3.23.2020

Sepekan Belakangan

Senin, 23 Maret 2020

Sejak Senin pekan lalu, 16 Maret 2020, saya dan suami memutuskan untuk melakukan pembatasan keluar rumah. Self-quarantine. Sebenarnya Senin pekan lalu belum ada arahan resmi dari kantor untuk melakukan perkuliahan daring dan saya masih ada jadwal mengajar, tapi dengan niat mengurangi potensi ditulari dan menulari, sejak Ahad, saya berinisiatif untuk memulai kuliah daring alias online. Para mahasiswa dimasukkan ke dalam kelas virtual agar bisa belajar dari rumah. Saya bersyukur karena Senin siang akhirnya ada keputusan untuk perkuliahan online. Ada secuil kelegaan mengingat kondisi pekan lalu dikabarkan sudah ada yang positif COVID-19 di provinsi kami.

Secuil lebih baik daripada tidak ada sama sekali...


Selama sepekan ini, hati terasa berat. Apalagi saya sebenarnya sudah lama ingin pulkam, tapi tidak jadi-jadi terus karena terkendala aktivitas kantor yang padat. Saat mahasiswa libur semester ganjil ke genap lalu, kami belum bisa libur karena harus menyiapkan ini itu. Tau-tau sudah jadwalnya masuk mengajar. :'

Saya rindu sekali dengan kedua orang tua saya.

Mirisnya, sudah sepekan ini "libur", saya tidak bisa pulang untuk menemui keduanya. Bukan hati tidak mau atau dompet tidak mampu. Saya bisa saja pulang, suami mengizinkan, ada uang, insyaAllah badan pun sehat, tapi terlalu banyak risiko di perjalanan. Saya ingin semuanya tetap aman dari wabah. Maka saya dan suami meneruskan usaha karantina ini.

Karantina diri. Terdengar mudah, tapi praktiknya jauh dari itu. Terutama karena di lingkungan sekitar yang masih belum sadar akan pentingnya karantina diri maupun pembatasan sosial (social distancing). Saat melakukannya, kami merasa terasing, merasa bingung dan bertanya-tanya, "Sudah benarkah apa yang kami lakukan ini?", "Apakah kami hanya 'panik'?", "Apakah tidak sebaiknya kami pulang saja?"..

Salah satu penguat untuk bertahan menjalani karantina ini adalah hadits Rasulullah SAW berikut:

“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.”
(HR. Bukhari, no. 3473 dan Muslim, no. 2218)


Kami harus berusaha sebaik mungkin, melakukan sebisa mungkin apa yang bisa kami lakukan. Toh hanya diam di rumah, bukan disuruh pergi berperang.

Karantina ini adalah sebagai bentuk syukur atas kesehatan yang diberikan Allah, juga sebagai bentuk dukungan 'tak nyata' kami untuk para tenaga medis yang berjuang di lini depan dalam menghadapi wabah covid-19. Apalagi mengingat saudara-saudari tenaga medis yang terkendala masalah ketersediaan alat pelindung diri (APD). Membaca berita tentang ini membuat saya menangis...

Semoga wabah ini segera berlalu dan semuanya sehat walafiat sampai cobaan wabah ini berakhir, aamiin...