9.03.2013

Persalinanku

28 Agustus 2013
Saya dan Kanda bangun pagi, tapi setelah sholat subuh kami kembali tiduran di tempat tidur untuk sekedar bertukar cerita, maklum baru ketemu kemarin sore. Dan akhirnya, tertidur sebentar.

Sekitar pukul 09.00 WIB
Saya ke kamar kecil untuk BAK dan saat menggunakan tissue, saya menemukan lendir bercampur darah. Saya segera membuka buku Kesehatan Ibu dan Anak dari bidan yang berisi informasi tanda-tanda kelahiran. Ternyata benar, salah satunya adalah keluarnya lendir bercampur darah dari jalan lahir. Walaupun sebenarnya agak ragu karena payudara saya belum mengeluarkan ASI dan kontraksi yang saya rasakan masih jarang (masih kontraksi palsu). Saya segera laporkan kepada Kanda dan Mama. Mama segera bilang kepada Bapak untuk memanaskan mobil tuanya untuk mengantar saya ke klinik bidan. Kami berempat pun bersiap-siap. Saya makan, mandi, dan mengemaskan pakaian saya dan dedek ke dalam tas. Harusnya sih mengemaskan pakaian harus sudah dilakukan jauh-jauh hari, tapi karena ada beberapa barang yang masih belum siap seperti beberapa helai baju saya yang belum disetrika atau baju dedek yang baru dicuci (wash before wear).

Saya senang bercampur deg-degan. "This is the day! :D ", batin saya.
Bahagia sekali, akhirnya saya akan berjumpa dengan dedek mungil yang sudah lama saya rindukan... Walaupun selama ini setiap saat selalu bersama-sama tapi tentu saja berbeda ketika memeluk dan menciumnya...


Sekitar pukul 10.30 - 12.00 WIB
Setelah sampai di klinik bidan saya diminta mengganti rok dengan kain sarung untuk diperiksa. Namun bidan kesulitan menemukan detak jantung dedek dengan alat bidan. Dua bidan turun tangan untuk menemukan detak jantung dedek, sekitar 20 menit, tidak juga ditemukan. Akhirnya bidan menyarankan saya untuk konfirmasi USG dengan dokter. Agar lebih cepat, Saya dan Kanda lalu meminjam motor untuk ke rumah sakit bersalin terdekat. Beruntung di rumah sakit tersebut dokter langganan saya sedang bertugas jadi saya mendaftar untuk diperiksa dokter langganan saya tersebut. Terus terang ini pertama kalinya saya bertemu dokter di rumah sakit itu karena biasanya pergi ke klinik. Berbeda dengan di klinik, di rumah sakit kami tinggal mendaftar dan menunggu sampai di panggil. Tidak bertele-tele seperti harus mendaftar sehari atau dua hari sebelumnya. Saya dapat urutan nomor 20, sedang yang baru masuk baru satu pasien (dokternya baru mulai tugas). Karena masih lama, kami kembali ke klinik bidan dimana Mama dan Bapak menunggu.

Sekitar pukul 12.00 - 13.00 WIB
Kembali ke klinik bidan, saya sempat menangis, khawatir hal buruk terjadi. Tapi Kanda dan Mama menenangkan saya. Kak Mok Yanti yang bekerja di klinik tersebut juga mencoba menghibur saya. Teman bidan Kak Mok mau menolong untuk mencarikan detak jantung dedek, jadi saya kembali diperiksa sedang Kanda pergi sholat dzuhur sekaligus sholat hajat, Bapak dan Mama sudah sholat. Saya ingin sholat untuk menenangkan diri tapi karena sudah keluar lendir darah jadi tidak sholat. Saat diperiksa kembali, oleh bidan yang berbeda, saya kembali khawatir karena sang bidan tidak berhasil menemukan detak jantung dedek. Tapi bidan bilang saya harus tetap tenang karena peralatan yang digunakan bidan tidak terlalu canggih seperti alat dokter, jadi harus tetap positif.

Sekitar pukul 13.00 WIB
Di rumah sakit bersalin, urutan 20 dipanggil. Berat badan dan tekanan saya diukur, 64 kg dan 120/75. Setelah itu kami berdua pun masuk dan saya menceritakan masalah yang dihadapi bidan. Dokter terlihat agak kaget lalu memeriksa saya dengan USG. Bu dokter agak lama menggerak-gerakkan alat di perut saya tanpa berbicara. Saya jadi khawatir kemudian memberanikan diri untuk bertanya. Menurut pemeriksaan dokter, perkiraan berat badan dedek sekitar 3100 gram, anggota tubuh in sya Allah lengkap, posisi bagus (kepala di bawah), volume ketuban bagus dan letak plasenta tidak menghalangi jalan lahir. Sayangnya jantung dedek sudah berhenti berdetak, dari kondisinya kemungkinan dari kemarin atau kemarin dulu.

Ya Allah, Ya Rabbi...Sungguh jawaban dokter sangat menghancurkan hati saya meskipun saya tahu dokter pasti tidak ada maksud sama sekali untuk itu. Dokter hanya menyampaikan fakta, tapi kenyataan itu benar-benar pahit untuk saya, dan Kanda tentu saja. Air mata mengalir begitu saja. Saya tidak mampu melakukan hal lain selain tergugu saat itu. Tubuh saya lemas. Hati saya rasanya hancur. Astagfirullah... Astagfirullah... Apa yang telah terjadi pada dedek sampai jantungnya berhenti berdetak, padahal pekan lalu saat periksa dengan bidan jantung dedek terdengar sangat kuat. Saya masih tidak percaya..

Menurut dokter kemungkinan plasenta dedek terpilin sehingga asupan oksigen dan nutrisi terhenti. Dokter lalu memeriksa pembukaan saya, tapi ternyata masih belum ada pembukaan sama sekali.

Dokter bilang bisa saja dilakukan penanganan sekarang juga untuk mengeluarkan dedek dari rahim saya, tapi melihat kondisi saya yang syok dan masih kaget, dokter menyarankan saya untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Akhirnya kami keluar dari ruang pemeriksaan. Kanda mengiringi sambil memegang saya. Innalillahi wa innaillahirojiun, astagfirullah'al azim.. Hanya itu yang berani saya ucapkan, berulang-ulang. Hati saya memanggil-manggil dedek... Saya merasa bersalah, sedih, rindu, kangen, tak percaya, pilu, marah kepada diri sendiri.. Campur aduk. Tubuh saya lemas, untungnya masih bisa berdiri dan berjalan pelan. Tak saya hiraukan pandangan mata orang di sekitar kami yang melihat saya memeluk lengan Kanda erat-erat, menenggelamkan wajah saya di dekapnya, tapi tidak menangis. Gesture tubuh yang tidak biasa, tapi saya tidak perduli.

Kanda kemudian menelpon Mama. Tidak lama Mama dan Bapak sampai di rumah sakit, Mama menangis setelah mengetahui kabar ini dari Kanda. Saya semakin sedih karena saya tahu bahwa Mama memang sangat mengharap dan menantikan kehadiran cucu pertamanya lahir ke dunia. Jantung saya serasa tercabik-cabik karena tidak bisa memenuhi keinginan Mama... Astagfirullah...

Pulang ke rumah, saya langsung masuk ke kamar tidur. Rasanya tidak percaya, antara mimpi dan nyata. Saat tersadar saya kembali menangis mendekap bantal. Sedang Kanda yang tadi terlihat tegar tak kuat menahan air matanya ketika di rumah. Saya tahu Kanda pasti merasa sangat sedih karena Kanda lah yang paling rajin mengajak dedek bicara. Saat di Bogor Kanda tak pernah lupa minta dieluskan dedek, menyampaikan rindu Kanda kepada dedek lewat elusan saya di perut. Kanda kemudian mengambil air wudhu untuk kembali sholat hajat dan mengaji. Berharap keajaiban dari Allah Sang Maha Kuasa dan pemberi kehidupan. Ayat-ayat Al Quran menyadarkan saya untuk selalu ingat akan Allah, menahan keinginan saya berteriak histeris meskipun sedih. Saya takut kelepasan histeris. Saya takut Allah marah.

Tak lama Ibu (panggilan saya kepada Mama Kanda) datang, diantar Nisa, pacar adik terkecil kami yang bekerja di luar kota. Lalu kakak sepupu saya, Long Emi dan suaminya juga datang. Saya sebenarnya malas untuk keluar, sedang malas untuk bicara, tapi karena takut mengganggu tilawah Kanda, saya keluar kamar. Saya sama sekali tidak menangis saat ditanya-tanya.

Sayangnya karena saya sedang malas bicara, ada miskomunikasi. Keputusan kami untuk kembali ke rumah agak dipermasalahkan karena khawatir dengan kesehatan saya dan cenderung menyalahkan dokter karena merekomendasikan kami untuk pulang. Padahal saya yakin pasti dokter memiliki pertimbangan tertentu, terutama dari segi psikologis saya yang bisa mempengaruhi tekanan darah dan motivasi saya jika dipaksakan melahirkan saat itu juga. Saya tahu kedua opsi tersebut --langsung ditangani atau pulang dulu-- sama-sama mempertimbangkan kebaikan saya, jadi saya ikut saja mana yang terbaik. Hanya saja saya ingin menangis ketika Mama dan Kanda terkesan dituding tidak memperhatikan kesehatan saya. Saya tahu dua orang yang saya kasihi itu sedang sedih, dan sangat mustahil rasanya jika keduanya tidak memperhatikan kesehatan saya... Akhirnya walau sebenarnya masih syok dengan kenyataan ditinggal dedek secepat ini, saya putuskan untuk mengikuti saran agar segera bersalin saja. Setidaknya agar semuanya tenang. Saya tidak ingin ada yang disalahkan lagi jika benar-benar ada yang terjadi pada saya. Bismillah, demi kebaikan saya juga, in sya Allah. Lalu kami berangkat ke rumah sakit yang sama bada (setelah) sholat ashar, diantar Long Emi dengan mobil.

Sekitar pukul 16.00 WIB
Setelah mendaftar, saya dibawa ke ruang persalinan. Ganti baju pasien dan dipersiapkan untuk persalinan. Saya memilih melahirkan normal dengan induksi (dirangsang) atas saran Mama. Kata Mama meskipun sakit tapi pemulihannya in sya Allah bisa lebih cepat. Selain itu biayanya lebih terjangkau dibandingkan dengan operasi caesar.

Bidan memeriksa pembukaan, masih belum ada pembukaan. Darah flek sebelumnya sepertinya hanya tanda dari dedek. :'

Sekitar pukul 17.00 WIB
Mulai diinduksi lewat infus. Rasanya sakit setiap kontraksi, tapi jarak antara kontraksi masih berjauhan dan durasinya masih singkat. Saya masih bisa duduk dan ke kamar kecil sendiri.

Kanda mendukung saya dengan tilawah Qur'an di sisi saya. Mama dan Ibu bergantian mengelus punggung dan pinggul saya yang sakit karena kontraksi. Bapak bolak-balik ke ruangan persalinan untuk menjenguk saya. Beberapa keluarga, teman Mama dan tetangga yang mengetahui keadaan saya mulai ada yang berdatangan memberikan dukungan dan doa untuk kami. Saya tidak dapat banyak berkata-kata, tapi dukungan mereka menjadi salah satu semangat bagi saya untuk kuat meskipun dedek divonis telah tiada.

Sekitar pukul 21.00 WIB
Rasa sakit kontraksi sudah mulai berdekatan dengan durasi yang cukup menyiksa, menurut saya. Kurang lebih 35-45 detik setiap kontraksi. Saya hanya bisa mencoba mengatur nafas sambil dibimbing zikir oleh Kanda. Badan saya sudah sakit karena berbaring miring ke kiri terus-menerus. Beberapa kali saya mencoba mengganti posisi miring kanan tapi jika ketahuan perawat saya diminta memiringkan badan ke kiri lagi.

Sekitar pukul 23.00 WIB
Bidan kembali memeriksa pembukaan saya. Katanya sudah pembukaan 4. Alhamdulillah, batin saya, meskipun sakitnya tetap saja masya Allah... Malah semakin bertambah.

Meski demikian keinginan saya untuk BAK masih ada karena sepanjang malam saya hanya minum saja. Mulai dari air putih, air isotonik hingga air zam-zam. Tapi karena sakit jadi menggunakan pispot dan perlu bantuan perawat. Beruntung perawatnya sabar-sabar (Belakangan saya menetahui nama mereka, Mila dan Aulia, keduanya masih kuliah akademi perawat).

Oh iya, beberapa jam sebelumnya saya mencoba makan bubur yang dibelikan Bapak, disuapi Kanda. Perawat memang menganjurkan untuk tetap makan, kalau bisa banyak-banyak, agar lebih berenergi ketika proses persalinan berlangsung. Sayang nafsu makan saya hilang karena kontraksi mengalihkan konsentrasi saya terhadap makanan. Saya hanya bisa berdoa meminta kekuatan kepada Allah SWT.

Sekitar pukul 23.30 WIB
Mama bersikeras menunggui persalinan saya tapi saya minta Mama pulang karena memikirkan kesehatan Mama dan Bapak. Lagipula Kakak dan Abang sudah datang dari Sambas dan ingin ke rumah sakit, jadi saya meyakinkan Mama untuk tetap tenang saat di rumah nanti karena sudah ada Kanda, Kakak dan Abang yang siap sedia di rumah sakit. Kalau Ibu memang sudah pulang agak awal, saya tidak ingat pukul berapa tepatnya.

29 Agustus 2013
Sekitar pukul 00.00 -01.00 dini hari
Rasa sakit kontraksi yang saya rasakan semakin menjadi. Jaraknya semakin dekat dan durasinya semakin lama. Benar-benar luar biasa, sampai-sampai saya hanya sanggup mengatur nafas saat kontraksi. Berkali-kali saya minta Kanda memanggil perawat dan perawat jaga bolak-balik melihat kondisi saya, tapi katanya saya harus bertahan meskipun sakit karena biasanya untuk anak pertama umumnya pemeriksaan pembukaan baru dilakukan lagi 4 jam setelah pemeriksaan sebelumnya. Ini untuk menghindari infeksi atau luka pada jalan lahir. Apalagi dedek dianggap sudah tiada sebelum lahir, maka proses pembukaan kemungkinan akan jauh lebih lama. Jadi menurut hal tersebut, jika tadi diperiksa sekitar pukul setengah sebelas malam berarti pemeriksaan pembukaan selanjutnya baru pukul setengah tiga malam.

Hampir frustasi atas rasa sakit, terbesit godaan untuk berteriak seperti tetangga sebelah, tapi untungnya tidak jadi, karena saya jadi takut panik sendiri. Saya harus kuat meskipun rasanya sudah tidak kuat. Anehnya, saya tidak menangis.

Sekitar pukul 01.30 WIB
Rasa sakit yang kuat kini dibarengi dengan perasaan ingin mengejan yang sulit ditahan. Ada sesuatu di sana. Awalnya perawat jaga kelihatan sangsi pada pengakuan saya. Tapi setelah melihat langsung, adik perawat yang sabar itu akhirnya memanggil bidan jaga, yang berarti persalinan sudah sangat dekat.

Pukul 01.56 WIB
Rasanya sakit. Dengan aba-aba dari bidan, dengan sekali mengejan, Dedek terlahir ke dunia dengan berat 2840 gram dan panjang 48 cm... Meski sudah dalam keadaan tak bernyawa... Innalillahi wa innaillaihi rojiun...

Ya Rabbi... Ingin sekali rasanya langsung memeluk tubuhnya yang mungil itu, sembari berharap nyawanya dikembalikan ketika saya mendekapnya, berharap keajaiban Allah meskipun sepertinya mustahil. Tapi persalinan belum selesai karena masih harus mengeluarkan plasenta dan menjahit robekan. Dedek dibawa keluar dari pandangan saya. Saat selesai, saya diminta Kanda untuk bersabar karena dedek memang sudah meninggalkan kami. Tak tertolong. Tidak ada suara tangisan yang katanya dapat menghilangkan sakitnya persalinan. Suatu yang saya rasa sangat saya inginkan sejak lama.

Saya meminta Kanda membawa jasad dedek untuk saya sentuh tapi Kanda bilang nanti saja. Mungkin Kanda takut saya berubah histeris. Saya patuh saja, apalagi katanya tubuh dedek begitu rapuh. Kanda bilang nanti saja di rumah. Setelah itu dedek dibawa oleh Kakak dan Bang Pari pulang. Saya masih tenang saat itu karena berpikir akan segera pulang, mengikuti prosesi pemakaman ananda tercinta...

Beberapa jam setelah itu, masih di ruang persalinan...
Tubuh saya sangat lemas. Mungkin karena tidak makan sehingga kekurangan energi. Saya sampai tidak berani tidur, khawatir tidak bisa bangun lagi. Saya minta Kanda menemani saya mengobrol. Kanda pun menghibur saya. Saya tahu Kanda kelelahan dan mengantuk karena menunggui dan melayani dan menemani saya selama persalinan, tapi rasanya saya tidak kuat sendirian. Takut menangis, takut histeris. Untungnya Kanda tidak keberatan. Kami membicarakan apa saja, kecuali tentang dedek. Kami sepakat untuk sementara begitu karena takut tidak bisa membendung perasaan sedih. Kanda juga dengan setia menyuapkan saya makanan ringan yang ada sekedar untuk mengganjal perut sebelum kiriman makanan dari rumah datang.

Mungkin pukul 4 subuh, saya baru diberi tahu perawat bahwa saya baru diizinkan pulang setelah 24 jam setelah persalinan untuk diobservasi dokter (dan itu berarti besok). Jika memang tidak ada masalah kesehatan pasca persalinan, baru saya diperkenankan pulang. Betapa hancur hati saya karena baru sadar belum melihat dedek barang sedetikpun. Air mata tak tertahan lagi. Akhirnya Kanda meminta tolong Kakak untuk membawa jasad dedek kembali ke rumah sakit.

Meskipun hanya sebentar, saya bahagia sekali dapat menyentuhnya. Pilu hati saya membayangkan dedek tidak mendapat asupan oksigen dan makanan di dalam rahim bundanya ini. Menyentuh pipinya yang halus namun sejuk membuat saya tanpa tertahankan meneteskan air mata kehilangan. Kakak bilang, saya boleh mencium dedek jika saya berhenti menangis. Alhamdulillah saya masih bisa mengecupnya walau setelah itu kembali menangis. Tak pernah saya sangka pertemuan kami begitu singkat...

Sekitar pukul 5, dedek kembali dibawa pulang ke rumah untuk kemudian dimakamkan. Kanda bertukar tugas dengan Kakak. Kanda yang membawa pangeran kecil kami sedangkan Kakak menemani saya di rumah sakit.

Pukul 06.00 WIB
Saya dipindah dari ruang bersalin ke kamar inap rumah sakit. Alhamdulillah setelah sarapan sup buatan Kakak, tubuh saya menjadi lebih nyaman dan akhirnya bisa tidur barang beberapa jam... Saya lelah sekali, lelah batin, fisik dan pikiran...