5.13.2015

Cerita Jilbab Pertama (1)

Saya berasal dari keluarga besar yang heterogen. Bapak saya seorang mu'alaf. Sebenarnya ini tidak terlalu pengaruh karena pendidikan agama pertama saya diberikan oleh Mama'. Pengaruh Bapak terhadap pendidikan awal saya memang kurang karena beliau tidak bisa bersama kami sejak saya berumur 3 bulan sampai 9 tahun. Bapak terpaksa jauh dari kami karena tugas negara. Beliau pindah tugas ke pedalaman Kalimantan Barat dan hanya bisa pulang sekali-sekali. Tapi ya namanya juga keluarga, tetap saling mempengaruhi. Keluarga besar yang heterogen membuat saya tidak merasa perlu mengikat diri dengan kehidupan agama. Semacam toleransi. Malahan dulu sering risih saat ditanya, "agamanya apa?". Didukung oleh nama yang cukup aneh dan penampilan yang "biasa" di jaman itu, saya pun jadi lebih sering disangka non-muslim oleh kenalan baru..

OOTD
Abaikan foto ini, kalau bisa. :D

Beruntung saya kecil dididik oleh Mama'. Beberapa usaha Mama' mengenalkan agama kepada saya dan kakak adalah dengan mendatangkan guru ngaji ke rumah, mengajarkan kami tata cara sholat, memasukkan kami ke TK Islam, dan melatih kami berpuasa Ramadhan full seharian. Berdasarkan cerita Mama', Kakak bahkan berhasil puasa Ramadhan sehari penuh selama sebulan sejak TK sedangkan saya kelas 1 SD. Sedikit banyak ini membekas di pikiran saya, walaupun ya gitu deh...

Saat SD, kalau tidak salah pas kelas 5, saya wisuda TPA. Seingat saya saat itulah saya pertama kali memakai penutup kepala dengan rapi. Jilbab langsung berwarna putih. Ini cukup berkesan untuk saya karena selama belajar mengaji saya tidak pernah sengaja menggunakan penutup kepala apapun. Plus ada fotonya, makanya ingat.

Sebelum itu pernah sih menggunakan penutup kepala. Ada pasfotonya. Kalau tidak salah diambil waktu kelas 4. Jilbab yang saya pakai berwarna orange dan dipakai seperti sarung. Jilbab tersebut satu set dengan baju muslim yang dibelikan Mama' untuk lebaran. Saya ingat memakainya waktu pesantren kilat di sekolah. Karena panas dan melorot terus, saya lebih suka tidak memakainya walaupun sedang memakai setelannya. Apalagi waktu memakainya saya merasa seperti nenek-nenek. Ogah banget, kalau kata anak gaul mah..

SMP, jangan tanya. Jangankan menutup aurat, sholat saja masih semau gue: kalau ingat, kalau sempat, itupun kalau mau. Saya bahkan sempat lupa kalau sholat 5 waktu itu wajib. Untung masih ingat kalau puasa Ramadhan itu wajib, jadi tak pernah bolong kecuali datang bulan (dibayar di luar Ramadhan). Sebenarnya masalah sholat itu, Mama' sering mengingatkan, tapi saya yang keras kepala. Saya hanya mau sholat kalau saya mau dan marah kalau diingatkan. Sebenarnya ini karena ada yang pernah bilang, "sholat kan urusan pribadi kita dan Allah, kenapa orang lain usil". Betul juga, pikir saya. Akibatnya, seperti yang saya bilang: lupa benaran! Padahal sudah baligh. Astagfirullah... :(

Masih di masa SMP. Waktu kelas 3 SMP ada aturan baru: saat pelajaran agama berlangsung, para siswi muslim diwajibkan memakai kerudung sedangkan siswa muslim diwajibkan memakai songkok atau peci. Karena musuhan dengan jilbab yang bikin tidak percaya diri, saya menyiasatinya dengan menutup kepala menggunakan selendang panjang segi empat berwarna pink transparan dengan bordir di sekelilingnya. Saya merasa itu sudah lebih dari cukup. Tak pernah sedikitpun tertarik mencoba jilbab seperti yang digunakan teman-teman...

(Selanjutnya)