup kita tanpa merendahkan perbedaan pilihan hidup orang lain. Maaf jika ada yang kurang berkenan. Salaam! ^^