10.19.2014

Tanah Untuk Dijual


Bapak saya baru saja pulang dari Sambas.

Ceritanya Bapak mengurus tanah Mama yang terletak di Desa Sabong, Kabupaten Sambas. Tanah tersebut cukup luas. Waktu itu Mama membeli tanah tersebut sama-sama dengan Ngah Yani (alm), sepupu saya. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, Mama dan Angah sangat dekat. Tanah di Sabong milik Mama dan Angah pun dekat, bersebelahan. Keduanya dibuka untuk diusahakan sebagai kebon keluarga. Tanaman yang ditanam berbagai ragam, terutama dari jenis penghasil buah-buahan. Ini dipilih dengan pertimbangan tidak perlu perawatan yang terlalu intensif tapi tetap menghasilkan. Setidaknya hasilnya untuk dikonsumsi oleh keluarga. Bapak dan suami Angah (Cik Iin) lah yang mengurus kebon. Tapi karena keduanya masih bekerja, jadi hanya bisa datang sekali-sekali untuk memantau tanah.

Senang sekali waktu itu. Kami sering ikut Bapak dan Cik Iin untuk berkunjung ke kebon kala menghabiskan liburan di Sambas. Dengan motor atau mobil, kami beramai-ramai ke kebon. Tak lupa dengan bekal makan. Serasa seperti piknik. ^^

Ada sungai kecil di bagian belakang tanah Mama, ada juga kolam kecil di tanah Angah. Tidak dalam tapi airnya bening. Tanah yang cukup luas membuat kami bisa jalan-jalan di kebon. Karena tanaman banyak yang masih semai, agak panas kalau jalan di siang hari. Karena itu biasanya kami santai-santai saja di dangau kecil di dekat jalan masuk.

Karena ingin merasa lebih lega dan agar tidak terburu-buru pulang (alias bisa bermalam di kebon), Angah dan Acik membangun rumah di tanahnya. Lumayan lapang untuk ukuran rumah singgah yang hanya didiami sesekali. Yang pasti ada dapur dan toilet. Kami tidur beramai di lantai dua. Wah seru sekali walaupun harus bergelap ria ketika malam tiba. Sebenarnya agak ngeri sih, bermalam di rumah yang terpencil dan dikelilingi hutan dan kebun. Tapi karena bersama keluarga dan mendengar suara binatang hutan saya tetap senang. Itu benar-benar momen keluarga yang sangat saya rindukan.

Sekarang, semuanya berubah. Tentu saja tidak ada momen yang bisa berulang 2 kali.

Tanah kami sekarang sedang diperebutkan. Oleh istri dan ahli waris dari pemilik tanah yang terdahulu, tanah kami dijual lagi kepada orang lain. Karena merasa sudah membayar lunas dan punya surat kuasa lahan (SKL) dari penjualnya, Mama dan Bapak pun mengurus hak atas tanah tersebut. Alhamdulillah, sekarang sudah diukur agraria. Sertifikat dalam proses, insya Allah.

Sayangnya, tadi baru dengar kabar dari Bapak, tanah kami harus dipecah menjadi dua sertifikat karena ada orang yang membelah kebon kami untuk jalan masuk kebun orang lain. Yang bikin sewot, sebagian tanah kami pun ditanami orang dengan saw*t yang monokultur.

**Heran saya. Sepertinya bangsa sendiri pun pandai menjajah sekarang. Rasanya tidak berlebihan kalau saya bilang orang-orang seperti itu tak tahu diri dan tak tahu malu.

Tentu, sebagai muslim saya yakin, menyumbangkan tanah untuk kepentingan umum adalah sesuatu yang pantas dilakukan. Amal jariyah yang pahalanya mengalir bahkan hingga nyawa telah terpisah dari raga. Saya yakin orang tua saya sudah merelakan tanah yang jadi jalan tersebut. Tapi buat saya cara seperti itu tetap tidak masuk di akal. Penjajahan halus yang tak beda dengan korupsi karena mengambil hak orang lain.

Begitu pula dengan tanah yang diserobot untuk tanaman monokultur dan tanah yang dijual-ulang ke orang lain. Memaafkan adalah yang dianjurkan kepada setiap muslim, tapi tidakkah yang mengambil hak orang lain itu sadar bahwa mereka bisa saja tidak mendapatkan maaf dari orang lain. Bukannya orang yang dizalimi bisa saja khilaf tidak memaafkannya sampai hembusan nafasnya yang terakhir?

Sekarang, Mama dan Bapak sudah sepakat untuk menjual tanah tersebut. Saya dengar dari Bapak, Kampong Sabong sekarang sudah jadi perkebunan monokultur yang luas, hampir semua "lahan tidur" ditanami, bahkan hingga halaman rumah warga. Hanya tanah Mama dan Angah yang tidak ditanami tanaman tersebut. Yah, setidaknya tidak oleh kami walaupun pada kenyataannya ada yang menyerobot tanah untuk menanam tanaman monokultur tersebut.

Sedih? Bukan lagi. Tidak hanya karena rasa kehilangan tempat kenangan tapi juga untuk biodiversitas yang sudah jauh berkurang. Logikanya, keragaman flora dan fauna di hutan yang heterogen tentu lebih tinggi dibandingkan dengan kebun monokultur. Saya juga panas karena ada rasa marah pada perlakuan jahat yang dialami Mama dan Bapak, dan saya secara pribadi juga ikut merasa bersalah karena tidak mampu menguatkan kedua orang tua untuk bertahan atas tekanan perkebunan monokultur. Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin itulah yang terbaik.

Saya tidak tahu kabar tanah Angah (alm) dan Acik, apakah akan dijual juga.

Memang begitulah permasalahan lahan yang jamak di Pulau kelahiran saya itu. Mirisnya, Saya hanya bisa menyampaikan uneg-uneg di dalam blog. Tak kuasa melawan.

Satu keyakinan saya, Allah tidak tidur. Kezaliman tidak pernah berbuah kebaikan karena siapa yang menuai angin dialah yang akan segera memanen badai.