Seingat saya --dan berdasarkan bukti konkrit yang ditemukan-- ternyata dari dulu kecil saya terobsesi dengan membuat list dan merancang jadwal. Sepertinya membuat list dan merancang jadwal adalah hal penting yang dapat memenuhi kebutuhan jiwa perfeksionis yang tanpa sadar saya miliki. Semua didata detil, diperbaharui terus. Makanya jangan heran saya menulis blog dengan cukup rinci (untungnya blog personal, jadi suka-suka owner, hehe). Sakitnya, kalau tidak sesuai dengan standar ideal, saya jadi cenderung menunda. Ini jeleknya perfeksionis.
Dalam hal membuat perencanaan, saya merasa gagal ketika jadwal berubah alias tak sesuai dengan rencana. Asli nih, semangat untuk memenuhi standar yang sudah ditetapkan sebelumnya pun jadi nyungsep. Dalam pikiran saya, semua harus rapih terencana dan rencana terlaksana sesuai jadwal. Maka ketika ada yang tidak dipenuhi rasanya hampa, kesal, bete, lemes. Makin parah waktu pakai buku agenda yang sudah tercetak strukturnya. Berkali-kali mencoba rutin mengisi buku agenda tipe begini, berkali-kali juga rasanya jadi orang gagal karena hal-hal yang mungkin bagi orang lain sepele: tulisan banyak salah lah, tidak rapi lah, hurufnya tidak seragam lah, kelewatan sehari tidak mengisi halaman lah, beresiko menyebabkan banyak drama internal. Alhasil, sampai sekarang saya tidak pernah sekalipun berhasil mengisi penuh buku agenda model begitu. Apalagi kalau satu halaman terlewat, udah deh itu, bukunya pasti tidak dipakai lagi, kecuali untuk corat-coret. Ini kesalahan fatak karena tidak memanfaatkan buku agenda berarti lupa dengan visi-misi yang ingin dicapai waktu awal mulai membuat rencana.
Meskipun saya selalu gagal memanfaatkan buku agenda, hobi membuat list tidak pernah padam dan alhamdulillah berfungsi baik untuk saya selama ini. Saya punya banyak buku mini yang dipakai untuk membuat to-do list. Sayangnya, tipe daftar sederhana seperti to-do list kurang terstruktur dari segi pembagian waktu. Makanya waktu belajar Bullet Journal rasanya sangat terbantuuu sekali. Senang. Sampai sekarang saya menggunakan sistem bujo karena bisa disesuaikan dengan kebutuhan saya sendiri. Tidak perlu sama persis dengan orang. Kalaupun banyak coretan atau ada hari yang terlewat, saya jadi tidak terlalu terbebani --meskipun yah tetap pengennya tidak seperti itu. :p
Awal-awal nge-bujo, saya sempat merasa tertekan dengan tampilan bujo orang yang rapi dan cantik-cantik. Tapi saya tidak menyerah, terutama karena bentuknya bebas. Karena menulis dengan tangan adalah terapi, saya memanfaatkan bujo kedua sampai ketiga lebih dominan sebagai buku harian dan kumpulan ide harian. Perencanaan hariannya ada, tapi tidak di-break down per jam. Kenapa? Karena waktu itu masih bingung mau mengisi apa di tiap jam yang ada. Hasilnya, tentu banyak waktu terbuang ke kegiatan kurang berfaedah. Astagfirullah'alazim.. Padahal waktu adalah aset berharga. Dari situ saya belajar menetapkan deadline untuk kegiatan sehari-hari.
Menetapkan deadline sangat membantu perfeksionis seperti saya dalam mengelola waktu. Setidaknya saya tahu hari ini ada target yang dikejar. Masalah barunya adalah, lama-lama saya merasa stres ditekan deadline. Serius. Untungnya saya sempat berhenti untuk evaluasi (walaupun dulu tuh lebih ke menyalahkan diri, suka toxic sama diri sendiri). Dari evaluasi-evaluasi ini saya baru sadar bahwa ternyata saya stres karena bingung dengan tujuan hidup. Dari situ, saya belajar menggali misi hidup, menjawab pertanyaan "mengapa Tuhan takdirkan saya lahir di dunia?". Stres? Pastinya.
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya berkali-kali mencoba memetakan potensi yang dimiliki. Yang paling bagus menurut saya adalah dengan metode ikigai atau finding your sweet spot. Ini dengan menjawab pertanyaan: apa saja yang saya suka (what I love), apa saja yang bisa saya lakukan dengan baik (what I'm good at), apa yang dibutuhkan dunia (what the world needs), dan apa saja yang bisa saya lakukan untuk dapat dibayar (what I can be paid for). Proses penting ini cukup memakan waktu serta menguras tenaga. Sempat frustasi juga karena underestimate dengan diri sendiri, tapi tahap ini sangat berarti.
Mengetahui sweet spot atau ikigai memang tidak terlalu membantu saya dalam membuat jadwal yang efektif, tapi saya jadi tahu arah perencanaannya. Untuk lebih fokus, saya mencoba mendata semua aktivitas yang pernah dilakukan sampai tetek bengek. Dari daftar tersebut, saya mengelompokkan aktivitas yang disukai dan mudah dilakukan (kuadran 1), yang mudah dilakukan tapi tidak terlalu disukai (kuadran 2), yang disukai tapi sulit dilakukan (kuadran 3), dan yang tidak disukai dan sulit dilakukan (kuadran 4). Pemetaan aktivitas bisa-suka ini membantu saya untuk fokus ke kelompok aktivitas yang paling berpotensi memenuhi takdir saya lahir di dunia. Bayangkan, mengerjakan sesuatu yang disukai dan bisa dilakukan dengan baik sambil dibayar dan memenuhi kebutuhan dunia, sungguh impian!
Tapi supaya tidak terlalu naif "menyimpan semua telur dalam 1 keranjang", saya tidak mengabaikan kelompok aktivitas lain. Kelompok aktivitas yang disukai tapi sulit dilakukan saya jadikan alternatif kegiatan untuk pengembangan diri, karena bisa saja karena kurang jam terbang jadi merasa tidak bisa. Sementara itu, kelompok aktivitas yang tidak disukai tapi mudah dilakukan tetap dilakukan dengan berusaha menambah nilai supaya lebih semangat, karena siapa tahu suatu saat saking mudah melakukannya jadi suka. Sedangkan untuk kelompok aktivitas yang tidak disukai sekaligus sulit dilakukan, ini hanya akan ditulis sebagai data untuk mengenal diri sendiri.
Berdasarkan hasil pemetaan aktivitas suka-bisa sebelumnya, saya menguji coba kegiatan terkait suka-bisa ke dalam jadwal harian lalu mengidentifikasi kendala yang ada. Di sini proses trial-error bekerja, agak makan waktu dan membingungkan, tapi saya catat terus di bujo. Tahapan ini membantu membentuk rutinitas dasar sehingga saya tahu kapan waktu paling baik untuk fokus. Ini mempermudah alokasi waktu pada perencanaan berikutnya.
Dari data aktivitas harian, semua kegiatan yang perlu dilakukan dan kendala yang sering/pernah dialami dikelompokkan semua berdasarkan kriteria penting-mendesak. Ada 4 jenis yaitu aktivitas penting dan mendesak (biasanya berupa aktivitas produktif dan pengembangan diri), aktivitas penting tapi tidak mendesak (berupa rutinitas sehari-hari yang bisa dikondisikan dan didelegasikan), aktivitas tidak penting tapi mendesak (biasanya terkait waktu, sulit dihindari, tidak dapat didelegasikan, dan terkait faktor eksternal), dan aktivitas tidak penting dan tidak mendesak (umumnya berupa aktivitas menyenangkan tapi tidak produktif). Dari sini baru lebih enak melihat polanya. Mengetahui prioritas memang sesuatu banget!
Untuk saya pribadi, saya membagi jadwal harian saya hanya dalam 3 ranah besar yaitu personal, domestik, dan produktif. Hari kerja ditargetkan untuk aktivitas produktif. Aktivitas produktif ini dihubungkan ke bagaimana agar dapat melakukan aktivitas suka-bisa dan penting-mendesak sambil memenuhi peran dalam hidup, misal sebagai istri, anak, calon ibu, content creator, anggota masyarakat, dsb.
Dalam kasus saya yang bekerja di rumah, saya ingin mengoptimalkan di kegiatan blogging, vlogging, dan creating di hari kerja tanpa mengganggu peran sebagai anggota keluarga penting dan anggota masyarakat. Itu artinya porsi produktif perlu diperbanyak namun urusan personal dan domestik tetap dilakukan pada waktu rutinnya. Sementara itu di akhir pekan, saya mau fokus ke aktivitas relaksasi dan kekeluargaan tapi kerja yang ringan-ringan juga boleh, kayak blogging curhat seperti postingan ini.
Secara garis besar, saya membuat master daily schedule yang lengkap dengan alokasi waktu dan jenis kegiatan (personal/domestik/produktif) seperti ini
Untuk memudahkan saat mengerjakan aktivitas produktif, secara terpisah, saya membuat list yang mem-break down detil ideal dari kegiatan-kegiatan produktif sebagai panduan (semacam to-do list tapi disusun berdasarkan urutan atau dalam bentuk bagan alir).
Kalau dirangkum, perjalanan panjang saya dalam membuat perencanaan kurang lebih sebagai berikut:
- Rutin membuat to-do list
- Belajar menetapkan deadline
- Evaluasi: ikigai, daftar aktivitas suka-bisa
- Percobaan trial-error rutinitas harian
- Penentuan prioritas: daftar aktivitas penting-mendesak, peran hidup
- Pembuatan master daily schedule yang dapat disesuaikan dengan keperluan, supaya tidak terlalu stres kalau ada perubahan atau kekurangan
- Pembuatan jadwal spesifik hari yang terikat waktu
Begitulah pengalaman saya membuat jadwal terbaru. Panjang ya. Tapi begitulah aku, heuheu..
Btw, kalau teman-teman tertarik melihat brainstorming saya dalam pembuatan master-schedule di atas, silakan main ke catatan tugas percobaan kelas bunsay saya ini yaa. Iyaa, saya insyaAllah tahun ini ikut program kelas Bunda Sayang yang diadakan Institut Ibu Profesional. Setelah mengikuti kelas matrikulasi (semacam kelas persiapan masuk kelas bunsay), saya merasa lebih percaya diri dan mau belajar lebih banyak lagi. Niat saya salah satunya selama belajar adalah berbagi apa yang saya pelajari seperti ini, mengamalkan ilmu sambil menyebarkannya. Doakan saya bisa disiplin ya teman-teman. Hup. Semangat!! ^^