10.22.2016

Momen Panjang Tak Terlupakan Bersama Depresi

Momento Dulce - Kenangan Manis.

Sebagai pemilik blog personal, saya memang berharap dan berusaha untuk selalu menuliskan kenangan-kenangan baik di blog ini. Tidak melulu tentang yang manis sih, tapi sebisa mungkin kalaupun itu pahit, asam, kecut, ataupun tawar, saya selalu berusaha menambahkan sedikit kuah manis di dalamnya. Yah, namanya juga hidup kan, tidak selalu semanis yang kita harapkan. Tapi saat Tuhan memberikan kita kehidupan yang sekecut jeruk nipis, kita harus bisa meramunya dengan sedikit madu untuk menghasilkan ramuan yang menyehatkan, atau dipotong tipis dan dijadikan infuse water, atau dengan sedikit gula dan air dingin untuk menghasilkan limun yang menyegarkan. Hidup adalah masalah pilihan. Sebagaimana kita juga bisa mengabaikan jeruk nipis itu sampai busuk, tapi sayang kan..



Begitupun kenangan tak terlupakan yang saya pilih kali ini. Mungkin pembaca setia Momento Dulce akan tahu apa jawaban saya jika ditanya "kenangan apa yang tak terlupakan dalam hidupmu?"

Ya. Apa lagi kalau bukan tentang pengalaman saya melahirkan beberapa tahun lalu. Tepatnya, tiga tahun 1 bulan, 22 hari yang lalu.

Bagi seorang ibu, kelahiran anak ke dunia adalah salah satu hal yang akan diingat seumur hidup. Rasanya mustahil jika ada ibu yang melupakan anaknya, karena bagaimanapun anak berkembang di tubuh ibu dalam kurun waktu yang tidak sebentar, lalu dilahirkan pada saatnya dengan rasa sakit yang luar biasa tak terbayangkan sebelumnya --entah itu lewat operasi maupun normal. Itu semacam naluri yang dikaruniakan kepada seorang wanita.

Masalahnya, memori yang saya miliki kepada ananda sangat terbatas, hanya terhitung sejak tahu saya hamil sampai ketika hari melahirkan. Ya, sebatas itu. Bayi saya didiagnosa mengalami IUFD tepat di hari perkiraan lahirnya. Terus terang saya menyesali kenapa  waktu itu saya tidak membuat catatan-catatan kenangan sesering sekarang. Banyak sekali kenangan tentangnya, dan itu terlewatkan begitu saja. Saya sama sekali tidak menyangka. Untung Kanda --yang waktu itu cukup lama merantau mengurus tesisnya di Bogor-- selalu mendorong saya untuk melaporkan hasil pemeriksaan bulanan. Jadi setidaknya ada satu catatan tentang kehamilan setiap bulan, waktu itu.



Kepulangan ananda keharibaan Illahi adalah pukulan berat bagi keluarga kami, terutama saya dan Kanda. Apa mau dikata, nyawa adalah urusan Allah. Dan hak-Nya lah jua jika titipan itu diambil kembali.

Banyak komentar orang tentang IUFD yang saya alami. Ada yang menyemangati, tapi tidak sedikit pula yang melemahkan hati. Setelah 2 tahun memendam rasa, saya baru menerbitkan tulisan tentang beberapa komentar yang "berkesan" tentang kepulangan anak kami. Lewat tulisan tersebut, selain ingin melepaskan beban, saya ingin mengedukasi lebih banyak orang untuk berempati kepada wanita yang mengalami IUFD dan keguguran. Saya juga ingin menyampaikan pesan kepada wanita yang mengalami kejadian serupa, bahwa mereka tidak sendiri.

Merasa sendirian adalah hal yang buruk. Saya sempat merasakannya, dan ini sangat tidak baik. Pasca IUFD tersebut, saya merasa sangat tertekan, sulit konsentrasi, banyak menangis, dan pikiran-pikiran buruk lain yang tidak ingin saya sebutkan di sini saking buruknya. Apapun yang dulu terasa menyenangkan, jadi tidak menyenangkan sama sekali. Itu termasuk membuka facebook, mendengarkan musik instrumen, mencium bau minyak kayu putih dan telon, mendengar kicau burung di pohon, melihat sudut jendela kamar, menatap langit-langit kamar di atas tempat tidur, baju dan peralatan bayi yang tersimpan di lemari, melihat buku catatan kehamilan, bahkan iklan shampoo bayi di tv pun bisa membuat saya menangis. Saya tidak berminat bertemu dengan siapapun dan tidak tertarik pada apapun waktu itu. Satu-satunya yang rutin saya lakukan hanya menangis, terutama setelah sholat. Itu bisa lama sekali. Belakangan saya baru tahu kalau semua yang saya alami itu adalah gejala depresi.

Saya beruntung, karena meskipun saya dan keluarga tidak sadar kalau saya mengalami depresi, Allah menempatkan saya dalam lingkungan yang sangat mendukung terapi mental. Keluarga selalu menyemangati saya. Sekadar menanyakan kabar dan mengajak bercanda kecil, membawakan obat, membuatkan air hangat untuk mandi dan memasakkan makanan khusus untuk wanita nifas, mengajak jalan-jalan. Semua hal-hal sederhana itu mengisi hati saya. Saya tidak sendiri, ada yang peduli.

Ajakan Kanda untuk kembali ke Kota Hujan untuk menyelesaikan studi yang tertunda cuti membawa sedikit angin segar sekaligus rasa cemas. Saya senang karena itu berarti saya bisa meninggalkan rutinitas harian yang begitu menyiksa karena selalu teringat masa-masa hamil dan hari ketika melahirkan. Tapi saya juga cemas, khawatir, takut, tidak bisa menyelesaikan studi karena saya kehilangan minat untuk itu.

Allah Maha Baik. Satu hari di bulan Januari 2014, saya tidak sengaja mendengar kalau seorang teman mengikuti kegiatan paduan suara untuk pascasarjana di kampus kami. Saya teringat dulu waktu S1 pernah ikut kegiatan serupa. Saya tertarik dan gayung bersambut, saya diajak untuk ikut serta. Kebetulan akan ada latihan intensif untuk konser perdana di pertengahan bulan Maret tahun itu. Setelah minta izin dari Kanda, saya rutin berlatih vokal dengan teman-teman baru saya di GSP (Gita Swara Pascasarjana). Mereka sangat baik dan ramah. Kanda juga selalu mendukung dan malah mengingatkan saya untuk rajin berlatih. Katanya, jika sudah memutuskan sesuatu (ikut latihan) maka harus tanggung jawab. Tidak boleh malas-malasan. Sedikit banyak, rutinitas dan minat baru saya tersebut --menyanyi bersama teman-teman GSP-- membantu saya berlatih fokus. Iya, menyanyi juga kan perlu fokus.

Sementara itu, penulisan tesis tidak selancar rencana. Macam keong, malah. Mungkin karena saya kehilangan minat menghadapi tesis. Kedua dosbing menegur dengan halus dan tetap menyemangati saya. Saya bersyukur keduanya tetap bersabar menghadapi saya, tetap membimbing walaupun mungkin bosan dan heran kenapa anak ini lamban sekali. Sementara teman-teman seangkatan saya mayoritas sudah lulus. Memang saat itu yang belum lulus tinggal beberapa orang saja. Bahkan untuk angkatan saya, saya adalah mahasiswi terakhir. Ini cukup membuat tertekan, sedih, kecewa, dan perasaan-perasaan semacam itu. Saya hanya bisa sedih ketika ditanya tentang kemajuan studi. Pernah tangis saya pecah pas belanja di swalayan cuma gara-gara ditanya Kanda tentang tesis. Aneh? bangettt...

Selama di Bogor, saya sebisa mungkin menghindari dosen ataupun teman-teman sedepartemen agar tidak ditanya-tanya. Lama-lama saya berpikir untuk berhenti. Kalau saja tidak dikuatkan Allah lewat orang-orang dekat mungkin saya benar-benar berhenti studi saat itu. Dukungan dan perasaan diterima memang sangat berpengaruh. Sekali lagi, waktu itu saya belum tahu tentang masalah depresi.

Waktu berlalu. Perasaan saya tetap pasang surut. Beberapa hal seperti masalah keuangan keluarga, rumah kontrakan, pendaftaran jurnal ilmiah, dsb menambah pusing kepala. Saya juga pernah sakit pencernaan agak parah karena hilang nafsu makan. Perjalanan tesis saya tetap bergerak lamban macam keong. Tapi Kanda menyemangati, "tak apa lambat, din, asal tidak mundur". Perjuangan panjang, bulan April tahun berikutnya saya baru bisa sidang dan dinyatakan lulus. Alhamdulillah, terangkat satu beban dari pundak.

Foto bersama dosen pembimbing dan penguji setelah sidang tesis

Saya dan Kanda wisuda bersama di bulan September 2015. Mama' dan Bapak datang untuk menghadiri acara tersebut. Bahagia sekali. Momen ini menjadi pengingat saya pribadi bahwa ternyata saya bisa mengerjakan apa yang sebelumnya terasa sangat mustahil saya lakukan. Ini adalah pencapaian yang membesarkan hati saya, seorang yang berjuang melawan depresi.

Disadari atau tidak sebelumnya, pengalaman ini mendewasakan saya, mengubah saya dalam banyak hal. Depresi adalah momen panjang yang membantu saya belajar menerima diri sendiri. Alhamdulillah saat ini saya sudah bisa berdamai dengan diri sendiri. Walau rasa sedih dan semacam itu masih sering muncul tanpa diundang, alhamdulillah saya sudah lebih bisa mengendalikan agar tidak berkepanjangan dan terlalu berlarut-larut (depresi). Saya belajar menerima rasa sedih sebagai bagian penting dan berharga dari diri saya. Bahwa sedih bukan sesuatu yang salah, melainkan karunia karena dengannya terasa lebih mudah memahami perasaan orang lain dan tidak terlalu cepat menghakimi. Ini adalah pelajaran berharga yang pahit yang harus diolah menjadi jamu menyehatkan. Masih banyak tantangan di depan, tapi meyakini bahwa saya pernah melewati hal yang berat sebelumnya, sedikit banyak memberi motivasi hidup.

Usia fisik bertambah maka memang sudah seharusnya pikiran tambah dewasa juga. Apalagi kemarin saya baru berulang tahun, entah tahun depan sampai atau tidak :'  Jadi harus lakukan yang terbaik yang bisa dilakukan meskipun perlahan, dan tetap berdoa. You can do it, net! ^_^