Pukul 08.15 WIB pun tiba.
Kami berpamitan. Bapak tak lupa mengulangi wajengannya, agar kami berhati-hati di sana. Mama bermata sembab namun tetap tersenyum menguatkan. Kakak semata wayang saya memberi semangat, dan berkata semoga ilmu kami nanti bermanfaat. Sedang Anonk dan Icad yang baru masuk kuliah, mahasiswa baru di Universitas kota kami-Universitas Tanjungpura-, tetap ceria dan menularkan keceriaannya kepada kami. Kalau saja tidak ingat dunia, mungkin saya akan menangis sejadi-jadinya. Berat meninggalkan orang tua, namun harus terus bergerak untuk mengejar cita-cita. Jadi tangisan saya saya simpan di hati saja. *Masih mandja ya, hehe*
#Intermezzo start#
Yah, pertama kali merantau, memang terasa berat. Walaupun sudah dewasa dan berkeluarga, perasaan tidak ingin pergi pasti sangat kuat. Kalau saja alasan kepergian tidak kuat (apapun alasannya: pekerjaan/mencari uang, pribadi/mencari jati diri, sekolah/mencari ilmu, dsb), pasti orang yang merantau tidak akan meninggalkan kampung halaman.
#Intermezzo end#
Kenangan di dalam bis damri Soeta-Bogor |
Tiba di Bogor, entah pukul berapa, saya tidak begitu ingat. Kalau tidak salah sekitar pukul 12 lewat. Kami lalu naik taxi (gelap) yang banyak mangkal di Terminal Baranang Siang (BS), Bogor. Dengan 100 ribu rupiah ditambah 5 ribu, kami diantar ke Wisma Amarilis IPB oleh sopir. Biaya yang mahal jika kita tahu bahwa naik angkot dari BS-Laladon-Kampus Dalam hanya sekitar 10 ribu per orang, tambah biaya ojek dalam kampus tidak lebih dari 5 ribu per orang. Tapi karena tidak berpengalaman, maka biaya ini bisa dianggap sebagai pelajaran, dan ongkos membawa koper. :) Jauh lebih praktis naik taxi jika membawa banyak barang. Dan semoga, lebih aman.
Sesampainya di Wisma Amarilis, kami check-in untuk satu hari. Berbekal KTP lama dan Buku Nikah (saat itu belum sempat mengurus KTP baru pasca pernikahan), kami istirahat sebentar. Cuci muka, sholat dan duduk. Sekitar pukul 13.00-13.30 WIB, kami turun menuju Rektorat IPB, untuk verifikasi mahasiswa baru. Kami menggunakan ojek yang memang banyak mangkal di sekitar wisma. Dengan kecepatan penuh, sang abang ojek membawa kami menuju Rektorat dengan rute terdekat. Ini cukup berkesan, karena dengan rute jalan yang bergelombang, naik turun dan berbelok tajam, si abang ojek dengan lihainya memegang kemudi. Saya yang lupa membawa tas selempang dari Pontianak (berkas saya digabung dalam tas yang dipakai suami) harus kerepotan menahan jilbab yang terkena angin, sedang badan harus tetap menahan keseimbangan dalam guncangan motor tua yang dipaksa naik-turun dan berkelok seenak hati tukang ojek. Untungnya tidak lama, abang ojek menurunkan kami di Rektorat IPB, bangunan berpenampang segitiga yang terlihat gagah saat kita masuk lewat pintu gerbang utama. Sesampainya di sana, kami naik turun lantai rektorat dengan tangga, karena tidak mengetahui terdapat lift di sebelah dalam. Katrok, hehe.
Denah agroedutourisme di pinggir jalan.. |
Jalan di IPB seperti sebuah maze membingungkan jika kamu baru di sini. Terlalu banyak jalan yang melengkung (tapi memberi persepsi jalan lurus) sehingga sulit dihapal, terutama jika kita terlalu biasa di jalan yang melingkar atau segi empat. Jalan yang menyesuaikan bangunan bertema segi-tiga dan segi-enam benar-benar membuat bingung otak yang terbiasa dengan jalan bertema segi-empat. Walaupun sebenarnya pada prinsipnya sama, bahwa setiap berbelok dengan arah yang sama (misalnya hanya ke arah kanan) maka kamu akan menemukan titik awal, namun di tipe jalan segi-tiga dan segi-enam prinsip ini sulit sekali diterapkan. Karena sekali salah belok, kita akan tersesat 120 derajat (bukan 90 derajat), dan kita akan kehilangan orientasi dengan mudah. Inii diperburuk jika kita dalam keadaan pusing, lelah, bingung, dan banyak pikiran; seperti yang waktu itu kami alami. Setelah berputar-putar, kami akhirnya sampai juga di penginapan sekitar pukul 14.45-15.00 WIB.
Di depan penginapan, teman kami dari kota yang sama, Ari, sudah menunggu. Ternyata suami saya sudah janjian dengannya. Kanda minta Ari, yang lebih dulu beberapa bulan di sini, untuk menemankannya mencari kosan atau kontrakan untuk kami tempati esok. Mereka langsung berangkat, sedang saya segera masuk ke kamar kami di lantai dua dengan menahan sakit kepala yang sangat mencengkram. Otak saya seperti mengkerut, dan itu sakit sekali. Karena lupa membawa obat sakit kepala dari Pontianak (karena tidak menyangka akan sakit kepala secepat itu), saya memutuskan beristirahat untuk menenangkannya.
Sekitar pukul 5 sore, Kanda pulang dengan wajah cukup pucat. Bisa dipastikan, kekasih saya itu lelah badan dan pikiran. Terlebih, kami tadi siang lupa untuk makan, dan tersesat. Kanda membawa tas kresek bertuliskan ****mart yang berisi P*carisweat dan air putih. Kalau tidak salah karena uang besar yang cukup membeli makanan tertinggal di dalam tas yang dititipkannya masuk ke kamar setelah dari rektorat tadi. Jadilah kami harus keluar lagi, mencari makan. Tapi karena Kanda sakit kepala, dan pastinya lelah karena berjalan jauh masuk ke gang-gang kecil untuk mencari kontrakan di dekat kampus, saya mengerti dan membiarkannya beristirahat. Karena kepala saya juga sebenarnya masih sakit, maka saya juga ikut berbaring. Dan tertidur.
Bangun tidur sekitar lepas magrib sedikit, kami segera mandi, ganti baju, dan menyiapkan uang untuk makan. Berharap makan secepatnya -mengingat kami belum makan sama sekali-, kami turun dari penginapan dengan positif, dan sedikit sakit kepala tentunya. Sebenarnya ada tempat makan di samping wisma tempat kami menginap, dan itu yang kami tuju. Namun, ow ow, tempat makan tersebut ternyata tutup awal. Nasib! Padahal perut sudah bernyanyi dan kepala nyut-nyutan, dan kami masih harus berjalan untuk mencari makan, entah dimana.
#Pelajaran: Jangan menunda, terutama untuk makan#
Kami berjalan, tak tentu arah. Berharap ada tempat makan di sekitar kampus yang buka. Kami berjalan ke arah bangunan (yang ternyata arena olahraga indoor untuk mahasiswa). Ada tempat makan untuk mahasiswa di dekatnya, tapi sepertinya hanya diperuntukkan pada jam kerja saja. Untungnya, ada kantin kecil yang menempel di bagian samping gedung olahraga tersebut. Kecil, dengan pemilik yang agak nyentrik, kalau boleh saya berpendapat.
Pemilik kantin kecil yang menjual makanan dan minuman itu adalah laki-laki ramah yang penampilannya agak menarik perhatian. Saya lupa, apa yang membuat saya mengingat kesan ini. Tapi seingat saya, kepalanya dililit kain bernuansa etnik. Seperti penampilan anak rege, tidak biasa untuk orang kebanyakan. Sambil menyiapkan makanan, pria berumur kurang lebih 35-40 tahunan itu mengajak kami mengobrol. Orangnya supel. Dan kami beruntung sang pemilik kantin itu adalah orang yang senang bicara tentang pengalaman hidup. Setidaknya dari pembicaraan yang kami lakukan, kami mengetahui orang tersebut tidak sedang mencoba menipu kami. Walaupun nasi goreng buatannya bukan yang terbaik, tapi kami menemukan salah satu wajah kebaikan di sini. Dan kami merasa cukup nyaman mendengarkan ocehannya walaupun kepala agak cenat-cenut karena baru makan setelah perjalanan seharian yang melelahkan.
Di dekat kantin, kami mendapat pinjaman motor dari teman Pontianak yang sudah selesai kuliah S2 dan sudah kembali ke Pontianak, Jorion. Dia berencana untuk S3, jadi motornya dititipkan kepada temannya di Bogor. Suami saya janjian dengan teman Rion di tempat tersebut. Alhamdulillah. Perut sudah terisi, dan sudah dapat "kaki" yang memudahkan transportasi. Setidaknya jika tersesat pun, kaki tidak terlalu capek karena berjalan. :) Pertolongan Allah selalu ada.
Kami pun berjalan pulang ke penginapan dengan lebih tenang dan kenyang, sambil membawa motor supra berwarna biru-hitam, menggemboknya, kemudian naik ke kamar untuk beristirahat. Lupa bahwa kenyamanan ini segera berakhir, bahwa esok kami harus mencari penginapan sebelum pukul 12 siang, karena tidak punya banyak uang untuk dihabiskan untuk menginap di wisma yang cukup nyaman itu.
~~~ Bersambung ~~~
[Cerita Selanjutnya]