5.31.2016

Hikmah Insiden Harambe

Pagi ini saya membaca berita mengejutkan tentang penembakan mati seekor gorila berusia 17 tahun lebih sehari bernama Harambe. Secara kebetulan, -oh, tidak ada yang kebetulan di dunia ini- malam ini, saya membaca sebuah catatan tentang pendidikan anak. Lalu apa hubungannya?

Catatan Kecil:
Sebagai seorang yang saat ini belum sempat  "menikmati" masa-masa merawat anak sendiri, mungkin tulisan ini akan terkesan seperti sok tahu. Tapi saya tidak menulis untuk memberi kesan. Terserah orang mau menilai saya seperti apa. Saya menulis ini murni untuk mengingatkan diri sendiri, dan saya bagikan ke khalayak umum dengan harapan dapat bermanfaat bagi orang lain. cmiiw

(credit: dailymail.co.uk)


FYI. Harambe son of Moja adalah seekor gorila dataran rendah yang lahir dan besar di Gladys Porter Zoo di Texas Selatan, Amerika Serikat. Jika ia hidup, usianya hari ini adalah 17 tahun lewat 4 hari. Tapi itulah takdir Harambe. Ia harus berpulang kepada Tuhan pada usianya 17 tahun lewat sehari karena ditembak mati di Cincinnati Zoo oleh petugas kebun binatang dalam upaya menyelamatkan seorang anak manusia berusia 4 tahun yang jatuh ke kandang Harambe.

Pro kontra banyak bermunculan di postingan yang saya baca. Ada yang menyalahkan pihak orang tua yang dianggap lalai mengawasi anak yang masih kecil itu (kemana saja orang tuanya?), ada yang menyalahkan pihak kebun binatang yang dianggap mengambil keputusan secara gegabah (kenapa tidak ditembak bius daripada ditembak mati?), ada juga yang menganggap yang berduka pada Harambe-lah yang hipokrit (bagaimana kalau itu terjadi pada anakmu?). Membaca banyak sudut pandang membuat mata saya berusaha memahami dari berbagai persepsi.

Oke. Saya termasuk yang sangat sedih mendengar berita-berita seperti ini, dan saya ikut berduka untuk Harambe. Apakah saya munafik karena itu? Hanya Tuhan yang tahu. Saya tidak akan menghakimi orang tua anak tersebut walaupun saya masih bingung bagaimana bisa seorang anak berumur 4 tahun memanjat pembatas kebun binatang tanpa sepengetahuan orang tuanya. Membaca beberapa komentar memberikan gambaran kepada saya, seperti, bisa saja itu terjadi karena anak kecil memang senang bereksplorasi. Sekejap mereka di sini, kemudian tak lama mereka sudah di sana. Aktif. Itulah anak-anak.. 

Yah, sekali lagi, saya belum berkesempatan membesarkan anak sendiri, maka saya tidak dapat dan tidak boleh dan tidak mau berkomentar terlalu banyak tentang hal ini. Saya merenung: Jika saya berada di posisi sang ibu, pasti akan sangat sedih dan tertekan jika dihakimi massa, sementara orang lain belum tentu tahu kejadian sebenarnya. Yang saya pahami, tidak ada ibu yang akan membiarkan anaknya celaka. Itu adalah naluri seorang ibu (kecuali pada kasus tertentu).

Demikian pula kepada pihak kebun binatang. Walaupun saya masih bingung kenapa Harambe tidak ditembak bius saja (daripada ditembak mati), dengan membaca komentar saya sedikit memaklumi keputusan tersebut. Reaksi anastesi mungkin bekerja terlalu lama, sementara anak manusia yang terjatuh harus segera diselamatkan. Bagaimanapun, manusia akan tetap membela manusia. Itu naluri kemanusiaan kita.

Satu hal yang kadang luput dari pemikiran kita adalah insting dari satwa liar seperti Harambe. Insting yang tidak dapat kita salahkan pun nafikkan. Naluri kehewanan. Dari yang saya baca, ada yang beranggapan kalau Harambe sebenarnya tidak menyerang anak tersebut, melainkan berusaha menyelamatkannya, mengangkatnya dari air. Seperti preman berhati taman bunga, kita tidak dapat menilai dari tubuhnya yang besar dan berbulu. Hanya saja, teriakan orang ramai melihat kejadian itu mungkin membuatnya panik dan takut. Mungkin saja awalnya ia sama sekali tidak berniat menyerang tapi menyerang karena panik. Dan jikapun Harambe memang berniat menyerang, dengan alasan mempertahankan teritori (daerah kekuasaan), maka apa yang kita harapkan? Itu adalah naluri satwa liar yang hanya punya sedikit otak. Masalahnya, kemana manusia yang punya otak? Sibuk menghancurkan habitat satwa liar lalu memasukkan mereka ke tempat penangkaran yang sempit? Ah, rasanya malah jadi tidak adil jika menyalahkan pihak kebun binatang. Bagaimanapun kebun binatang adalah salah satu tempat konservasi ex-situ yang diperlukan oleh satwa liar semacam Harambe.

Begitulah. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, di sini saya hanya akan menarik pelajaran daripada penghakiman. Saya hanya akan menyorot dari sisi dimana kebanyakan orang mungkin akan berperan. Bukan sebagai satwa liar ataupun orang yang bekerja di kebun binatang melainkan sebagai orang tua atau sebagai pengunjung kebun binatang yang entah bagaimana (naudzubillahi min dzalik) terjatuh ke dalam kandang satwa liar. Mengingat kejadian tersebut tidak hanya mencelakakan sang anak (meskipun ia selamat), pihak orang tua (secara psikis, karena dihujat banyak orang), pihak kebun binatang (atas reputasi buruk pengelola) dan terutama atas yang harus dialami Harambe (kematian), saya rasa pasti ada hikmah di balik kejadian tersebut sebagai pembelajaran penting untuk kita bersama.

Salah satu yang memprihatinkan banyak orang saat ini, terkait kasus Harambe, adalah tentang bagaimana perilaku anak-anak yang cenderung kasar kepada binatang. Hal ini tentu tak lepas dari peran orang tua. Tidak sedikit orang tua modern yang saya lihat saat ini adalah orang tua yang "baik", dalam artian sama sekali tidak marah atas perilaku anaknya yang mungkin dapat mencelakakan anak tersebut maupun orang/makhluk lain. Dengan alasan anak kecil terlalu kecil untuk memahami nasihat dan teguran dari orang tua, anak-anak dibiarkan berperilaku buruk kepada saudara ataupun kepada orang yang lebih tua, apalagi "hanya" binatang. Tidak ada kata "jangan" dalam kamus orang tua tipe ini. Kata "jangan" menjadi sangat terlarang karena dianggap destruktif bagi kreatifitas anak-anak. Tak jarang saya baca tulisan bertema parenting, tentang ini. Banyak yang menganjurkan untuk mengganti kalimat berisi kata "jangan" dengan kalimat positif yang bertujuan sama. Istilahnya, jangan katakan kata jangan. *Hmm, terdengar paradoks.. 

Memang benar, terlalu banyak larangan akan mengungkung anak-anak, menghambat mereka bergerak dengan bebas, berpotensi menumbuhkan paranoia. Masalahnya, dunia ini memang tidak ada yang benar-benar bebas dari konsekuensi. Tentu saja anak-anak bebas memanjat pagar, bernyanyi dan menari dengan lantang, atau meloncat dari tempat tinggi, dan sebagainya, tapi itu semua memiliki pasti memiliki konsekuensi. Kegiatan mereka bisa membuat orang lain senang dan terhibur, atau mereka bisa saja mengganggu orang lain, terluka, atau bahkan membahayakan nyawanya ataupun nyawa orang lain. Itu mengerikan. Di situlah larangan berperan.

Anggap saya setuju kalau anak kecil terlalu kecil untuk memahami nasihat, tidak mempan dimarahi, dan sebagainya. Tapi nyatanya, kita yakin kalau otak anak kecil seperti spons yang menyerap apapun di sekitarnya. Bukan begitu? Maka ketika anak-anak tidak mengenal larangan sejak kecil, mungkin mereka akan terlambat untuk mempelajari perihal tanggung jawab dan konsekuensi.

Bayangkan seorang anak yang sejak kecil tidak pernah dilarang melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak baik. Memukul, misalnya. Pukulan mereka saat masih kecil mungkin imut dan menggemaskan, lucu dan menghibur. Tapi tebak. Setelah lebih besar, pukulan mereka tidak lagi imut melainkan menyakitkan sekaligus menyebalkan. Karena tidak pernah dilarang, mereka akan marah atau merasa tidak disayang lagi ketika dilarang. Apalagi kalau ini terjadi di masa puber, mungkin akan penuh drama. Dan yang paling mengerikan, nasihat baik yang melarang mereka memukul orang lain mungkin akan mental jauh. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Kenapa? karena si anak merasa orang tuanya tidak pernah marah saat ia melakukan hal tersebut selama ini, jadi harusnya itu bukan masalah besar. Itu hanya masalah kecil yang terlalu dibesar-besarkan oleh orang tua mereka yang selama ini baik (baca: tak pernah marah apalagi melarang). Lalu ia melanjutkan kebiasaannya memukul.. *naudzubillah *hanya gambaran

Larangan dan kata "jangan" tak melulu berarti hal buruk dan kemarahan. Jikapun marah, itu pasti karena kepedulian. Itu kata Mama' saya. Hanya orang yang tidak atau sudah tidak peduli yang bisa tidak marah.

Kalau kita ingat, Rasulullah juga bisa marah (kepada kebatilan), cuma caranya sangat elegan. Bukan marah teriak-teriak penuh caci maki dan kebencian seperti yang jamak sekarang. Rasul marah dengan penuh cinta. Mari baca lagi sejarah tentang beliau. Kesabaran seperti ini yang harusnya ditiru. Bukan sekadar sabar yang berujung pada ketidakpedulian, yang takut pada kata "jangan". Padahal kalau diperhatikan, Al Qur'an yang penuh ajaran kasih sayang banyak kok menggunakan kata "jangan" atas hal-hal buruk.
*paragraf ini khusus untuk yang muslim 

Balik lagi ke tragedi yang menimpa Harambe yang mati dengan cara mengenaskan. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah belajar dari kejadian tersebut sesuai kapasitas masing-masing, berperilaku penuh tanggung jawab di tempat umum sebagai apapun-peran-kita.

Dan terakhir, -sebenarnya ini untuk saya pribadi jika diamanahi anak nanti, aamiin- sebagai orang tua harus berani melarang mereka atas hal-hal yang perlu dijauhi, atas hal-hal yang bisa mencelakakan diri mereka ataupun orang/makhluk Tuhan yang lain. Karena rasa kehilangan dan penyesalan itu jauh lebih menyakitkan daripada ketika harus melarang dan menggunakan kata "jangan". Jangan sampai kejadian Harambe terulang. :'

***

Baiklah. Cukup untuk hari ini. Doa terbaik untuk kita semua, dan juga untuk Harambe, aamiin.