11.12.2015

Cerita Tentang Bapak

Lihat berita pagi di televisi hari ini, saya baru tahu kalau tanggal 12 November adalah peringatan Hari Ayah Nasional, sekaligus Hari Kesehatan Nasional dan Hari Pneumonia Internasional. Juga hari ulang tahunnya abang ipar saya. Hehe. Dari sekian banyak hari peringatan tersebut, saya mau cerita sedikit tentang figur seorang ayah di mata saya, bercermin dari kehidupan saya sendiri.


Saya memanggil ayah saya dengan sebutan Bapak. Beda dengan Mama' yang tetap respon kalau dipanggil dengan panggilan menggoda lain seperti Bunda, Bundo, Mom, Mamih, Mumih, Mimi, dsb; Bapak tidak respon kalau dipanggil panggilan selain Bapak. Hanya "Bapak".

Sejujurnya, hubungan saya dan Bapak cukup rumit. Sejak usia saya 3 bulan, Bapak harus berangkat tugas ke luar kota yang jaraknya jauh dari kota kami. Kota pertama adalah Sintang, selama 2 tahun. Lalu pindah tugas ke Putussibau selama 3 tahun 11 bulan. Lalu pindah lagi ke Sintang selama 2 tahun. Setelah itu baru menetap tugas di Pontianak sejak tahun 1994. Saat itu saya sudah kelas 3 atau 4 SD.

FYI. Jarak Putussibau lebih jauh dari Sintang. Silakan lihat di peta Kalbar. Waktu itu, tahun 80an, jalur transportasi masih belum terbangun, belum ada jalur pintas Tayan (harus memutar lewat Ngabang), dan alat komunikasi belum semaju sekarang. Untuk tetap bertukar kabar, telegram dan surat menjadi andalan. Untuk mendengar suara Bapak, kami yang belum punya telpon rumah harus menelpon ke wartel subuh-subuh agar biayanya tidak terlalu bengkak karena interlokal.

Agar dapat bertemu dengan kami, Bapak pulang ke Pontianak setiap 3 bulan sekali menggunakan motor. Dari Putussibau ke Sintang, beliau berkendara selama kurang lebih 15 jam karena jalan rusak. Setelah istirahat, perjalanan dari Sintang ke Pontianak dilanjutkan selama kurang lebih 7 jam.

Jika sudah di Pontianak, beliau menetap sambil menunggu gaji cair. Biasanya selama 2 pekan. Pernah paling lama 1 bulan. Ini bukan karena beliau hidup boros di tanah rantau. Malah sebaliknya, bisa dikategorikan memprihatinkan. Harga barang di hulu sangat mahal. Untuk menghemat biaya makan sehari-hari, Bapak menanam genjer untuk dijadikan sayur. Sebutir telur didadar jadi lauk untuk sehari, 3 kali makan. Kalau berhasil memancing ikan, barulah beliau tidak makan telur. Selebihnya untuk bayar kredit dan dikirim ke Mama'. Biaya transport tidak ditanggung kantor, jadi harus menabung dulu agar bisa ke Pontianak untuk menjenguk keluarga. Untung Mama' juga bekerja, jadi keuangan keluarga kami tertolong. Alhamdulillah.

Nah, karena dari kecil saya hanya tinggal bersama Mama' dan Kakak yang notabene perempuan, saya merasa canggung berinteraksi dengan lelaki. Saya tidak seperti Kakak yang cenderung tomboy dan lebih suka berteman dengan teman laki-laki daripada teman perempuan, saya lebih suka berteman dengan teman perempuan karena sering bingung dengan jalan pikir laki-laki.

Ini cerita Mama' tentang masa kecil saya berinteraksi dengan Bapak. Dulu kalau Bapak akan pulang, Kakak akan berteriak dan berlari dan meloncat kegirangan seharian. Saya ikut-ikutan loncat-loncat dan teriak-teriak. Begitu Bapak sudah sampai rumah, saya malah diam dan tidak berani mendekat karena merasa tidak kenal (maksudnya lupa). Nah, setelah agak lama baru lah saya berani dekat dan main bersama Bapak. Malah bisa nempel terus kayak perangko. Tapi karena Bapak harus kembali ke tempat tugas waktu saya sudah lengket, itu membuat saya sedih dan bisa sampai demam. Mama' biasanya menunda mencuci baju terakhir yang Bapak pakai selama beberapa hari agar saya bisa mencium baunya, supaya saya tidak terlalu sedih dan terbiasa. Tapi nanti kalau Bapak pulang lagi, ya saya kembali reset ke mode sebelumnya: lupa. Ckckck..
*namanya juga anak-anak

Setelah Bapak pindah tugas ke Pontianak, saya baru merasakan tinggal serumah bersama sesosok lelaki. Maklum, tidak punya saudara laki-laki. Punya sih sepupu laki-laki yang sering ke rumah, tapi biasanya mereka main dengan Kakak. Saya lebih suka main boneka. :p

Setelah Bapak pindah, saya jadi tahu kalau gaya bicara beliau berbeda dengan cara Mama' bicara. Beliau cenderung bernada keras, membentak, dan kadang kurang halus memilih kata. Saya sering syok karena selama masa kecil, Mama' selalu mengajarkan bicara sopan dan halus.

Sebagai anak perempuan yang baru menemukan sosok ayah, saya cukup dimanja oleh Bapak. Apalagi saya anak bungsu dan saya ditinggal waktu kecil. Mungkin ada faktor ingin membayar semua waktu dan kasih sayang yang terlewat, entahlah. Yang pasti Bapak menjadi sosok lelaki paling keren di mata saya.

Sampai ketika saya sudah agak besar, saya menyadari beberapa hal yang mematahkan hati.

Saat lulus SD, misalnya, saya hampir didaftarkan ke salah satu sekolah misi ternama di kota kami oleh Bapak. Nyaris, karena Mama' menolak.

Keluarga kami memang tidak terlalu religius. Lihat saja nama saya, Delyanet. Kebanyakan orang mengira saya non muslim dari nama. Apalagi waktu dulu belum berjilbab.

Ketika SMA, saya mulai sedikit demi sedikit belajar agama. Saya belajar menutup aurat. Bapak agak kurang suka dengan ini karena banyak cap negatif tentang jilbab. Apalagi setengah keluarga besar kami (keluarga Bapak) adalah nasrani. Tapi bagaimanapun beliau melindungi saya dari tetamu yang suka nyelonong masuk rumah, walau sering disertai omelan. :p

Jujur. Dulu saya sering iri melihat teman saya yang ayahnya terlihat alim, kaya, jabatan karir terhormat, atau halus tutur katanya. Iri sekali, sampai ingin protes kepada Tuhan. Kenapa Tuhan yang katanya Maha Kuasa tidak membuat semua orang di dunia menjadi orang sholeh, baik, dan unggul? Kenapa Tuhan suka pilih kasih? Kenapa saya harus terlahir di keluarga yang tidak seideal pikiran saya, tidak seperti teman-teman yang lain? Itulah sedikit dari banyak pertanyaan hati.

Syukurlah, lambat namun pasti, saya mendapat jawaban atas doa-doa penuh tanya. Bapak banyak berubah, terutama masalah agama. Beliau sedikit demi sedikit membuka diri mempelajari islam dengan bantuan Mama'. Walaupun nada bicara tidak beda, tapi banyak hal yang membuat saya bersyukur atas perubahan positifnya, terutama perihal sholat 5 waktu. Meski sekarang masih belum pede sholat di masjid, tapi beliau selalu menyegerakan sholat di awal waktu. Alhamdulillah.

Sekarang, semakin dewasa, saya paham dan yakin. Semua orang punya rejeki dan jalan cerita masing-masing. Meskipun Bapak bukan sosok ayah yang sempurna, namun beliau adalah ayah yang sempurna untuk saya. Tuhan tahu itu.

Saya sudah sepenuhnya menerima dan malah bangga atas nama unik pemberiannya. Saya sudah tidak iri dan tidak ingin membandingkan beliau dengan ayah teman saya lagi. Toh semua orang punya kelebihan dan kekurangan. Bapak juga manusia.

Di atas semuanya, saya bahagia karena Bapak dan Mama' membagi rejeki yang halal untuk saya dan Kakak. Keringat dan air mata keduanya tidak akan mungkin dapat dibalas.

Namun seperti anak lain Kendala yang saya hadapi adalah sulitnya berinteraksi dengan orang tua. Saya masih sering keceplosan membantah atau marah atau menjawab dengan tidak sopan. Astagfirullah. Saya beruntung karena Kanda sering mengingatkan untuk terus belajar melembutkan hati dan lisan sebagai bentuk syukur diberikan orang tua. Berat tapi harus. Karena atas izin Allah lewat keduanya, saya bisa hadir di dunia. Nama seorang ayah bahkan akan selalu terikat di belakang nama anaknya sampai maut memisahkan. Betapa berat tugas orang tua.

Begitulah sedikit cerita saya tentang Bapak hari ini. Selamat hari ayah, yaa. Semoga kita semua bisa menjadi anak sholeh berbakti yang selalu ingat mendoakan kebaikan bagi kedua orang tua, ada dan tiada mereka. Insyaallah. Dan bagi yang sudah menjadi ayah, semoga dapat menjadi ayah yang bertauladan baik bagi anak-anaknya.