3.28.2022

Pengalaman Vaksin Pertama

Hari ini, setelah 2 tahun lebih pandemi berlangsung, akhirnya saya vaksin juga. Alhamdulillah

Gimana pengalamannya? 

Hmm. Aslinya sih biasa saja: ngambil antrian, nunggu dicek administrasi dan kesehatan, nunggu lagi dipanggil untuk disuntik, di-cus, nunggu lagi untuk dapat surat keterangan sudah vaksin. Simpel. Nyatanya tidak sesimpel itu. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak sesingkat dan sesebentar itu. Walaupun benar urutannya begitu tapi ngantrinya asli lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Disclaimer: Ini pengalaman saya. Tiap orang beda-beda.

Saya datang bersama suami dan anak bayi. Saya mulai ngantri pukul 8.30. Saya ingat waktunya karena ada jam dinding di lokasi pelaksanaan. Saya dapat nomor antrian 77. Okelah. Nunggu nunggu nunggu, pukul 9-an dipanggil di meja registrasi untuk administrasi dan pemeriksaan kesehatan. Administrasi mudah, cuma perlu bawa fotokopi KTP. Dah, itu saja. Periksa kesehatan juga cuma periksa tensi atau tekanan darah dan suhu tubuh, plus ditanya-tanya riwayat kesehatan. Tidak ada masalah, insyaAllah. 
*tapi tadi pas sesi ini saya lupa bilang kalau saya busui, jadi baru dikasih tahu pas di bagian penyuntikan. 

Dah, ngantri bagian pertama selesai. Berkas sudah dikasihkan ke meja admin bagian penyuntikan. Di sini nih yang nyesek banget. Masuk berkas anggap saja sekitar pukul 9.30 an. Anak dan suami saya masih ceria menanti dari ujung kursi yang lebih terbuka sirkulasinya. Kami memang sengaja duduk terpisah, soalnya ramai. Kasian anak bayi belum 2 tahun belum bisa pakai masker. Saya yang pakai masker saja rasanya pengen duduk jauh-jauhan dari orang, tapi kan susah. Jadi untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan, bayi dijaga jarak dengan orang lain..

Mau vaksinasi kok bawa bayi? 
Jawabnya jelas: TERPAKSA. Jangan nanya lebih lanjut, karena saya malas mau cerita lebih panjang lebar dari sekarang. Intinya, maunya tidak dibawa tapi mau tidak mau dibawa. Kalau masih mau nyolot juga, mending berhenti deh baca postingan ini. Saya cuma mau cerita. Key

Oke lanjut.

Sudah sejak duduk nunggu, saya punya firasat kurang nyaman. Apalagi ada uwan-uwan (panggilan untuk nenek-nenek di sini) yang mungkin usianya sudah 70an karena udah bungkuk banget, yang mengeluhkan kenapa beliau lama sekali dipanggil untuk disuntik. Meskipun saya punya firasat tidak nyaman, tapi kan harus tetap berpikir positif. Saya membatin, mungkin perasaan uwannya saja. Jadi saya ajak uwannya ngobrol tipis-tipis. Dari mulai vaksin keberapa, sampai cerita tentang cucunya yang ikut mengantarkannya vaksin. Mungkin pukul 10 lewat 20 menitan, akhirnya beliau dipanggil untuk suntik. Beliau ini nomor urut 64 kalau tidak salah. Saya membatin, sebentar lagi saya, insyaAllah..

Tapi tunggu punya tunggu, saya jadi kesal sendiri. Soalnya perasaan saya kok banyak yang jauh belakangan dari saya bisa duluan. Tapi oke mungkin ini hanya perasaan saya. Jiwa-jiwa plegmatis saya yang menginginkan perdamaian, bekerja dengan keras. Saya mencoba menenangkan diri, mungkin setelah ini saya. Atau, itu kasian si ibunya, berkas yang masuk banyak banget. Atau, mungkin harus diatur per jenis vaksin, makanya lama. Apalagi yang bagian penyuntikan ini cuma 1 petugas saja. Saya berusaha tenang. Yah, saya bukan tipe yang bakalan grasa-grusu minta cepat, minta keistimewaan atau sejenis itu. Saya tipe orang berusaha mengikuti peraturan, karena beberapa hal yang paling saya benci adalah ketidakteraturan dan kegaduhan yang tidak perlu. 

Tapi waktu liat ada kenalan saya, yang saya yakin betul dia datang pukul 10 teng (yep, saya liat di jam dinding) tapi malah kenalan saya itu duluan yang dilayani, serta merta saya marah luar biasa. Maksud saya, itu bukan salah kenalan saya tsb, karena dia hanya mengikuti instruksi saja. Yang bikin saya meradang adalah sistemnya. Antri andalah sistem yang mengatur yang datang duluan yang dilayani duluan. First in first out. Kan gitu. Tapi ini kenapa jadi amburadul? Artinya sistem antrian tadi hanya omong kosong. 

Saya yang paling malas konfrontasi pun akhirnya kontrontrasi. Protes. Dengan elegan dong, ndak pakai teriak-teriak. Cukup ke satu petugas. Tujuannya jelas, saya sampaikan saya ini ngantri dari pukul 8.30 kenapa malah teman saya yang pukul 10 datang yang duluan dilayani. Akhirnya petugas tidak enak hati, tidak lama nama saya juga dipanggil untuk disuntik. 

Asli ini perasaan yang tidak menyenangkan. Seperti yang saya nyatakan sebelumnya, saya tidak ingin diistimewakan, didahulukan. Tidak. Itu bukan tipe saya. Saya tipe ikut peraturan. Jika harus antri, saya antri. Bahkan ketika bawa bayi, saya tidak akan koar-koar bawa bayi. Cukup orang lihat, mau kasih prioritas, maka alhamdulillah sekali. Tapi kalau tidak, ya mau gimana lagi. Tidak bisa maksa orang untuk berbaik hati.

Tadi bayi saya nangis sesengukan. Padahal bayi saya ini terhitung paling jarang nangis. Suami saya baru sakit, dilarang angkat berat tapi terpaksa gendong bayi setahun lebih, untuk menenangkannya. Kalau biasanya saya langsung tenangkan neng bayi, tadi tidak saya lakukan. Saya biarkan bayi kami menangis, dengan tetap dipeluk erat. Sengaja. Biar manajemennya liat, sadar, paham, atau minimal merasa bersalah.

Saya berterima kasih dan sangat bersyukur, vaksinasi ini gratis. Tapi harusnya ada sistem yang lebih baik. Pandemi sudah 2 tahun, nyaris 2 tahun juga vaksinasi ini berlangsung. Harusnya sudah ada sistem yang lebih baik dalam teknis pelaksanaannya. Misalnya petugas di bagian penyuntikan vaksin diperbanyak. Bukan di bagian registrasi atau pembuat suketnya saja yang perlu banyak. FYI, tadi petugas registrasi dan suket vaksin masing-masing sampai 3, tapi yang bagian nyuntik hanya 1 (dibantu 1 orang yang ngurus berkas). Satu petugas yang nyuntik vaksin ini menangani 4 vaksin berbeda: astrazenika, covovax, moderna, dan pfizer. Belum lagi dosis untuk tiap tahap vaksin berbeda. Pasti rempong. Harusnya manajemennya memperhatikan ini. Mana yang prioritas dan vital, harusnya itu yang dibanyakin. Gimana mau cepat selesai kalau yang penting malah hanya 1. Geram saya dibuatnya. 

Sebelum suket vaksin selesai, anak bayi kami tertidur dengan mata basah. Suket selesai saat waktu menunjukkan pukul 11 siang. Yang belum vaksin masih banyak, padahal di jadwal harusnya selesai pukul 11. Saya bersyukur sudah suntik, tapi hati tetap tidak plong. Entah ada berapa "saya" lainnya yang sudah, sedang, atau akan mengalami hal ini jika tidak ada perbaikan. Saya merasa harus melakukan sesuatu, minimal menuliskan ini. 

Mudah-mudahan ada orang penting yang baca yang tergerak untuk memperbaiki. Terutama di tempat kami ini. Semoga rebung tumbuh menjadi bambu..