12.07.2015

Ujian Lisan

Semalam saya mendengar cerita yang selama 2 tahun belakangan disimpan oleh Mama' dan Kakak. Benar-benar tak disangka, mengejutkan, dan penuh pelajaran.


Awalnya Mama' keceplosan tentang salah satu kerabat kami yang sepertinya meninggalkan kesan negatif di hati Mama' dan Kakak (dan abang juga) ketika saya keguguran dulu. Saya pun bertanya penasaran, karena selama ini saya mengenal kerabat kami itu sebagai orang yang alim. Pun waktu masa berat itu, saya tidak ingat bertemu dengannya. Saya yakin kalau orang tersebut memang hanya bertemu keluarga saya di rumah, bukan saya. Mungkin waktu menghadiri pemakaman alm Weissar.

Mulanya Mama' terdiam dan terlihat tidak ingin membicarakan lebih lanjut. Sepertinya sesuatu yang dirasa akan sangat menyakiti saya jika saya mendengarnya. Saya tahu Mama' dan Kakak ingin melindungi saya, tapi karena saya desak akhirnya Mama' dan Kakak menceritakannya. Setelah 2 tahun lebih memendam di hati mereka!

Tak pernah saya sangka, kerabat yang selama ini saya anggap alim dan tahu agama, berkata bahwa anak saya memang sebaiknya meninggal saat itu, daripada menjadi anak durhaka nantinya.

Astagfirullah..

~~
Saya langsung teringat dengan cerita keponakan saya yang tahun lalu harus merelakan kedua orang tuanya berpulang ke Rahmatullah secara berturut-turut dalam setahun. Walaupun kedua orang tuanya adalah orang tua angkat, tapi sang anak tahu kalau orang tuanya sangat menyayanginya. Dan dia tahu siapa yang sering menceritakan miring keluarganya dan keluarga saya.

Anehnya, saat berkabung itu, ada kerabat jauh yang suka ikut campur tapi tidak pernah mengkonfirmasi cerita yang diterimanya, berkata bahwa kematian ayah bundanya itu terjadi karena sang anak durhaka kepada seorang adik angkat bundanya. Padahal kami tahu pasti, hanya malas berkoar-koar, bahwa adik angkat bundanya itulah yang sering membicarakan buruk keluarga kakak angkatnya dan keluarga kami, sehingga ada orang asing bodoh yang percaya dan dengan teganya bicara tidak-tidak kepada orang berkabung.
~~

Mendengar itu, tentunya saya agak syok, timbul sedikit sakit hati, tapi anehnya, lebih banyak perasaan iba kepada orang yang berkomentar tentang kepulangan anak saya, orang yang berkomentar tentang kepulangan ayah bunda keponakan saya, dan terlebih kepada penghasut mereka itu. Bukannya apa-apa, anak mereka memang banyak. Dua dari mereka punya lebih dari 2, semuanya sudah besar, sehat, berprestasi pula.

Tapi siapa di dunia ini yang bisa menjamin seseorang akan selamanya hidup lurus dan bisa berakhir dengan khusnul khotimah? Bagaimana kalau tuduhannya tentang anak yang besar menjadi anak durhaka, berbalik pada dirinya? Padahal itu hanya selentingan tanpa konfirmasi berita. Bahkan untuk anak saya, itu adalah tuduhan tak berdasar kepada orang yang sudah meninggal. Mereka tidak dapat sekalipun meminta maaf kepada anak saya.

Naudzubillahi min dzalik. Ini pelajaran yang penting untuk saya sendiri.

Beriman memang perlu kebanggaan dan kepercayaan diri yang tinggi bukan berarti merendahkan orang lain. Dalam berdakwah dan nasihat-menasihati, kita harus tetap ingat firman Allah dan nasihat Rasul bahwa manusia tidak boleh sombong, yaitu menolak kebenaran dan menjatuhkan orang lain. Tanyakan selalu di dalam hati, Siapa yang bisa jamin ujung kehidupan kita seperti apa, kecuali Dia, sementara Dia mendengarkan doa-doa orang teraniaya?

Berbuat baiklah tapi jangan pernah menganggap perbuatan baik kita cukup untuk mendapat syahid dan masuk surga. Karena bisa jadi, perasaan puas yang menghanyutkan itu bisa membuat kita ringan mengatakan hal-hal yang menyakiti hati orang lain. Dakwah islam punya etika. Berhati-hati dengan lisan karena cepat atau lambat ia akan menjadi ujian bagi diri kita sendiri. What goes around comes around

Saya bersyukur saya tidak menangis walaupun perasaan saya masih tersakiti dengan sangat saat menulis ini. Sakit karena mengetahui ternyata ada yang menyukuri kematian orang yang saya sayangi. Sekali lagi tidak, saya tidak menangis, atas kebaikan-Nya. Hati saya sudah beku, untuk orang-orang seperti itu.