8.30.2015

Beberapa Hal yang Sebaiknya Tidak Diucapkan Kepada Wanita yang Keguguran dan IUFD

Pagi hari sebelum saya mengetahui bahwa anak saya meninggal dalam kandungan (IUFD), semuanya berjalan dengan normal. Walaupun saya tidak dapat banyak mengerjakan pekerjaan rumah karena mengalami beberapa keluhan ala wanita hamil tua, mood saya sangat baik pagi itu, terutama setelah kedatangan suami dari luar pulau sehari sebelumnya. Saya tambah bahagia karena di pagi itu saya flek, tepat di hari perkiraan lahirnya. Darah yang keluar membuat saya berasumsi bahwa kami akan segera bertemu dengan si kecil yang telah kami beri nama, Hanif Edelweissar.




Sekarang sudah 2 tahun lebih 1 hari setelah hari itu, hari ketika kami sekeluarga dikejutkan oleh kenyataan pahit bahwa bayi saya yang cukup umur untuk lahir itu ternyata sudah tidak berdetak jantungnya. Bayi yang sudah kami nantikan selama 2 tahun 1 bulan pernikahan ternyata harus kembali kepada penciptanya, tanpa bisa kami melihatnya lebih dulu.

Dokter menyuruh saya pulang dulu untuk menenangkan diri jika ingin persalinan normal (karena kondisi fisik saya masih memungkinkan), walaupun opsi operasi tetap terbuka jika saya dan suami menginginkan.

Sikap dokter saya tersebut sangat berkesan bagi saya. Ucapannya penuh simpati tanpa menghakimi kesalahan saya yang fatal: kelelahan dan salah mengira kram perut sebagai tendangan bayi. Itu sungguh kesalahan bodoh, tapi ibu mana yang sengaja melakukan kesalahan itu. Dan bu dokter tahu itu.

Sampai sekarang, rasa bersalah masih terus mengganggu mata menahan airnya atau hati menahan sedihnya. Ketika bayi saya pergi rasanya setengah diri saya pun ikut pergi. Ada yang hampa. Rindu. Kalaulah tidak ingat Tuhan dan tidak didukung oleh orang-orang kesayangan, mungkin saya sudah gila karena terus menerus menyalahkan diri sendiri. Mungkin saya tak pernah bangkit dari rasa keterpurukan.

Sekarang, rasa bersalah tetap ada, mungkin tak pernah pergi. Peristiwa ini sedikit banyak membuat saya berubah, tapi saya bersyukur dapat menjalani hari dengan lebih sadar. Pengalaman lama hamil, IUFD, dan kembali pada fase penantian, membuat saya belajar agar lebih menjaga lisan. Berikut ini beberapa hal yang sebaiknya tidak diucapkan kepada wanita yang mengalami IUFD ataupun keguguran, menurut saya. 


1. Bagaimana perasaanmu?

Di malam hari pasca persalinan, seseorang bertanya kepada saya mengenai perasaan saya. Apakah saya harus menjawabnya?

Terus terang, sejak proses persalinan selesai, saya dan Kanda bersepakat tidak membicarakan hal tersebut untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kami sama-sama siap untuk membicarakannya. Yang pasti tidak saat itu. Saya tidak tahu apa yang mungkin terjadi kalau Kanda tidak mengusulkan itu. Mengingat fisik yang sedang lemah serta perasaan yang sedang rapuh, mungkin saya berteriak-teriak histeris dan pingsan.

Ketika bangun dari tidur usai melalui malam yang panjang, saya kedatangan para karib kerabat yang menjenguk, bergantian sepanjang hari. Saya masih berharap kejadian itu sebagai mimpi. Sepanjang hari saya tersenyum dan tertawa. Kanda dan keluarga kami juga. Senyum kami tentu bukan karena tidak sedih. Tak perlu ditanya, yang paling sedih akan kematian bayi tentu adalah orang tua, terlebih saya ibu yang mengandung.

Jadi ketika ada yang menanyakan bagaimana perasaan seorang wanita yang baru kehilangan anaknya, itu benar-benar terasa keterlaluan. Alangkah lebih baik jika ingin berbasa-basi, cari topik lain saja. Jika tidak ada, lebih baik diam.


2. Kok bisa?

Mulai dari kejadian tersebut baru terjadi sampai 2 tahun sudah lewat, banyak sekali karib kerabat yang bertanya tentang kejadiannya. Bagaimana mungkin, kandunganmu kan sudah besar, kok bisa?

Saya tahu orang-orang yang mendengar berita tersebut terkejut, sebagaimana juga saya sendiri. Mungkin mereka ingin mengekspresikan belasungkawa dan tidak menyangka akan kabar duka. Namun sejauh yang saya perhatikan, hanya orang-orang yang kurang memperhatikan saya saat hamil yang berkata demikian. Kok bisa? Kok bisa? membuat saya berpikir, "kok bisa saya mengalami ini, harusnya tidak. Betapa bodohnya saya", lalu menangis dalam hati.

Pertanyaan itu benar-benar mengganggu. Daripada kok bisa, ada banyak cara mengekspresikan belasungkawa. Pelukan hangat tanpa kata bahkan lebih kuat dari apapun.


3. Ceritakan padaku bagaimana ini bisa terjadi..

Ini 11-12 dengan poin sebelumnya. Sebab musabab meninggalnya seseorang, termasuk bayi dalam kandungan, memang selalu menarik rasa penasaran. Tapi tolong jangan terlalu kepo tentang itu. Apalagi menanyakannya detilnya langsung pada sang ibu. Ingat bahwa kita bukanlah satu-satunya manusia kepo di dunia.

Pengalaman saya dulu, hampir semua yang datang menanyakan hal yang sama kepada saya, tentang kenapa dan bagaimana kejadiannya. Kalau hanya satu atau dua orang dekat yang datang awal, mungkin tidak terlalu masalah. Saya juga tidak keberatan kalau yang bertanya adalah sahabat dokter saya dengan asumsi bahwa pengalaman saya mungkin bisa menyelamatkan kehamilan lain yang mereka tangani.

Tapi kalau semua orang bertanya mengenai hal yang sama sepanjang hari sepanjang bulan sepanjang tahun, itu terus berulang-ulang, rasanya sangat mengganggu. Bertanya tentang detil kejadian membuat wanita yang baru kehilangan anak terpaksa membuka lembaran kelamnya berkali-kali, seperti mengorek luka. Melelahkan dan menguras perasaan.

Saya beruntung mendapatkan media pengalihan yang efektif untuk menyalurkan cerita saya agar orang yang kepo berhenti bertanya tentang ini: blog. Kepulangan anandan ke haribaan Ilahi merupakan momen yang mendorong saya untuk terus menulis di blog. Saya ingin merekam kenangan anak saya dan mengingat kebaikan orang-orang yang mendukung saya selama ini. Selain itu saya ingin orang-orang membaca tanpa perlu bertanya terlalu banyak di dunia nyata. Saya lelah menjawab, saya ingin bercerita 1 kali dan didengarkan. Itu saja.

Jadi, daripada bertanya langsung tentang detil kejadian dan sebab musabab kejadian iufd ataupun keguguran, alangkah baiknya jika rasa penasaran itu disimpan dulu. Pikirkan apakah bertanya ini-itu lantas membantu menghidupkan bayi yang sudah meninggal. Jika tidak, lebih baik diam. Tapi kalau benar-benar tak mampu menahan kepo, tanyakanlah pada orang dekatnya di ruangan terpisah. Cerita yang didapat itu pasti tidak seakurat dan sedetil cerita langsung dari sang ibu, tapi setidaknya kamu tidak menyakiti perasaan wanita tersebut.

Kalau beruntung, mungkin ia akan membagikan ceritanya kepada dunia lewat blog. Seperti saya. Dengan begini, rasa penasaran akan terbayarkan tanpa bertanya. Tinggal kepo-in blognya saja. Kalau tidak, lebih baik diam. Tidak ada yang lebih penasaran mengenai kematian sang bayi melainkan sang ibu.


4. Harusnya kamu tidak ...

Buat saya, tidak ada yang lebih mengganggu daripada orang sok tahu yang ngeyel. Oke, mungkin ada: orang yang tidak tahu diri. Eh tapi orang yang sok tahu kan juga termasuk orang tak tahu diri: sudah tahu tidak tahu tapi sok tahu, malah ngeyel seperti paling tahu. Sebal kan?

Bahkan dokter saya yang notabene lebih tahu tentang seluk beluk kehamilan bla-bla-bla tidak serta-merta menunjuk dan menghakimi saya karena melakukan kesalahan. Jadi begitu ada yang mengatakan "harusnya kamu tidak kelelahan, harusnya kamu menjaga kesehatan, harusnya kamu bisa merasakan kalau ada apa-apa dengan bayimu, harusnya kamu memeriksakan kehamilanmu, harusnya begini-harusnya begitu", sementara perintah itu sama sekali tidak bisa membangunkan anak saya dari tidurnya yang panjang, saya merasa sangat tersakiti.

Lucunya, orang-orang seperti ini biasanya baru muncul di saat semuanya sudah terlambat. Atau tidak punya andil sama sekali sewaktu kehamilan saya. Mungkin itu juga sebabnya kenapa orang seperti ini bisa dengan mudah menghakimi orang lain, karena orang seperti ini tidak tahu apa-apa. Apa penyebab saya kelelahan, berapa kali saya periksa ke dokter, dan apa hasilnya, belum tentu tahu.

Alih-alih bertingkah paling tahu tapi sama sekali tidak membantu, lebih baik diam. Empati lah bahwa kejadian serupa bisa kita alami, setahu apapun kita tentang hal itu. Bukankah jika Allah berkehendak "jadilah" maka jadilah?


5. Kamu masih beruntung, ada banyak orang yang bahkan belum pernah hamil..

Perlu diketahui, menangis ketika ditinggalkan orang kesayangan tidak hanya berarti kesedihan yang mendalam, tapi bisa juga bercampur dengan bahagia karena pernah merasakan kebersamaan, rasa kehilangan, juga kerinduan yang mendalam karena tidak pernah bisa bertemu lagi. Untuk kasus seperti keguguran apalagi IUFD, rasa rindu seringkali lebih membuat frustasi: merindukan seseorang yang selalu bersama tapi tidak pernah berjumpa, merindukan seseorang yang tidak pernah dilihat padahal sangat dekat, merindukan seseorang yang tak pernah dikenal orang lain kecuali sang ibu sendiri. Itu sungguh perasaan yang menyakitkan.

Dan ketika ada yang membandingkan hal yang tidak dapat dibandingkan itu, rasanya menyakitkan. Seolah-olah wanita yang baru kehilangan anak lupa bersyukur atas keadaannya yang pernah hamil. Itu bisa jadi benar, tapi tidak selalu seperti itu. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, tangisan punya banyak arti dan alasan.

Daripada membanding-bandingkan, akan lebih baik jika mendoakan hal penting ini, "semoga kamu tidak pernah kehilangan prasangka baik atas ketetapan Tuhan".

Ingatlah bahwa komparasi (membanding-bandingkan) akan selalu melukai salah satu pihak yang dibandingkan. Lagipula siapa yang tahu berapa lama ia menanti dulu dan berapa lama ia akan menanti setelah kejadian tersebut? Jika nanti setelah keguguran/IUFD ia lama menanti momongan berikutnya, bukankah itu malah membuat lebih sedih?

Setiap orang punya ujiannya sendiri-sendiri, jadi jangan mudah membandingkan orang lain. Hidup ini bukan kompetisi.


6. Lebih baik sekarang..

Serupa dengan poin sebelumnya, orang-orang berusaha membuat agar lebih suportif bahwa wanita yang kehilangan anaknya yang sudah besar lebih menyakitkan daripada saya yang tidak pernah menjaga bayi saya. Padahal bukan itu intinya. Walaupun anak saya meninggal sebelum dilahirkan, tetap saja kepulangannya ke hadirat Ilahi meninggalkan jejak besar di hati saya. Apalagi usianya sudah cukup bulan. Weissar kecil meninggal dalam kandungan sehingga beberapa orang menganggap saya terlalu berlebihan jika merasa sedih.

Nyatanya, sejak saya tahu saya hamil, sama seperti calon ibu lainnya, saya punya banyak keinginan atas anak saya. Banyak rencana untuk anak saya. Masalahnya, anak saya meninggal duluan.

Daripada berkomentar siapa yang lebih sengsara dari siapa, lebih baik katakan bahwa seorang ibu tetaplah seorang ibu. Pasti takkan pernah lupa dengan bayinya meskipun tak pernah berjumpa. Saya jadi ingat pesan seorang kawan dekat saya, bersedihlah, menangislah, tapi tetap kuat ya, net.


7. Ini bukan rejekimu..

Saya tidak mengerti apa yang dimaksud rejeki bagi orang-orang seperti ini. Mungkin saya memang tidak sampai merawat bayi saya, tapi kehadiran anak yang meninggal itu bukan berarti sia-sia dan tak jadi rejeki kami sebagai orang tuanya.

Ketika mendengar orang berkata bayi kami bukan rejeki kami, saya ingin marah kepada yang berbicara, tapi tak kuasa. Saya terlalu lelah untuk melakukannya. Capek hati. Jadi daripada berbicara seperti itu, alangkah lebih baik cukup berkata, saya ikut berduka.


8. Surga itu ganjaran bagi orang tua yang kehilangan setidaknya 3 anak, atau 2 anak. Bukan 1 anak..

Mungkin teman-teman pembaca tidak percaya kalau ada yang berkata seperti ini kepada saya, tapi nyatanya ADA. Dan notabene keluar dari lisan seorang alim.

Saya memang sering mendengar hadist ini, mengenai janji surga kepada orang tua yang kehilangan tiga atau dua anak, dan inilah yang diungkit oleh orang yang berkomentar waktu itu. Satu anak tidak berarti apa-apa, apalagi yang belum lahir, kira-kira seperti itu, dan ini membuat hati saya hancur. Saya dan suami syok, sekejam itukah Tuhan dan Rasul kami? Tidak. Setelah kami pikirkan lagi, bukan itu maksud hadist tersebut. Orang yang berkata seperti itu mungkin salah tafsir dan berorientasi kuantitas (jumlah). Tuhan menghargai semua usaha hamba-Nya, termasuk usaha bersabar atas apapun cobaan yang dihadapi. Berapapun, 3 atau lebih, 2, 1, ataupun belum ada, semuanya dihargai Allah. Jangan terlalu dangkal. Allah lebih tahu. Alangkah lebih baik tidak berkomentar apapun daripada menghancurkan hati orang lain.

Dulu saya beruntung, ada seorang teman Mama' yang meminjamkan buku kumpulan hadist shahih waktu kami di rundung duka. Selama 2 tahun ini, saya dan Kanda dihibur oleh sebuah hadist Rasul lain yang menjanjikan surga kepada seorang pria yang anaknya meninggal. Hadist sahih atau hasan, tepatnya saya lupa. Yang pasti tidak dhoif. Pernah saya salin di blog ini dengan judul "kisah yang menghibur". Silakan cari dengan kolom search jika ingin tahu hadist mana yang saya maksudkan.

Daripada itu, alangkah lebih baiknya jika mendoakan agar wanita yang ditinggalkan, serta suaminya, menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya.


9. Mungkin karena kamu melakukan bla-bla-bla / tidak melakukan bla-bla-bla...

Bla-bla-bla yang saya maksud adalah menyebutkan hal tertentu seperti amalan agama tertentu seperti doa, sedekah, sholat malam, dan lain-lain. Bisa juga mengenai makanan, minuman, atau obat. Ada juga yang menyinggung hal-hal berbau tahayul.

Sama seperti saran saya sebelumnya, sebaiknya jangan sok tahu. Kita tidak pernah tahu amalan baik apa yang orang lain usahakan.

Tentang yang menghubung-hubungkan kematian pada hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya (tahayul), apalagi di saat duka, membuat saya marah. Itu seperti mengolok-olok kedukaan yang sedang orang lain alami. Menyalahkan wanita yang mengalami keguguran/IUFD dengan hal yang masuk akal saja sudah keterlaluan, apalagi dengan hal yang tidak masuk akal.


10. Tiga bulan ke depan bisa dapat lagi kok..

Optimis sih, tapi kalau sudah lewat 3 bulan malah bikin jadi kepikiran. Komentar ini membuat gigi saya sakit. Mungkin saking mudahnya orang yang berkomentar dapat anak, sampai lupa kalau mendapatkan anak bukan ujian tengah semesteran.


11. Semoga segera diberikan kepercayaan oleh Tuhan..

Anak memang amanah besar tapi entah mengapa saya selalu merasa risau ketika mendengar ucapan ini. Apalagi biasanya ini diucapkan oleh mereka yang sudah mendapat kepercayaan itu.

Setiap rumah tangga halal yang normal pasti merindukan kehadiran anak-anak. Jika kepercayaan Tuhan hanya berorientasi pada jumlah dan keberadaan anak, maka pasti tidak ada penjelasan memuaskan tentang mengapa Tuhan menangguhkan memberikan seorang anak kepada seorang nabi sedangkan orang biasa bisa mudah mendapat anak. Termasuk abg ababil yang pacaran sembarangan yang langsung hamil. Apakah mereka ingin berkata kalau Tuhan tidak percaya kepada nabi-Nya dibanding abg ababil?


12. Kamu sangat kuat. Kalau saya jadi kamu, mungkin saya memilih mati..

Antara pujian dan hinaan. Untungnya, komentar ini hanya pernah saya dapati di sebuah forum online.

Tapi mari berpikir positif. Mungkin yang berkata seperti ini ingin menunjukkan empati yang mendalam. Sayangnya malah jadi berlebihan. Dalam keterpurukan, bisa jadi ada wanita yang pernah berpikiran seperti ini. Jujurnya, saya pernah walaupun hanya sebatas pikiran dan tidak pernah berniat melakukan perbuatan bodoh dan tidak bertanggung jawab itu. Jadi tolong, jangan pernah membuat pikiran konyol tersebut muncul dan terdengar normal bagi orang yang sedang terpuruk. Daripada berkata seperti itu, lebih baik hibur dengan berkata bahwa ujian ini memang berat namun Tuhan Maha Tahu kemampuan hamba-Nya. Tetaplah tegar.


Begitulah beberapa ucapan yang sebaiknya tidak diucapkan kepada wanita yang keguguran dan IUFD, menurut pengalaman saya selama 2 tahun ini. Semoga postingan kali ini bisa mewakili perasaan wanita yang mengalaminya. Setegar apapun seorang manusia pasti punya perasaan, apalagi jika baru mengalami kedukaan. Memang sih, diucapkan atau tidak, yang namanya orang sedang sensitif itu serba salah. Tapi mudah-mudahan ini bisa bermanfaat bagi teman-teman yang ingin mengunjungi kenalan yang mengalami keguguran ataupun IUFD. Terima kasih..