(sumber gambar: www.multigfx.com) |
Sebelum tahu bahwa saya hamil, saya dan Kanda sempat hiking
ke Gunung Gede pada libur akhir tahun 2012. Pada 3 Januari 2013, testpack
menunjukkan 2 garis. Untuk memastikan, Kanda membawa saya ke dokter.
Berdasarkan USG, insya Allah saya positif hamil. Jadi saat hiking, saya sedang
hamil muda. Syukurlah tidak apa-apa.
Berhubung masih di tanah rantau, kami memberitakan kabar gembira
kepada keluarga via telfon. Saya ingat momen saat mengabari Mama. Beliau
menangis. Maklum, saya dan Kakak sama-sama perlu waktu untuk hal ini. Kurang
lebih 2 pekan setelah pemeriksaan ke dokter, saya dan Kanda terbang ke
Pontianak. Berbekal doa dan tawakal, alhamdulillah, kami tiba di Pontianak
dengan selamat.
Pada trimester pertama, walaupun awalnya tidak percaya fenomena
ngidam, saya justru mengalaminya. Setiap hari (bahkan sebelum tahu hamil), adaa
saja kuliner berbahan mie yang saya idamkan. Untungnya Kanda cukup tegas
membatasi saya dalam mengkonsumsi mie instant dan makanan kurang sehat lainnya, membuat saya tidak terbawa nafsu. Hal lainnya adalah selera terhadap nasi putih yang rendah, apalagi nasi putih panas, padahal biasanya suka. Selain itu indera penciuman jauh lebih sensitif. Bau pengharum ruangan, obat-obatan,
bawang putih, ikan, bahkan bau sabun cuci piring dapat membuat saya mual dan
sakit kepala.
Ketika kebanyakan ibu hamil tidak lagi mengalami morning
sickness selepas trimester pertama, saya justru baru mengalami ini pada
trimester kedua. Hampir tiap malam saya muntah. Saya juga tidak suka ditiup
angin dan selalu membalur tubuh dengan minyak kayu putih seusai mandi. Jika ada
yang menyalakan kipas angin, saya akan menutupi tubuh dengan selimut tebal dan minum
jahe hangat. Seolah lupa kalau Kota Pontianak itu panas..
Trimester ketiga menjadi periode terberat buat saya. Berat
badan yang drastis naik 20 kg selama hamil membuat saya cepat lelah. Sakit punggung,
kaki bengkak, susah tidur dan keluhan lain menjadi ujian harian. Saya juga sering
dilanda kekhawatiran, ditambah kesepian ketika Kanda harus kembali ke Bogor. Saya
tidak kekurangan dukungan keluarga di rumah, hanya saja menghadapi detik-detik
kelahiran ananda tanpa ditemani suami terasa agak menggelisahkan..
Harinya pun tiba. Tepat sehari setelah Kanda kembali ke
Pontianak, saya flek. Bahagiaa sekali akan bertemu ananda yang selama sembilan
bulan terakhir selalu menyertai. Tapi ketika kami berpikir akan menjadi orang tua,
kami dihadapkan pada kenyataan bahwa ananda telah meninggal dunia. Innalillahiwa
innailaihi roji’un. Walaupun tahu bahwa saya tidak akan mendengar suara tangis
kecilnya (yang konon dapat mengobati sakit kontraksi dan jahitan) saya
tetap berusaha melahirkan secara normal, dengan bantuan induksi.
Hari itu, saya tidak dapat menghadiri pemakamannya...
Rangkaian kehamilan dan persalinan yang saya alami tersebut
sangat berkesan bagi saya. Memori ini banyak saya tulis di blog ini sebagai
kenangan untuk membantu pemulihan. Selain itu saya berharap pengalaman ini dapat
membesarkan hati para orang tua yang mengalami kejadian serupa, bahwa mereka tidak sendiri.
Saat menulis ini, pernikahan kami berumur 3 tahun 5 bulan. Kami masih berikhtiar dan berdoa semampunya. Semua akan indah pada waktunya, insya Allah. Aamiin.