9.25.2014

Mie Aceh Darussalam

mie aceh
Penampakan mie aceh darussalam yang rebus... Hmmm, nyam!
(dokumentasi pribadi)
Malam ini, saya dan Kanda makan dengan menu mie aceh lagi. Belakangan ini kami memang senang sekali makan mie khas yang pedas itu.
Bermula dari masa penantian saat ngeprint draft di seberang jalan. Waktu itu karena bosan menunggu abang rental memprint draft tugas akhir saya yang warna-warni, mata saya iseng membaca-baca berbagai tulisan yang bisa dibaca. Sampai mata saya tertuju pada baleho berwarna merah yang tertulis "Mie Aceh Darussalam Selera Pedas". Saya yang memang gemar sekali makan mie dan pencinta kuliner pedas, langsung mencolek Kanda. Berharap Kanda mengajak saya ke tempat itu kapan-kapan. Kebetulan saat itu saya belum pernah sekalipun makan mie aceh, jadi penasaran sekali. :)

Beberapa hari berselang. Kami berdua akhirnya mampir di kios mie yang berlokasi di depan alfamidi bara tersebut. Tempat makannya tidak terlalu luas, kira-kira hanya 2x3 meter, dapur kecil terpisah dan ada tambahan satu meja panjang di belakang (kiosnya tembus ke belakang). Waktu itu saya memesan mie aceh tumis level 2 sedang Kanda mie aceh rebus level 2.

Saat disajikan, hmmm, baunya menggugah selera. Apalagi kami berdua memang senang dengan makanan pedas. Penampakan mie aceh tumis milik saya sebenarnya tidak berbeda dengan mie aceh rebus milik Kanda, selain jumlah kuahnya. Mie aceh rebus memiliki kuah lebih banyak daripada mie aceh tumis. Yang pasti keduanya masih hangat dari dapur dan berwarna merah segar. Nyam!

Saat mencicip pertama kali, alhamdulillah, rasanya sangat tidak mengecewakan. Pedas, gurih, kena di lidah saya. Hmm... Kami berdua pun lahap memakan mie masing-masing. Kami sepakat warung mie itu bisa dijadikan tempat alternatif kalau ingin makan mie selera pedas. Saya akan coba tingkat kepedasan lebih tinggi lain kali, batin saya.

Memang kalau rejeki tak lari ke mana. Beberapa hari berselang dari hari itu, kami kembali lagi. Saya yang penasaran dengan level pedasnya mencoba memesan mie aceh rebus level 3. Yey! Kanda juga memesan yang sama. Kami pun makan. Alhamdulillah tidak ada keluhan sakit perut setelah memakannya. Kami pun resmi menjadi langganan di tempat itu.

Kami pernah beberapa kali membeli untuk dimakan di rumah. Rasanya tetap enak, tapi ternyata rasa pedasnya agak berkurang jika mie sudah dingin. Saya jadi berkesimpulan, kalau mau bungkus sebaiknya dengan level lebih tinggi. Oh ya, karena menggunakan styrofoam untuk membungkus, kami selalu berusaha membawa wadah sendiri dari rumah jika memang mau dibungkus (kecuali kalau terpaksa). Lebih eco. :)

Mungkin gara-gara sering beli dengan wadah sendiri itu, si abang penjual jadi ingat dengan kami.

Waktu itu kami agak rutin membeli mie aceh level 3. Pengen naik ke level 4 sih (karena merasa masih bisa melewati level 3) tapi ternyata itu hanya di lidah. Lambung saya ternyata tidak sekuat indera pengecap yang tahan pedas. Alhasil, saya jadi sakit perut. Agak parah waktu itu. Sempat terpikir kalau saya tidak akan makan mie aceh lagi. Kapok, hehe. Tapi mungkin itulah yang namanya tobat sambal ya, setelah sembuh masih juga makan mie aceh. Alhamdulillah sekarang jadi lebih berhati-hati. Lebih tahu diri dengan kemampuan badan lah. Saya, terutama, tidak lagi berniat makan level 4 atau 5. Saya sekarang lebih memilih menikmati mie aceh karena rasanya secara keseluruhan, bukan karena hanya kepuasan bisa menahan pedas saja (tapi setelah itu sakit perut, hehe). Sekarang, kalau kira-kira ingin agak pedas atau mau dimakan di rumah, saya hanya pesan level 3; tapi seringnya level 2. Play safe. ^^

Oh ya. Agar tidak sakit perut, saya dan Kanda juga berusaha untuk mengisi perut dulu agar perut tidak kaget. Saya tidak menyarankan makan mie aceh kalau perut masih kosong alias belum makan nasi. Bagaimanapun kami merasa kalau tidak makan nasi dalam satu hari rasanya agak kurang nyaman. We're Indonesian, yup. Mungkin budaya "harus makan nasi" memang mitos karena sama saja toh nasi dan mie kan sama-sama karbohidrat. Betul itu. Hanya saja, kalau menurut saya pribadi, karena latar belakang setiap orang berbeda, cara makan juga bisa berbeda. Bisa jadi karena dari kecil tubuh biasa mengkonsumsi nasi, metabolisme orang Indonesia berbeda dengan metabolisme orang-orang yang biasa makan roti. Jadi ketika dalam sehari hanya makan mie atau roti saja (tanpa nasi secuilpun), badan terasa kurang nyaman karena perbedaan itu. Ada juga orang yang memang dari kecil jarang makan nasi melainkan hanya roti atau mie, mungkin badannya juga kurang nyaman jika dalam sehari hanya mengkonsumsi nasi. Siapa yang tahu kan. Itu bisa jadi bahan riset. Jadi sekali lagi, menurut saya itu semua masalah kebiasaan. Malah sebagai anak lanskap budaya, saya pikir wajar kok kalau orang Indonesia merasa perlu makan nasi dalam sehari. Nasi berasal dari beras yang berasal dari padi. Dan padi tumbuh di Indonesia. Itulah makanan yang mencerminkan lanskap kita. Bukankah Tuhan selalu memberi apa yang dibutuhkan? hehe. Tapi begitulah. Semua orang punya pendapat, yang penting sama-sama menghormati saja. :)

Ok, cukup ngolor ngidul ya. Hehe. Lanjut.

Mie Aceh Darussalam ini rasanya cukup konsisten lho. Dan lagi, abang yang menjual (kita sebut saja -bunga, eh- bang Darussalam) cukup ramah. Saya senang dengan penjual yang kenal dengan pelanggannya. Rasanya seperti dihargai. Maklum, selama di Bogor saya jarang ketemu tempat makan yang pelayanannya ramah. Apa karena tampang orang susah ya? hihi. Ada sih yang ramah, tapi entah mengapa lebih sering ketemu yang tidak ramah dan berwajah bete (dan betenya tidak hanya kepada kami). Heuheu.. Kadang lucu saja. Terima uang kok pakai cemberut ya...
*Ops, ngolor ngidul lagi.. :p

Selain konsisten dengan rasa, Bang Darussalam juga konsisten dengan jumlah jualannya. Biasanya jualannya sudah habis sekitar maghrib-isya. Kami juga pernah kehabisan, padahal pas lagi pengen makan mie aceh. Tadi juga hampiiir saja. Porsi mie yang kami makan adalah porsi mie terakhir hari ini. Alhamdulillah masih rejeki. Saat menikmati mie kami melihat cukup banyak pelanggan yang datang ingin memesan. Sekitar 7 atau 8 kali, ada yang ingin memesan untuk sendiri ada juga yang datang dengan teman. Jadi totalnya bisa belasan orang. Terpaksa ditolak karena stok mie sudah habis...

Kata Bang Darussalam, walaupun sepertinya banyak yang mencari, ia memang sengaja tidak menambah stok mie. Pertama karena resikonya terlalu besar. Dunia dagang begitu fluktuatif. Laku hari ini belum tentu laku esok hari. Kedua, untuk mempertahankan konsistensi rasa. Jadi untuk memperkecil kerusakan bahan masakan esok hari, Bang Darussalam hanya menyiapkan mie sesuai dengan kemampuannya memasak dalam satu hari. Menurutnya, kalau yang masak kelelahan atau kehilangan mood karena terlalu bosan di dapur seharian, rasa masakan juga akan terpengaruh. Ketiga, sebagai strategi pemasaran. Orang yang tidak mendapatkan keinginannya hari ini mungkin akan mencoba esok hari. Dengan begitu, pelanggan potensial untuk esok hari insya Allah sudah ada.

Dari bincang-bincang tadi juga Bang Darussalam berbagi pengalaman. Ternyata ia berada di Bogor untuk menemani istrinya bersekolah di IPB. Istrinya mengambil program doktoral. Bang Darussalam sendiri sebenarnya sudah bekerja di NGO di Aceh, tapi karena berat hidup terpisah dengan istri dan 2 anaknya, ia mengambil keputusan untuk berhenti dari pekerjaannya dan turut ke Bogor. Awalnya karena tanpa persiapan, Bang Darussalam sempat menganggur selama 3 bulan. Berkat silaturahmi dengan kerabat Acehnya yang membuka usaha rumah makan mie aceh di Surabaya, ia berniat membuka usaha mie aceh juga. Karena tidak berpengalaman masak, ia pergi ke Surabaya untuk berguru dengan kerabatnya tersebut.

Saat awal berwirausaha, Bang Darussalam hanya menyewa satu ruangan sempit yang sekarang ini menjadi dapur warungnya. Berkat kerja keras, strategi bisnis, dan rezeki dari Allah tentunya, ia bisa menambah ruang. :)

Tanggal 3 bulan depan warungnya berumur 1 tahun. Bang Darussalam bilang, ia tidak berniat selamanya akan berjualan mie aceh. Ada banyak hal yang ingin dilakukannya selain masak mie aceh. Setelah istrinya selesai studi (sekitar 2 atau 3 tahun lagi), ia berencana pulang ke Aceh. Meski demikian ia berharap ada orang lain yang meneruskan jualannya. Mungkin dengan sistem franchise. Saat ini sudah ada yang berminat membuka cabang mie aceh Darussalam di kawasan Pondok Cina, Jakarta. Di Bandung dan Palangkaraya juga. Jika sistem franchise jadi, Bang Darussalam hanya perlu mengirimkan bahan-bahan dan memberi intruksi memasak agar citarasanya tetap sama. Saat ini ia juga sedang bekerja sama dengan lulusan gizi IPB dalam mengembangkan bumbu tahan lama tanpa bahan pengawet (mungkin maksudnya dengan pengawet alami). Dengan sistem franchise ia berharap mie aceh bisa semakin dikenal di nusantara.

Masya Allah. Salut..

Saya tahu ada beberapa tempat di Pontianak yang menjual kuliner serupa. Tapi sebagai orang yang pernah mencicipi mie aceh Darussalam, saya jadi pengen buka cabang mie aceh Darussalam juga di kota kelahiran saya itu. ^_^ hehehe..*apasih yanet*