6.14.2015

Gitu' Pun Ndak Tau

Bangun dari tidur siang cantik hari ini, tiba-tiba saya teringat dengan suatu kejadian masa lalu yang berkesan di hati saya. Kesan yang buruk, tapi berakibat baik, untungnya..

Gitu' Pun Ndak Tau
(credit: Monica H/flickr)


Waktu itu saya dan Kakak saya masih sekolah SD atau SMP. Ketika belajar bersama, saya menghadapi kesulitan pada meteri-materi tertentu mata pelajaran eksak yang hitung-hitungan, lalu bertanya ke Kakak dan Kakak juga tidak bisa menjawab. Berhubung tidak punya saudara kandung lebih tua yang bisa ditanyai sementara Mama sedang sibuk dan tidak sempat mengajar kami (Mama' adalah wanita karir tapi biasanya turun tangan saat kami belajar di rumah), maka kami pun berinisiatif bertanya kepada seseorang yang terkenal pintar dan selalu juara kelas. Jadilah kami bertanya kepadanya yang terpaut umur agak jauh dari kami berdua.

Benar dugaan kami, remaja yang pintar itu bisa dengan mudah mengerjakan soal yang kami bingungkan. Cepat sekali ia mengerjakannya, terlihat mudah di tangannya. Kami berdua terbengong-bengong antara takjub dan tidak paham darimana datangnya angka-angka itu. Kami pun bertanya tentang asal muasal angka-angka itu, tapi sungguh tak disangka, orang tersebut dengan enteng berkata, "gitu' pun ndak tau" atau kira-kira diindonesiakan, "masak begitu saja tidak tahu". Makjleb! Tak hanya sampai di situ, pulpen pun langsung dilepaskannya di depan kami dan segera berlalu meninggalkan kami yang terbengong-bengong, seolah kami sudah membuang banyak waktunya yang berharga. Sejak itu kami tak pernah mau bertanya pelajaran kepadanya lagi. Kapok. hehe..

Orang tersebut mungkin tidak sengaja, maklumlah remaja. Alhamdulillah hubungan kami pun baik-baik saja selama ini. Tidak ada pertengkaran. Hanya saja tiap teringat perlakuannya dulu, hati saya tetap beriak. Sedikit banyak perlakuannya itu melekat kuat di ingatan bawah sadar saya, membuat saya merasa rendah. Saya tidak terlalu dekat dengannya meskipun tentu saja saya menghormati kecerdasan dan pencapaian-pencapaiannya. Mungkin begitulah ilmu menaikkan derajat manusia, semenyebalkan apapun manusianya.

Ucapan "gitu' pun ndak tau" yang ketus pada masa kecil membuat saya mudah minder dan tidak percaya diri. Rasa tersakiti bahkan membuat saya agak jengah dengan orang-orang yang mengklaim dirinya bangga pada diri sendiri tapi ujung-ujungnya malah menjatuhkan orang lain yang situasinya berbeda dengannya..

Untunglah efek ucapan negatif itu pelan-pelan sudah bisa saya ambil hikmahnya (meskipun efek bikin mindernya tetap terasa). Setelah tahu sakitnya kata "gitu' pun ndak tau", saya jadi lebih berhati-hati ketika dapat kesempatan mengajar anak sekolahan. saya berusaha mengingat perkataan negatif "gitu' pun ndak tau" sebagai cambuk. Saya tersakiti, tapi rasa itu mencambuk saya untuk berusaha tidak seperti orang itu.

Karena sadar saya bukan orang pintar yang bisa langsung paham satu kali penjelasan dari guru atau baca buku sekilas lalu. Saya sadar IQ saya tidak sebrilian itu, maka mau tak mau saya harus ekstra dalam mengasah kemampuan. Latihan lebih banyak, membaca lebih banyak, mendengarkan penjelasan lebih serius. Walau hasilnya pun pasti belum seperberapanya dari kecerdasan orang-orang cerdas yang serius belajar seperti orang itu, saya jadi paham perasaan anak-anak yang kesulitan dalam belajar tapi dibentak guru. Saya seperti melihat diri sendiri.

Gitu' Pun Ndak Tau
seperti melihat diri sendiri..
(credit: Christian Holmér/flickr)
Beberapa tahun lalu saya guru, tepatnya guru les privat.
** Walau tidak bersertifikat dan hanya berstatus guru les dengan jumlah murid yang dapat dihitung jari, tapi guru juga kan ya?

Ketika mengajar, tak jarang emosi saya tersulut ketika menghadapi adik-adik les, terutama yang slow learner. Tapi pengalaman lama yang saya ceritakan di awal mengajarkan saya untuk menahan lisan pada mereka yang belum paham materi pelajaran, karena saya yakin mereka bisa paham kalau diberi penjelasan yang baik. Bahkan saya yakin beberapa di antara mereka punya otak yang jauh lebih pintar dari gurunya yang tak bersertifikat ini. Perbedaannya hanya satu, saya, belajar lebih dulu. Jadi alih-alih berkata "gitu' pun ndak tau" saya merasa lebih baik saya perbaiki cara saya mengajar, mencari perumpamaan yang lebih sederhana, atau mencoba metode lain. Khusus murid  slow learner, biasaya saya suruh mengulang terus sampai konsentrasinya terpaksa kembali ke meja belajar, bukan ke acara drama seri korea.

Selama mengajar les privat, saya jadi tahu akan pentingnya memahami latar belakang tiap adik-adik les saya. Sebenarnya tidak hanya penting tapi juga menyenangkan! Dengan mendengar curcolan mereka etiap les berakhir, saya jadi punya ide untuk memotivasi mereka ketika kelelahan belajar hinggap di kelas. Salah satu caranya adalah dengan memberi soal terkait topik kesukaan yang mereka gandrungi atau yang sedang tren saat itu. Contohnya memodifikasi soal tentang aljabar: Artis A (artis korea kesukaan mereka) membeli sebuah buku dan 3 pensil dan membayar sekian rupiah, sedang artis B membeli 2 buku dan 2 pensil di toko yang sama dengan sekian-sekian rupiah. Berapa harga satu buah pensil? :p  Walaupun pada dasarnya pertanyaan tentang aljabar, tapi tentu mereka terhibur (sebagaimana saya). Dan dengan begitu kelas terselamatkan. Pelajaran pun bisa dilanjutkan dengan hati riang dan berbunga-bunga. :D

Tidak, saya tidak berkata cara saya yang terbaik karena tiap guru punya metode tersendiri dalam mengajar. Saya pun tak hendak berceramah tentang pendidikan, karena siapalah saya ini, hanya seorang mantan guru les privat yang ilmunya cetek sekali. Di sini saya hanya ingin berbagi cerita bahwa kalimat "gitu' pun ndak tau" dan semacam itu sungguh menyakitkan. Dan menerima kalimat itu di usia muda memberikan saya pemahaman yang mendalam bahwa seorang guru bukan hanya bertugas mengajar tapi juga mendidik. Cerdas secara akademik belum tentu bisa jadi pendidik (kecuali kalau ada niat). Itulah tak heran kalau guru juga perlu dites psikologinya, sebagaimana profesi-profesi lain.
PS: tentu saja, guru yang memiliki kecerdasan akademis dan psikologis baik adalah yang paling ideal.

Oh ya, ada satu cerita lagi. Saya pernah dengar pernyataan seorang kenalan yang akan melamar jadi guru kalau lamaran kerjanya di bank dan tempat lain tidak diterima. Ah, miris. Padahal sangat tak layak profesi semulia guru dijadikan "pilihan pekerjaan terakhir". Memang pilihan terakhir itu bisa jadi adalah yang terbaik bagi orang-orang tertentu, tapi jangan sampai jadi guru hanya mengajar setengah hati (karena tidak suka mengajar) karena sejatinya yang diperlukan oleh anak-anak adalah guru yang berdedikasi. Bukan sekadar pengajar tapi juga pendidik mental.

Guru adalah orang tua kedua yang bertugas memberikan ilmu sekaligus perhatian yang tulus, yang harus sabar menghadapi anak-anak orang yang kelakuannya luar biasa. Duh. Memikirkan ini, selalu terbit salut saya pada guru-guru, keluarga, serta teman-teman saya yang saat ini berprofesi guru. Jadi siapa yang berani bilang kalau jadi guru berdedikasi itu gampang?

Sebenarnya ini tak hanya untuk guru sih, tapi juga untuk orang tua dan keluarga di rumah. Jangan kecilkan kemampuan seorang anak yang baru belajar dengan mudah berkata "begitu saja kok tidak tahu?". Coba deh putar kata itu untuk diri sendiri, enak didengar?

Jadi begitulah uneg-uneg cantik hari ini. Ambil baiknya buang ampasnya ya. Semoga bisa diambil hikmahnya. Salam!