3.11.2019

Standar Kebahagiaan

Sebenarnya seperti apa sih bahagia itu? Dan kenapa kita bisa merasa kurang atau tidak bahagia?

Haha, tiba-tiba ngomongin yang begini ya.. 🤭 anggap saja ini untuk menyalurkan energi negatif setelah beberapa hari lalu ada yang bilang kalau kebahagiaan keluarga saya kurang lengkap karena ini dan itu.. 😄 mau bilang orangnya sotoy lu, kok kayak kurang sopan. Tapi tidak diungkapkan, tidak baik buat kesehatan mental, hhihi. Jadi ya saya tulis saja di sini. Lagipula, menulis di blog bagi saya adalah salah satu terapi yang baik sekaligus buat ngisi blog yang sudah lama lumutan 🤭 untung-untung kalau ada yang baca. Eh tapi belakangan ini saya malah ngarapin yang baca blog ini sedikit. Mungkin aneh, tapi jujur tekanannya terlalu besar. Mungkin karena motivasinya memang beda dengan teman-teman blogger kebanyakan sih. Kangen ngeblog kayak dulu sebelum gabung di komunitas-komunitas blog. Bebas. Bukan berarti tidak suka atau menyesal karena ikut komunitas, malah senang sekali berkesempatan berkenalan dan berkomunikasi dengan para blogger berprestasi dan keren-keren. Cuma untuk niche blog pribadi yang isinya remeh temeh kayak blog saya ini, entah kenapa jadi terasa timpang. Jadi gitu deh..

Hmm, cukup untuk intro. Kali ini saya mau berbagi sedikit tentang perenungan belakangan ini. Tentang tuntutan orang, tentang kebahagiaan, dan tentang kehidupan. 


Seperti yang saya bilang tadi, beberapa hari lalu ada yang bilang kalau kebahagiaan saya kurang lengkap. Ketebak karena apa kan? Yep, katanya karena kami belum berhasil promil. Kurang sedekah dan ibadah, katanya... Tanpa anak, hidup kami tidak bahagia, katanya.. 

Luar biasa, luar biasa 👏🏻👏🏻👏🏻😄 komen orang memang luar biasa. Kalau dulu mungkin saya bakalan nangis dengan komen-komen serupa ini, tapi entah kenapa belakangan ini lebih tenang dan santai nanggapinnya, alhamdulillah. Cuma yaa kalau masalah gemez, masih ada lah dikit. Daku hanyalah manusia biasa, sering alpa dan penuh dosa.. 

Tapi saya pengen berargumen dikit. Kalaulah memang urusan anak itu urusan ibadah dan dosa, harusnya pezina tak dikasih hamil sama Allah, tapi kan ndak gitu. Kalau percaya Tuhan pasti ingat firmanNya. Allah itu Maha Kuasa, kalau Dia mau ngasih, ya adaa saja caranya. Tidak mungkin waktunya meleset, tidak mungkin salah. Sesimpel itu. Herannya, banyak manusia merasa lebih-lebih lagi berkuasa dari Tuhan. Saya tidak anti promil baik medis maupun tradisional, (halo, saya promil lho), tapi paling gemez kalau ada yang komen yang kelewat batas. Misalnya, pernah ada yang sok ngajarin caranya bikin anak secara gamblang dan vulgar. Ampun dah.. Kepedulian 150/100, etikanya nol besar. 

Lalu saya mikir, apakah saat ini saya tidak bahagia? Kebahagiaan versi siapa?

Kalau dipikirkan lagi, alhamdulillah wa syukurillah, saat ini saya bahagia sekali dan ingin terus bahagia apapun kondisinya. Punya anak pasti menyenangkan, tapi kalau belum waktunya, ya terima saja. Usaha dan doa harus jalan terus. Perkara dikabulkan kapan, hanya Allah yang atur. 

Lalu tentang tuntutan orang lain, hmm.. Sederhananya sih, seseorang itu berbuat dan berucap dilandasi oleh pikiran dan pengalamannya sendiri. Jadi ketika ada orang yang bilang si fulan tidak bahagia atau kurang lengkap hidupnya karena belum memiliki ini dan itu, balik lagi.. mungkin itu standar kebahagiaannya pribadi, yang dia paksakan kepada di fulan yang dibicarakannya itu. Awal dengarnya mungkin gerah, tapi kalau saya sekarang sih, udah, minta doanya saja. Anggap orang tersebut peduli. Kalau keseringan dan jadi kayak berniat nyakitin hati, kalau saya, kadang saya sahut. Masalahnya, wajah saya tuh judes, diam saja orang bisa sakit hati, apalagi kalau ngomong 😆. Supaya lebih aman, ujungnya ya berdoa. Doa adalah senjata. Masalahnya satu aja sih, doanya cuma 2 kemungkinan: saya minta dikuatkan atau minta orang yang bersangkutan diberikan "pemahaman". Pengalaman adalah guru paling berharga.. ahai..

Yang pasti gini, supaya lebih bahagia, kita sendiri lah yang harus menentukan standar kebahagiaan versi kita sendiri. Terima diri sendiri, cintai diri sendiri. Tidak perlu terpengaruh dengan standar kebahagiaan orang lain. InsyaAllah rasanya lebih plong.

Gitu deh perenungan hari ini.. semoga bermanfaat bagi yang baca.. 💝💝 daah 👋🏻