2.06.2017

Bagai Mengencingi Sumur Zam-Zam

Ceritanya pagi ini saya blogwalking. Dari situ saya ditakdirkan Allah membaca sebuah artikel yang intinya mengingatkan agar kita tidak boleh mem-bully siapapun karena nyatanya kita sendiri punya banyak salah, khilaf, aib, dan dosa.

Masalahnya satu. Jikalau yang ramai di-bully itu justru pelaku yang sebelumnya mem-bully terlebih dahulu, itu gimana? Bukankah ada peribahasa, siapa yang menabur angin dia yang memanen badai?

*Disclaimer
Ini bukan tulisan bantahan, tandingan, ataupun semacam itu, karena nyatanya saya juga setuju dengan inti artikel yang saya maksud di atas. Ini hanya sekadar catatan hasil perenungan saya dari kasus-kasus yang serupa dengan kasus yang dibahas di artikel tersebut. Tujuan tulisan ini adalah untuk melengkapi sudut pandang. 

Sebenarnya saya sudah menulis tanggapan singkat saya di kolom komentar blog tersebut, tapi karena koneksi internet bermasalah (hiks), komen yang sudah diketik hilang. Agar tidak kepikiran, saya tulis ulang dan kembangkan di sini saja. Semoga berkenan dan bermanfaat  ;)




Belakangan ini kalau diperhatikan, jamak sekali pesohor negeri yang mengeluarkan pernyataan atau melakukan sesuatu yang tidak bijak di depan umum. Ini terasa seperti tren yang membingungkan. Terlepas dari apapun niatnya --entah itu untuk meningkatkan popularitas, mencari perhatian. promosi kerjaan murah meriah, atau murni ketidaksengajaan karena kebiasaan buruk-- tapi tetap saja pernyataan/perilaku kasar, agresif, dan menjurus ke perilaku menyebarkan cerita bohong (hoax), hal ini tentu akan menuai berbagai tanggapan dari khalayak. Terlebih kalau si pelaku mengangkat isu sensitif dan bukan ranah keahliannya.

Orang jaman sekarang sepertinya tidak lagi malu menerapkan pepatah arab "jika ingin terkenal maka kencingi saja sumur zam-zam" (maksudnya melakukan hal yang tidak pantas dan melampaui batas agar dikenal). Bahkan ada pelaku yang malah terlihat senang melakukannya berkali-kali.

Berhubung yang melakukan bully adalah figur yang dikenal publik, maka tak perlu heran akan ada banyak yang menganggapi. Kenapa? ya jelas karena mereka sosok yang dikenal masyarakat (walaupun biasanya sebelum "kejadian", mereka tidak terkenal-terkenal amat). Dari sekian banyak tanggapan umum, tentu akan ada yang kontra. Banyak kepala, maka akan banyak juga tanggapan yang mungkin tak kalah agresif, sebelas-dua belas dengan yang pelaku bully lakukan. Miris.

Di satu sisi, mem-bully sangat tidak pantas. Tapi di sisi lain, itu adalah konsekuensi. Yang di-bully adalah pelaku bully yang sedang menuai buah kerjanya. Semacam hukuman sosial yang sangat sulit dibendung. Lucunya, kalau sudah terpojok, tak jarang pelaku bully justru akan mengaku menjadi korban alias playing victim. Modal air mata dan tangis manja, si pelaku bully pun menobatkan dirinya sebagai korban bully yang teraniaya. Tambah lucu karena tidak sedikit juga yang percaya dan tiba-tiba lupa tentang "siapa yang mengencingi sumur zam-zam" (=biang kerok keributan).

Kalau sudah begini, siapa yang lebih efektif untuk ditegur agar tidak ribut-ribut lagi? Apakah yang satu atau yang banyak?

Agar adil, ya tentu harus kedua pihak. Kita semua manusia, punya banyak alpa, khilaf, aib, dan dosa. Semua harus intropeksi diri. Tapi kalau mau teguran menjadi efektif, kita semua tentu tahu jawabannya. Sudah terang benderang, tak perlu lagi dijawab dan dijelaskan panjang lebar. Padamkan api agar asap berhenti. Sesimpel itu.

Di dalam agama saya, Islam, Rasulullah mengingatkan lewat hadist sahih: berkatalah yang baik atau diam. Walaupun menurut saya pelaku bully pantas menuai bully-an supaya dia tahu kalau di-bully itu tidak enak, tapi sebagai muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus berusaha menahan diri agar tidak berlebihan. Jaga lisan. Sampaikan argumen dengan baik tanpa berkata kasar, tinggalkan debat. Jika tidak bisa, lebih baik diam. Jangan lupa berdoa yang baik-baik. Jika tidak bisa mendoakan yang baik untuk pelaku bully, paling tidak doakan diri sendiri dan orang yang berani melawan bully agar tidak terjerumus pada akhlak melampaui batas yang sedemikian. Bukan karena kita lebih baik, lebih suci, atau lebih alim, tapi karena kita sadar kita makhluk pelupa yang tidak pernah tahu masa depan dan memiliki hati yang mudah terombang ambing. Pun nasib bisa berubah sedemikian rupa. Kita tak pernah tahu apakah besok lusa ketika menemui ajal, kita masih memegang teguh prinsip yang kita genggam erat hari ini atau tidak.

Terakhir, buat yang suka bikin ribut atau jika suatu saat kita berpikir untuk bikin ribut, ingatlah, what goes around comes around. Beranilah menerima konsekuensi seperti ketika berani bertindak. Jangan playing victim.

Semoga ini menjadi pengingat bagi kita bersama, terutama buat saya yang menulis ini, karena setiap ucapan pasti akan diuji.. :'