Kalau saya dulu pernah satu kali ke Monas yaitu tahun 2003, tapi untuk Masjid Istiqlal belum pernah sama sekali. Mama' dan Bapak juga belum pernah ke Istiqlal, hanya Kanda yang pernah. Jadi kami putuskan jalan-jalan ke Istiqlal plus Monas di H-1 sebelum Mama' dan Bapak balik ke Pontianak.
Kami memilih Istiqlal dan Monas karena kami pikir relatif dekat dan bebas macet (karena naik kereta). Maklum, di akhir pekan kan kalau ke Puncak ramai. Pengennya sih ke Cibodas sekalian, tapi ya itu, kalau macet malah kasian Mama' dan Bapak yang mau berangkat besoknya.
Untuk mencapai Istiqlal, kami naik kereta jurusan Bogor-Jakarta Kota, turun di Stasiun Juanda. Kali ini kami naik bersama-sama di gerbong umum supaya enak turunnya. Alhamdulillah dapat tempat duduk, walaupun di tengah jalan jadi tidak bisa melihat pemandangan dari jendela seberang.
Dari Stasiun Juanda sudah terlihat kubah besar Masjid Istiqlal. Kami langsung berjalan kaki menuju Masjid Istiqlal, masuk melalui pintu Al Fattah yang khusus tamu. Di dekat pintu kami disambut para pedagang asongan yang menjajakan dagangannya. Saya bahkan diikuti oleh seorang anak kecil yang menjual kantong plastik. Gaya menjualnya sambil memohon-mohon. Untungnya di depan pintu masuk yang ada detektor keamanannya, anak itu dihentikan oleh petugas masjid.
Untuk masuk, alas kaki kita dilepas dulu yah, lalu masuk melewati detektor, jalan terus sambil menenteng alas kaki sampai ke tempat penitipan barang. Penitipan barang GRATIS, tapi sebagai bocoran saja ya, waktu ngambil alas kaki petugasnya minta sumbangan tuh. Saya jadi mikir, apa itu maksud si anak kecil yang jualan tadi, beli kantong plastiknya supaya bisa simpan alas kaki tanpa harus bayar petugas di tempat penitipan barang GRATIS? Hehe, lucu ya, sama-sama keluar biaya, padahal mau sholat doang. Tapi tenang, petugasnya hanya memberi "sinyal" minta sumbangan kok, nggak minta langsung. Mungkin malu juga kali ya, kan di situ spanduknya jelas dengan tulisan besar: GRATIS. Jadi tak perlu merasa bersalah meski tidak memberi sumbangan. Malah kalau boleh saya saran, lebih baik sumbangkan saja uang ke kotak amal yang banyak di masjid besar ini. Jangan ke oknum, tapi ya balik lagi ke niat masing-masing, itu cuma saran. ;)
Nah, di dekat tempat menitipkan barang, ada kursi deret. Kami istirahat di situ sambil makan kue dan minum air putih yang dibawa dari rumah. Sampai di sini, kemungkinan kita mendapati pemandangan aneh sangat mungkin lho ya!
Eh, pemandangan aneh apa?
Itu lho, pemandangan ada bule masuk masjid. Sebenarnya biasa saja sih. Saya malah senang kalau ada wisatawan luar negeri yang tertarik berkunjung ke tempat ibadah. Semoga dengan demikian semakin mengenal agama Islam dan tidak Islamophobia.
Yang saya sayangkan, banyak dari wisatawan mancanegara ini menggunakan pakaian yang "mengagetkan". Minim sekali. Celana ketat super pendek sepangkal paha dan baju you can see. Iya, iya, saya tahu itu pakaian mereka. Toh mereka juga bukan orang Islam yang diwajibkan menggunakan pakaian tertutup. Saya paham. Saya juga paham karena mereka mungkin tidak tahu bagaimana tata krama mengunjungi tempat ibadah seperti masjid. Namanya juga orang tidak tahu, kan..
Nah, harusnya kita nya lah yang memberi tahu, karena saya yakin kok, mereka (para wisatawan mancanegara) ini akan menunjukkan sikap menghormati tempat ibadah kalau memang diberi tahu. Kalau enggan diberi tahu, boleh diusir. Kan gitu ya?
Dari sini saya ingin mengungkapkan ketidakpuasan saya dengan kekurangsigapan pengelola masjid. Memang sih, para wisatawan asing tersebut diberi pakaian kimono panjang berlengan panjang setelah masuk ke ruang tamu, tapi untuk mencapai ruang tamu tersebut, sepanjang jalan mereka harus ditatap aneh karena aurat mereka yang kemana-mana. Mungkin mereka biasa saja (mungkin juga tidak, siapa yang tahu?), tapi bagaimana dengan jamaah yang baru berwudhu? Saya yang perempuan saja risih melihatnya, apalagi pria (yang berusaha menjaga wudhu). Kan kasihan. Pun menurut saya sama-sama kasihan kan. Di satu sisi, jamaah jadi tidak enak melihat hal yang dalam agamanya ditutupi, di sisi lain si wisatawan bisa jadi tidak enak hati karena dilihat dengan tatapan aneh.
Oleh karena itu, kalau boleh saran sih, kepada pengelola Masjid Istiqlal yang saya hormati agar memperhatikan sirkulasi pengunjung masjid yang datang. Sekiranya pakaian pengunjung (muslim maupun non muslim) yang tidak menutup aurat, berikanlah pinjaman pakaian di depan dekat pintu masuk (bukan di dalam masjid). Saya rasa ini lebih baik untuk pengunjung maupun jamaah lain yang akan beribadah. Saling menghargai.. :)
Oke. Cukup ngocehnya. Balik lagi ke jalan-jalan lagi. Hehe.
Masuk waktu sholat dzuhur, kami berempat berwudhu. Sholat dzuhur kami lakukan berjamaah disambung sholat ashar di-jama' taqdim setelahnya. Usai sholat, duduk sebentar. Karena masjid ini besar, kami jadi bingung harus lewat pintu mana supaya dekat dengan pintu masuk Monas. Akhirnya nanya dengan salah seorang petugas masjid. Makasih ya, Pak petugas! ^^
Dari pintu AR Rozzaq yang ternyata lurus dari pintu Al Fattah, kami jalan kaki menuju Monas. Eits, tapi tak lupa foto-foto dulu dong. Soalnya lumayan sepi jadi enak berekspresi. Ini beberapa diantaranya..
Selanjutnya, kami keluar dari kompleks Masjid Istiqlal, menuju destinasi kami berikutnya, Monas..
[Bersambung]