6.25.2016

Kenangan Jurit Malam Rasa Kematian

Jurit malam rasa kematian, mungkin itu judul yang cocok untuk tema jurit malam yang saya rasakan waktu mengikuti acara Tafakur Alam (TA) tahun 2005 lalu..

[Baca cerita sebelumnya di sini]



Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, peserta lelaki berjalan sendirian sedangkan peserta perempuan berjalan berpasangan. Saya bersama Ce'i. Di pos awal, peserta disuruh menulis surat wasiat. Pemanasan. Di pos berikutnya, kami disuruh berbaring di liang kubur seperti sudah meninggal. Simulasi alam kubur. Emm, bukan masuk kuburan benaran sih, hanya disuruh berbaring di lubang (terletak di pantai berpasir) yang telah disediakan panitia. Panjangnya seukuran badan, mirip liang lahat, tapi lebih dangkal. Setelah peserta berbaring, bagian atas lubang ditutup terpal, lalu diperdengarkan suara-suara tangisan, dan senyap. Begitu juga nanti kalau kita meninggal, awalnya orang-orang akan menangis, tapi lama-kelamaan akan lupa. Kita benar-benar fana.

Bangkit dari kubur, eh, maksudnya, lepas dari pos kuburan, peserta ditanyai oleh panitia yang berperan sebagai malaikat kubur. Di pos ini yang terdengar hanya suaranya saja, "Marobbuka" (siapa tuhanmu?), siapa nabimu, apa kitabmu, dsb. Peserta harusnya bisa jawab semua. Nah di pos ini, ada cerita lucu nih, dari kelakuan salah seorang teman kami, Tan. Tan orangnya memang iseng. Bukannya langsung menjawab pertanyaan di pos tersebut, ia malah sibuk menerka-nerka pemilik suara. "Za, kau ke Za, kau ke Za?", katanya sambil mencari-cari Reza Akbar, salah seorang panitia seangkatan kami (tapi beda jurusan) yang memang bertugas di pos tersebut. Menurut cerita sih, Reza nya sampai menyerah. Tan langsung disuruh ke pos berikutnya.. xD

Dari pos malaikat kubur, peserta diwajibkan menyeberangi sebuah batang pohon kelapa mati yang melintasi parit kecil. Ini adalah simulasi Shirathal Mustaqim, jembatan setipis rambut antara surga dan neraka. Saya masih ingat betul panitia yang menyambut saya dan Ce'i di pos bayangan tersebut: (alm) Mba Didik yang baik. Ia bilang, "naiklah" dengan berwibawa. Tapi karena melihat saya dan Ce'i senyum-senyum sambil berkata "eh, Mba Didik", (alm) Mba Didik jadi tersenyum malu-malu. Aah, saya jadi kangen dengannya. Semoga almarhumah khusnul khotimah dan diberikan tempat terbaik di sisi-Nya, aamiin. :'

Pos setelah pos Shirathal Mustaqim adalah pos terakhir, yaitu pos surga-neraka. Seperti yang bisa ditebak, kami masuk neraka (naudzubillah, semoga bukan di neraka sesungguhnya). Kakak panitia yang berperan sebagai malaikat Malik penjaga neraka tak berhenti mengingatkan kami akan dosa-dosa kami selama beberapa waktu. Kami tidak protes, justru menangis sejadi-jadinya karena teringat akan dosa-dosa yang diperbuat. Saya dan Ce'i sampai sesengukan. Hidung saya meler parah. Eh, tapi spoiler, Sang Kakak yang galak tiba-tiba mengomentari wajah Ce'i yang dianggapnya tersenyum.
"Ini sudah masuk neraka masih senyum-senyum aja", katanya. Awalnya saya tidak ngeh, tapi mendengar Ce'i menjawab "muke saye emang gini' kak" (wajah saya memang begini kak). Seketika, saya nyaris tertawa. Hahaha. Mode wajah teman saya yang satu itu memang manis dan terkesan selalu tersenyum. Marah saja senyum, apalagi menangis. Komentar sang kakak berhasil menghancurkan momen kami. Sadar dengan nuansa yang tiba-tiba canggung, kakak panitia segera menyuruh saya dan Ce'i untuk menunggu di sudut lain.

Simulasi pun selesai. Kami menunggu waktu subuh bersama peserta yang lain, di pinggir pantai, dibawah bintang. Sholat subuh dilakukan berjamaah ditemani suara debur ombak yang sepertinya tak pernah istirahat. Syahdu.