9.25.2017

Terbakar

Kemarin Kanda mengajak saya jalan-jalan. Mumpung libur kan. Saya, tentu saja oke. Walaupun tipe rumahan, saya juga suka kok jalan-jalan. Apalagi ke tempat baru yang berarti pengalaman baru. Tapi pilihan Kanda cukup unik. Bukannya membawa istrinya jalan-jalan ke tempat adem seperti MM Tita (orang Putussibau pasti tahu nih, hhihi) atau ke tempat yang bisa nongkrong sambil lihat pemandangan sungai seperti di Taman Alun Kapuas Putussibau, ini malah diajak ke hutan. Iya, ke hutan.

Ilustrasi dari perjalanan lalu

Sebagai istri dari seorang pria yang dulunya aktif di dunia pencinta alam, saya paham sih. Saya suka diajak jalan-jalan ke hutan. Cuma lucu saja. Hihi. Mungkin kami memang pasangan yang agak aneh. Nggak papa aneh, yang penting bahagia, yekan? :D

Pukul 10 kami turun dari rumah. Sebelum ke lokasi target, kami sempat berbelanja sedikit perbekalan di salah satu supermarket. Lumayan buat mengganjal perut yang mudah lapar kalau jalan jauh, hehe. Tujuan jalan-jalan kami kali ini adalah kawasan berhutan di daerah Kalis, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Saya lupa bawa jam tangan jadi kurang memperhatikan waktu. Perjalanan dari rumah ke tempat yang dituju mungkin sekitar 30 menit, atau lebih.

Di sana, jalan tanah merah terputus sungai, motor tidak bisa lewat. Untuk melewati sungai kecil berair cukup deras itu, kami harus meniti batang pohon yang melintang sungai kecil itu. Tidak ada jembatan. Karena itu kami mulai berjalan kaki. Motor parkir di jalan. Drama teriak-teriak panik saat meniti jembatan pun mau tak mau terjadi. Iya, saya phobia ketinggian, jadi sering drama kalau harus melewati jembatan. Untungnya sungainya tidak terlalu lebar, jembatan kayunya tidak terlalu tinggi, dan ada Kanda yang setia memegangi tangan saya selama menyeberang. Kami berdua pun sampai dengan ceria di seberang. Alhamdulillah.

Daerah yang kami datangi kali ini ada jalan setapaknya. Sempit, tapi lumayan daripada tidak ada sama sekali. Di kanan kami daerah berhutan sedangkan di kiri tak jauh dari sungai berair merah, khas tanah gambut. Kami berdua berjalan mengikuti jalan setapak tersebut, sengaja tidak masuk ke daerah berhutannya demi keamanan dan irit tenaga. Toh kami hanya ingin jalan santai, bukan jadi Tarzan and Jane.

Di sepanjang jalan setapak yang kadang terlihat seperti terputus itu, kami melihat-lihat tetumbuhan. Kanda pencinta bunga dan tanaman hias, jadi matanya sangat cepat menangkap keberadaan mereka. Tunjuk sana-tunjuk sini. Sementara saya mengikuti saja. Sudah pernah saya bilang kan, penglihatan saya agak kabur? Penglihatan kabur bukan berarti buta, saya bisa melihat dan menikmati keindahan bunga-bunga hutan juga, cuma loadingnya agak lambat, hehe.

Di tepian jalan setapak, kami menemukan beberapa jenis anggrek alam, tanaman kantong semar serta bunga-bunga lain yang tidak kami ketahui namanya. Untuk kenang-kenangan, kami mengambil beberapa gambar dan video juga. Seru! ^^

Sampai pada satu titik, saya menolak jalan terus. Bukan karena capek tapi karena paranoid. Soalnya jalannya sudah tertutup tanaman rambat sih, saya jadi ngeri sendiri. Insting laba-laba saya langsung mengatakan "berhenti". Melihat bahasa tubuh saya yang menolak berjalan menyusulnya, Kanda maklum. Ia pun mengajak saya kembali menapaki jalan yang tadi kami lewati, pulang. Di perjalanan arah pulang, suara adzan dzuhur terdengar. Pertanda tengah hari.

Ah ya, saya lupa bilang. Kami sempat berkali-kali mencari tempat berhenti. Panas beb. Ya maklum lah, kan siang bolong. Siapa suruh? Hihi. Saya masih mendingan, pakai jilbab dan baju panjang, jadi sinar matahari siang tidak terasa terlalu menyengat di kulit. Beda dengan Kanda yang memakai kaos lengan pendek yang bahkan lupa membawa topi lapangannya. Pasti panasnya menyengat sekali.

Setelah sampai di tempat awal, kami akhirnya memutuskan langsung pulang. Awalnya Kanda masih mau mengajak jalan lagi ke lokasi berhutan yang pernah kami singgahi tahun lalu, tapi urung karena prioritas. Perut kami sudah nyanyi keroncongan. Maklum sudah jam makan siang sementara kami hanya bawa air dan sedikit camilan, bukan nasi. Kami pun pulang.

Sampai rumah, saya merasa haus luar biasa. Kepala saya sakit dan suhu tubuh saya naik sedikit. Pertanda dehidrasi tuh. Saya kalau dehidrasi memang begitu. Untuk menghilangkan sakit kepala, saya terpaksa berbaring sepanjang sisa hari kemarin. Lemes. Lain saya, lain Kanda. Walau tidak mengeluhkan sakit kepala dan tetap asyik beraktivitas, kulitnya jelas belang terbakar. Ia juga mengatakan kulitnya pedih waktu terkena air. Kami heran, sampai segitunya ya akibat berjemur.. Ternyata oh ternyata..

~jeng-jeng!

Kami berdua baru ingat, pekan ini kan masih equinox/kulminasi. Puncaknya malah baru kemarinnya, tanggal 23. Warbiasyah! Pantas belakangan ini cuaca panas bedengkang, kulit kami terbakar matahari, dan saya dehidrasi. Sebagai orang Pontianak harusnya kami ingat dengan Kulminasi Matahari, tapi ya gitu deh. Namanya juga lupa.



Untuk mengurangi efek perih di wajah, malamnya, saya memakai masker bengkoang supaya lebih adem. Kalau kami punya kulkas, mungkin saya akan kompres wajah dengan es, hehe. Sebenarnya kalau ada bengkoang atau mentimun, lebih bagus. Bengkoang dan mentimun insyaallah cukup efektif dan aman untuk memberikan efek tenang dan menyejukkan pada kulit yang terbakar. Sayangnya sedang tidak punya/belum beli, jadi gunakan yang ada sajalah. Hasilnya, tidak terlalu efektif tapi lumayan lah, namanya juga usaha..

Pelajarannya, kalau kulminasi seperti sekarang, kurangi berjemur, pakai baju yang tertutup dan berwarna terang, pakai sunblock, pakai penutup kepala, dan tak kalah penting, banyak-banyaklah minum air putih. Itulah pelajaran dari pengalaman kali ini.

Teman-teman punya pengalaman terkait equinox, atau justru belum pernah lihat fenomena kulminasi? Silakan tinggalkan tanggapan kalian di komen yaa..

Oke sudah dulu. Saya ngantuk. Bye