3.25.2019

Bintang

Pasti bukan kebetulan. Pagi ini di kelas online, saya dkk dapat materi berjudul "Semua Anak Adalah Bintang". Intinya, semua anak yang terlahir ke dunia (termasuk saya dan kamu yang membaca ini) pasti memiliki bekal khusus yang diberikan Allah. Kita menyebutnya bakat. Masalahnya, tidak semua orang "beruntung" dapat mengasah bakalnya dengan maksimal sampai menjadi maestro di bidangnya masing-masing.

(Maaf, bukan foto bintang 🤭)


Berhubung saya baru dapat materinya dan ini juga bukan ranah keahlian saya, jadi saya nulis sepemahaman saya saja ya. Hehe.

Jadi intinya, kita tuh seringkali tanpa sadar membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ya kan?? Nah, ternyata, sikap ini diajarkan tanpa sadar oleh generasi sebelum kita, dan sebelumnya, dan sebelumnya lagi; atau oleh lingkungan sekitar kita, dan lebih luas, dan lebih luas lagi. Bukan untuk menyalahkan ya, tapi untuk sama-sama membuka mata supaya lingkaran setan ini bisa putus. Karena disadari atau tidak kita juga pasti pernah membanding-bandingkan orang lain..

Ambil contoh paling mudahnya, dulu waktu sekolah pasti nilai raport kita pernah dibanding-bandingkan dengan tetangga, sepupu, bahkan orang yang baru dikenal. Atau buat yang punya saudara, pasti pernah dibanding-bandingkan dengan saudara sendiri. Ya kan ya kan.. Haha, saya sering dibeginiin soalnya. Lama kelamaan, tanpa sadar dan tidak disengaja, kita juga jadi sering membandingkan diri dengan orang lain secara otomatis.

Saking seringnya, dulu (dan sekarang kadang-kadang, kalau lupa) saya sering kehilangan rasa percaya kepada diri sendiri. Rasanya apapun selalu salah, kurang, dan tak sempurna. Standar untuk diri sendiri terlalu tinggi, atau mungkin lebih tepatnya: menggunakan standar orang lain untuk diri sendiri. Mustahil untuk dipenuhi. Akibatnya, yaah, jadi kehilangan kepercayaan diri karena merasa tidak cukup mampu melakukan sesuatu. Padahal bisa jadi sesuatu itu memang bukan bakatnya. Ibarat ikan disuruh manjat pohon, katak disuruh terbang, elang disuruh nyelam. Kan mustahil tuh..

Misal saya, dari dulu kecil sebenarnya senang sekali menulis dengan tangan dan corat-coret. Tapi karena terbiasa membandingkan diri dengan orang lain, rasanya bakat yang terkesan cetek seperti ini tidak pernah membanggakan. Yah, jaman dulu mana lah ada kedengaran profesi seniman kaligrafi. Pekerjaan paling umum kan ya dokter, guru, insinyur, pilot, astronot, tentara, pns 😅. Seniman? Wah bisa dianggap bodoh dan kurang kerjaan tuh. Predikat pintar sepertinya hanya disematkan untuk orang-orang yang jago eksakta. Padahal yang namanya seniman ya unggul dan pintar di seni. Sementara itu banyak kok ilmuan yang bisa dibilang bodoh dalam masalah estetika. Ya maklum saja namanya ilmuan ya unggul di ilmu eksakta, bukan di seni. Jadi intinya, tidak ada manusia yang sempurna. Masing-masing dikasih kelebihan dan kekurangan, tidak pas kalau dibanding-bandingkan. Tidak apple to apple, kalo kata orang pirang.

Perbandingan baru pas kalau merujuk berdasarkan perbedaan waktu. Misal, aku di masa lalu dengan aku di masa sekarang. Itu baru sepadan dan lebih masuk akal. Ini yang terus saya pelajari sampai sekarang..

Dulu waktu awal nikah, suami pernah berkali-kali mengingatkan saya supaya tidak terlalu gampang mendengarkan perkataan dan pendapat orang. Kita yang menjalani, kita yang tahu mana yang terbaik. Ya. Teorinya mudah, prakteknya beraaat. Waktu hamil anak pertama, saya masih kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain (plus dibanding-bandingkan oleh oknum tertentu). Banyak pikiran, anak saya IUFD, saya depresi. Pelajaran banget lah pokoknya, tapi hidup harus terus lanjut. Waktu tinggal di Putussibau (masa-masa kebangkitan nih, hehe), saya belajar banyak dari beberapa saluran youtube yang membahas self-growth dan positive mindset, terutamanya dari Aileen "lavendaire" Xu. MasyaAllah lah pokoknya, dapat pencerahan. Walaupun bukan kanal muslimah dan harus disaring (ini berlaku untuk semua sih ya, hehe), lavendaire adalah salah satu kanal youtube favorit saya sampai saat ini. Nah, sekarang, saya berkesempatan belajar di kelas online Bunda Sayang dari Institut Ibu Profesional setelah sebelumnya digembleng di kelas matrikulasi IIP. MasyaAllah, masa lalu membentuk saya saat ini. Begitulah pelajaran dalam hidup, panjang dan terkadang melelahkan, tapi tak ternilai harganya. Yang terpenting adalah kemauan untuk terus berproses memperbaiki diri dari aku yang dulu ke aku yang sekarang. Ini baru apple to apple.

Menurut saya, semua pengalaman hidup adalah bintang. Ada yang terang, lekat di ingatan. Ada yang redup, baru nampak saat diperhatikan. Tiap orang punya ceritanya masing-masing, punya bintangnya masing-masing. Tidak ada kebetulan, tidak ada yang sia-sia, insyaAllah. Connect the stars and make our very own constellation!